DPRD sebagai lembaga legislatif merupakan lembaga perimbangan terhadap kekuasaan eksekutif yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan di daerah. Dalam Undang-undang Nomor 17 tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), disebutkan bahwa DPRD Kabupaten/Kota memiliki tiga fungsi, yatu fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Ketiga fungsi tersebut dijalankan dalam kerangka representasi rakyat pada tingkat Kabupaten dan Kota.
Fungsi legislasi dilaksanakan sebagai perwujudan DPRD selaku pemegang kekuasaan membentuk peraturan daerah. Fungsi anggaran dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan peraturan daerah tentang APBD yang diajukan oleh Walikota/Bupati. Adapun fungsi pengawasan dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan peraturan daerah, APBD, pelaksanaan pembangunan dan pemerintahan.
Di dalam Undang-Undang tersebut juga disebutkan masa persidangan meliputi masa sidang dan masa reses.
Masa reses adalah masa di mana anggota DPR/DPRD bekerja di luar gedung atau di luar kantor. Masa reses adalah waktu anggota DPR/DPRD melakukan kunjungan ke konstituen atau Daerah pemilihan (Dapil) untuk menjalankan tugas-tugasnya sebagai wakil rakyat. Itu berarti reses dilakukan dalam kerangka anggota DPR/DPRD menjalankan tugasnya dalam hal legislasi, penganggaran, dan pengawasan.
Reses sangat efektif digunakan dalam rangka menjalankan ketiga fungsi tadi. Reses dapat menjadi instrumen yang baik untuk memperoleh aspirasi dan masukan dari konstituen, serta untuk melihat langsung implementasi berbagai kebijakan yang dibuat oleh eksekutif.
Di sisi lain, reses juga merupakan salah satu bentuk partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan keputusan sebagai salah satu prinsip demokrasi. Sebagai pemilih yang mempunyai wakil di DPR/DPRD, masyarakat mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan keputusan, melalui mekanisme yang telah ditentukan. Reses adalah salah satu mekanisme resmi yang memungkinkan masyarakat berpartisipasi dalam pembuatan keputusan.
Karena itu, keterlibatan masyarakat dalam sebuah reses akan memberi hasil yang lebih aktual dan berbasis fakta sehingga mudah untuk dikonfirmasi atau diklarifikasi ketika ada informasi yang membutuhkan penjelasan teknis dari peserta reses.
BaKTI melalui Program MAMPU memperkenalkan sebuah metode reses yang disebut Reses Partisipatif. Reses Partisipatif adalah metode reses yang partisipatif dan berperspektif gender. Dalam Reses Partisipatif, penting untuk memastikan peserta mewakili sebanyak-banyaknya unsur dalam masyarakat, dilaksanakan di tempat yang nyaman dan suasana yang tidak formal.
Penggunaan istilah 'partisipatif' pada Reses Partisipatif merujuk pada metode, peserta, dan tempat. Dengan demikian, Reses Partisipatif menggunakan pendekatan partisipatif dalam bentuk diskusi kelompok atau diskusi kelompok terfokus/terarah (Focus Group Discussion,FGD). Peserta yang hadir dalam reses mewakili berbagai unsur di masyarakat dan menjadi subyek kegiatan.
Adapun 'perspektif gender' dalam Reses Partisipatif merujuk pada perhatian atau pandangan terkait isu-isu gender yang disebabkan pembedaan peran serta hubungan sosial antara perempuan dan laki-laki. Perspektif gender dalam sebuah diskusi adalah penting, terutama dalam menempatkan peserta reses pada posisi setara: perempuan, laki-laki, masyarakat miskin, penyandang disabilitas, anak, dan tokoh masyarakat, aparat pemerintah, dan sebagainya.
Sebagai sebuah metode reses, Reses Partisipatif mempunyai perangkat yang mudah diterapkan. Metode ini dapat dipelajari oleh siapa pun secara cepat dan mudah dalam penerapan. Syarat-syarat yang perlu diperhatikan antara lain adalah jumlah peserta dan keterwakilan seluruh unsur masyarakat orang, fasilitator haruslah orang-orang mempunyai pengetahuan dan perspektif mengenai pendidikan kritis, pendidikan orang dewasa, kesetaraan gender, hak asasi perempuan, hak anak, hak penyandang disabilitas, dan hak asasi manusia.
