Rambu Dai Mami, Pemimpin Perempuan dari Tanah Sumba (Bagian 2)
Penulis : Aurelia Gracia
  • Ilustrasi: The Magdalene
    Ilustrasi: The Magdalene

Ketidakadilan yang disaksikan Rambu Amy bukan hanya dari lingkungan sosial, melainkan juga alam. Suatu waktu ketika masih SMP, Rambu Amy sedang melintasi jalanan yang dekat dengan hutan, dan menyaksikan kebakaran hutan yang sangat hebat. Detik itu juga, ia bertekad untuk menjaga hutan.

“Tiba-tiba saya merasa kecewa dan sakit hati, sampai berjanji dalam hati akan bersekolah di bagian kehutanan supaya bisa jaga hutan,” ucapnya.

Sejumlah peristiwa dari masa kecilnya mendorong Rambu Amy terjun dalam bidang advokasi. Sejak remaja, ia mulai berani menyuarakan ketidakadilan yang dilihatnya. Misalnya semasa SMP, ketika pemilik nama lengkap Rambu Dai Mami tersebut diminta sang ayah, mengisi Kartu Keluarga (KK).

Dari anak-anak hingga remaja, Rambu Amy tinggal di rumah orang tuanya yang terletak di Lawonda, Sumba Tengah. Rumah itu tidak hanya menjadi kediaman bagi orang tua dan lima saudara kandungnya, tetapi juga 14 orang lainnya.

Awalnya, ia menuliskan keluarga inti sesuai perannya. Bapak sebagai kepala keluarga, ibu sebagai istri, dan anak-anak kandung. Kemudian, ia bertanya apa hubungan keluarga dengan 14 orang itu.

“Bapak bilang, ‘tulis statusnya hamba’,” kata Rambu Amy. Dulu di Sumba Timur, terdapat strata sosial yang digambarkan dengan panggilan Rambu dan Umbu, sebutan untuk laki-laki dan perempuan yang dihormati. Ada juga hamba, sebutan untuk kelas yang paling rendah.

Alhasil, respons ayahnya membuat Rambu Amy menangis. Ia protes dan menolak untuk menuliskan pola pikir ayahnya yang masih feodal—bahkan sempat menyarankan status pembantu di KK. Hingga akhirnya mereka menemukan istilah yang tepat, yakni “famili lain”.

“Saya malu, bagaimana kalau orang lihat KK kami dan tahu masih ada keluarga yang menggunakan sistem itu? Saya tidak suka,” terang Rambu Amy.

Kendati demikian, keluarga menjadi ruang bagi Rambu Amy untuk memahami, bahwa perempuan berhak dan harus berdaya. Ia menyaksikan bagaimana kedua orang tuanya memberikan kesempatan bagi anak-anak perempuan, untuk sekolah dan bekerja.

Kini, pemberdayaan perempuan ia maknai sebagai para perempuan di kampung yang memahami hak mereka, sekaligus bisa berjuang untuk hidup.

“Minimal mereka tahu, sebagai perempuan itu punya hak untuk hidup, dilindungi dari kekerasan dan pelecehan, serta kesejahteraan ekonomi,” terangnya. “Mereka juga harus tahu, posisinya bukan hanya sebagai penopang laki-laki. Tapi harus bisa menjadi pemimpin untuk dirinya sendiri dan keluarga.”

 

Menjadi Pemimpin Perempuan Bukan Hal Mudah

Tak dipungkiri, memiliki latar belakang keluarga terpandang merupakan privilese bagi Rambu Amy dalam melakukan advokasi. Ia bahkan tidak menampik, dan mengakui hal tersebut menjadi salah satu kekuatannya untuk berada di posisi ini. Ditambah latar belakang keluarga suaminya, yang juga merupakan sosok terpandang di Kampung Tambahak.

Ketika keluarga besar awalnya mempertanyakan pekerjaan Rambu Amy yang dianggap menentang pemerintah, sejak awal sang suami justru mengerti dan mendukung. Larangan itu malah pernah datang dari ibu mertua, karena pekerjaannya dianggap membahayakan lantaran harus berhadapan dengan aparat.