Syarat minimum tersebut penting karena Reses Partisipatif menghadirkan konstituen dari berbagai elemen masyarakat yang sangat heterogen. Fasilitator tidak sekadar mengatur lalulintas pembicaraan, tetapi juga menempatkan diri sebagai orang memiliki pemihakan terhadap peserta yang berada pada posisi tidak berdaya ketika berhadapan dengan peserta yang mendominasi. Karena status sosial dan pengetahuan, biasanya peserta tertentu mendominasi dan menguasai forum reses. Metode dalam Reses Partisipatif tidak memberi peluang terjadinya dominasi oleh peserta tertentu.
Reses Partisipatif dirancang untuk menjadi suatu sistem yang mendukung kerja-kerja anggota DPRD secara menyeluruh. Hasil Reses Partisipatif dikelola untuk digunakan anggota DPRD dalam melaksanakan fungsinya. Pendokumentasian yang baik merupakan bagian dari Reses Partisipatif. Artinya, dokumentasi merupakan bagian dari Reses Partisipatif sehingga sejak awal dipersiapkan seorang notulen yang akan merekam semua proses reses. Notulen mencatat proses reses dan mengamati dinamika reses yang dapat dijadikan bahan evaluasi dan perbaikan untuk pelaksanaan reses selanjutnya.
Pada fungsi anggaran, anggota DPRD mendapatkan aspirasi tentang masalah-masalah aktual di masyarakat, misalnya masalah ekonomi, sosial, infrastruktur dasar dan lain-lain. Masalah-masalah ini dicarikan solusinya secara bersama-sama oleh masyarakat (musyawarah mufakat) sehingga bisa menjadi usulan reses yang nantinya menjadi informasi penting bagi anggota DPRD untuk selanjutnya diusulkan menjadi aspirasi masyarakat untuk diakomodir dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) pada tahun berikutnya. Agenda ini sangat penting karena anggota DPRD tidak boleh lagi memasukkan usulan kegiatan jika sebelumnya tidak ada dalam RKPD.
Pada fungsi legislasi, anggota DPRD mendapatkan aspirasi tentang masalah-masalah aktual di masyarakat, misalnya ketertiban umum, gizi buruk, angka kematian ibu dan anak, dan sebagainya, sehingga bisa menjadi usulan reses yang nantinya menjadi informasi penting bagi anggota DPRD untuk selanjutnya diusulkan menjadi aspirasi masyarakat untuk diakomodir dalam Badan Legislasi atau Hak Inisiatif DPRD untuk mengajukan Rancangan Peraturan Daerah pada tahun berikutnya.
Pada fungsi pengawasan, anggota DPRD bisa mendapat aspirasi tentang masalah-masalah aktual di masyarakat, misalnya pemberian bantuan tidak merata atau diskriminatif, penerima manfaat kegiatan SKPD tidak tepat sasaran, jumlah penerima manfaat kegiatan SKPD lebih sedikit daripada yang dianggarakan atau ada potensi korupsi, dan lain-lain.
Anggota DPRD yang melakukan reses secara teratur dan dengan metode tepat, seperti menggunakan Reses Partisipatif, maka anggota DPRD yang bersangkutan tidak hanya mampu dalam menjalankan fungsinya secara baik dan efektif. Tetapi kinerja anggota DPRD bersangkutan mengalami peningkatan karena memperoleh data dan informasi yang valid dan cukup banyak di lapangan.
Itu karena Reses Partisipatif menempatkan konstituen sebagai subyek dan sumber data dan informasi, yang akan akan memasok data dan informasi tersebut kepada wakilnya di DPRD. Berbeda dengan reses-reses yang dilaksanakan secara konvensional, dimana konstituen ditempatkan sebagai obyek, dan hanya orang-orang tertentu yang memberi data dan informasi kepada anggota DPRD ketika melakukan reses.
Hal-hal sensitif, seperti diskriminasi terhadap orang atau kelompok tertentu, pemotongan anggaran, bantuan yang salah sasaran, pengerjaan bangunan fisik tidak sesuai dengan rencana, dan sebagainya, tidak pernah akan muncul pada reses-reses yang dilaksanakan secara konvensional. Itu karena pelaku-pelakunya selalu menjadi peserta reses, sedangkan korban-korbannya yang terdiri dari warga miskin, perempuan miskin, penyandang disabilitas, dan kelompok marjinal tidak pernah diundang untuk menjadi peserta reses.
Reses Partisipatif menjadi salah satu instrumen yang sangat efektif untuk pengawasan. Warga yang selalu menjadi korban dapat diberi kesempatan dan peluang untuk menyampaikan aspirasinya. Di samping itu, pelibatan warga dari berbagai unsur dapat mencegah pihak-pihak yang selama ini menjadi pelaku-pelaku yang melakukan berbagai tindakan yang merugikan warga miskin dan marjinal.