“Mama melarang karena memikirkan risiko. Dia khawatir saya akan kenapa-napa. Tapi setelah dijelaskan, mama bisa menerima itu,” ceritanya.

Lama-kelamaan, keluarga Rambu Amy juga turut menerima dan suportif terhadap pekerjaannya. Mereka justru mengarahkan dan menceritakan kepadanya, tentang permasalahan tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di kampung.

“Berada di posisi ini membuat saya didengarkan ketika berbicara. Seandainya saya ada di bawah, biar pun ngomong sampai berdarah-darah juga tidak akan didengarkan oleh teman-teman,” jelasnya.

Meskipun demikian, bukan berarti Rambu Amy tidak menghadapi tantangan. Memimpin Sabana Sumba membuatnya memiliki citra pemberontak di mata masyarakat. Pasalnya, komunitas tersebut dianggap bertentangan dan selalu mencari kesalahan pemerintah, sehingga semakin sulit melibatkan perempuan.

Image itu berawal dari misi Sabana Sumba. Mereka ingin melindungi tanah Sumba dari sebuah perusahaan swasta, yang ingin menjadikan tanah mereka sebagai lahan tebu. Sementara Gideon Mbilijora, yang kala itu menjabat sebagai bupati Sumba Timur, sudah memberikan izin lokasi kepada perusahaan tersebut.

Sayangnya, citra itu membuat Rambu Amy semakin sulit melibatkan perempuan. Dengan pandangan lurus ke depan, ia bercerita kepada saya, sewaktu ia mengajak para ibu rumah tangga untuk bergabung.

Waktu itu, ibu dua anak tersebut menjelaskan pekerjaannya yang mengadvokasi. Namun, mereka enggan lantaran image melawan pemerintah yang ada, sedangkan ada keinginan di keluarganya yang ingin bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).

“Saya enggak ingin memaksa, biar kesadaran itu muncul lebih bagus. Daripada bergabung karena saya ajak, akhirnya (bekerjanya) tidak total,” jelasnya. Hingga saat ini, ada 10 relawan perempuan di Sabana Sumba, dari 30 orang secara keseluruhan.

Padahal, banyak hal lainnya yang dilakukan Rambu Amy bersama Sabana Sumba, turut meringankan pekerjaan pemerintah. Contohnya menjadi relawan COVID-19, demam berdarah, dan badai Seroja pada April 2021. 

Selain perkara keterlibatan perempuan, Rambu Amy juga menghadapi tantangan secara finansial. Memperjuangkan pendidikan anak-anak lewat beasiswa dan merawat ODGJ merupakan hal-hal yang ia upayakan.

Untuk mencukupi biaya-biaya itu, Rambu Amy menjual dan menggadaikan kain tenun, hasil swadaya masyarakat, dan menggunakan biaya pribadi yang diperolehnya dari penghasilan utama.

Yakni dengan bekerja sebagai pendamping lapangan sebuah proyek, fasilitator kegiatan LSM lokal, menjual ikan, kopi, dan masakan.

“Dari awal saya yang mendorong mereka untuk kuliah, jadi saya harus bertanggung jawab sampai mereka selesai,” kata Rambu Amy. “Lagi pula mau memaksa orang tua mereka di kampung juga bagaimana?”

Sampai di penghujung obrolan kami sore itu, saya masih melihat semangat yang terpancar dari mata dan cara Rambu Amy bertutur. Ia menaruh harapan-harapan baik pada tanah Sumba, juga pada teman-teman relawan yang sedang bersama-sama melindungi hak mereka.

Pekerjaan yang ia lakukan jauh dari kata mudah. Namun, Rambu Amy tidak gentar sedikit pun, menghadapi tantangan demi tantangan yang ada di hadapannya. Terlebih di tengah masyarakat adat dengan budaya patriarki yang begitu kuat, dan belum terlihat sosok perempuan lain yang akan melanjutkan perjuangannya.

Ketika ditanya dari mana kekuatan itu datang, dengan mantap ia menjawab, “Ini kekuatan milik semua orang yang menerima ketidakadilan. Saya juga percaya, leluhur telah menyiapkan perempuan-perempuan lain yang bisa seperti saya.”

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.