Apa manfaat bagi Indonesia sebagai Negara Kepulauan setelah menjadi tuan rumah 2 (dua) event internasional terkait pulau kecil di tahun ini? Tulisan ini berupaya menjawab pertanyaan di atas dari beberapa sudut pandang berbasis pada isu isu yang dibahas.
Di tahun ini telah dilakukan dua agenda internasional yang berhubungan dengan isu kepulauan. Pertama, Forum Air Dunia yang ke 10 (10th World Water Forum) oleh Dewan Air Dunia selama seminggu di pertengahan Mei di Bali dan di buka oleh Presiden Joko Widodo. Kedua, Konferensi Dunia Kepulauan yang ke 19 (19th Islands of The World Conference) di Lombok, Nusa Tenggara Barat di akhir Juni 2024. Di buka oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, Republik Indonesia dan dihadiri oleh delegasi dari 28 negara.
Kedua agenda besar tersebut pertama kali dilaksanakan di ASEAN dan Indonesia sebagai representasinya. Menjadi tuan rumah karena relevansi isu yang dibahas disamping peluang bisnis ke depan.
Pertemuan di Bali dilatarbelakangi kekuatiran dunia akan keterbatasan air karena pertumbuhan penduduk dan pengembangan industri. Fokus dilakukan terhadap kebijakan pengelolaan yang lestari secara internasional seirama dengan dinamika isu keterbatasannya. Isu difokuskan pada konservasi air, air bersih dan sanitasi, ketahanan pangan dan energi serta mitigasi bencana alam.
Salah satu sesi dari 20 sesi panel tingkat tinggi di Bali membahas tentang Manajemen Sumber Daya Air Terpadu di pulau-pulau kecil dimana para narasumber berasal dari negara negara kepulauan kecil (Small Islands Development State, SIDS) dan Indonesia.
Isu-isu di atas pada dasarnya merupakan daftar masalah yang ada di pulau kecil untuk dicarikan solusinya via kebijakan pada level internasional, nasional dan lokal (provinsi/kabupaten/kota). Isu yang dibahas relevan dengan Indonesia karena memiliki pulau kecil yang dominan dalam struktur geografinya. Pulau pulau ini memiliki kemampuan yang terbatas untuk menahan air tanah bahkan tidak ada sama sekali jika pulaunya datar (low lying islands) dengan ketinggian 1 – 2 meter dari permukaan laut. Dengan kata lain, ukuran pulau berbanding terbalik terhadap ketersediaan air tawar. Kemungkinan ini akan lebih serius saat terjadi perubahan iklim dimana jika suhu bumi naik 2 – 3 derajat Celcius saja maka akan menurunkan ketersediaan air di hampir seluruh belahan bumi. Bahkan menenggelamkan banyak kota di dunia karena naiknya permukaan laut.
Ilustrasi: kompas.id
Untuk itu kebijakan kebijakan yang menimbulkan konflik dengan pembangunan yang lestari di pulau kecil harus diluruskan. Misalnya, aktivitas penambangan pasir dan bahan tambang lainnya di atas pulau kecil harus dihentikan karena akan memperparah kekeringan. Disamping itu, kebijakan untuk tidak menggunakan air tanah untuk irigasi lapangan golf dan wilayah landskap misalnya harus dilarang.
Konferensi di Lombok dihadiri peserta dari 28 negara dan memfokuskan pembahasannya pada perubahan iklim dan lingkungan, tata kelola kepulauan, ekonomi biru, kebudayaan pada wilayah berciri kepulauan, jejaring kepulauan dan ekosistim digital dan isu terkait SIDS. Apa yang dibicarakan pada konferensi ini akan ditindaklanjuti terkait pengembangan ilmu ilmu kepulauan (archipelagic sciences) dan kurikulum berciri kepulauan sesuai kesepakatan peserta Indonesia melalui sejumlah diskusi dan workshop ke depan.
Peserta even ini merefleksikan luasnya masalah dimana mereka berlatar belakang pembuat kebijakan, peneliti, penanam modal, pegiat konservasi, pakar lingkungan, pakar kesehatan, pakar hidrologi dan energi, pebisnis dan akademisi. Di Lombok telah dibahas 155 hasil penelitian terkait pulau kecil dan kepulauan sebagai substansi policy brief untuk pembuat kebijakan.
Pulau-pulau kecil terlihat dalam penerbangan dari Palembang, Sumatera Selatan menuju Pulau Bangka, Minggu, (15/12/2019). Pulau-pulau kecil terancam tenggelam akibat kenaikan permukaan laut. Ilustrasi: KOMPAS/AUFRIDA WISMI WARASTRI
Mengapa Isu Besar?
Bagi Indonesia, pengembangan pulau kecil telah menjadi arah baru kebijakan nasional sejak tahun 2000 ketika lahirnya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Kesadaran ini muncul akibat banyaknya masalah baik terkait pulau terluar maupun pedalaman. Maka melahirkan kebijakan nasional diprioritaskan beserta turunannya agar ada pedoman untuk publik bertindak dikawasan ini. Olehnya kawasan ini terus dibangun walaupun belum tuntas karena isunya banyak dan luas. Mengurusi kawasan ini tantangannya besar karena derajat keisolasian berakibat tingginya biaya.
Menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 juncto Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil maka pulau kecil adalah pulau yang berukuran lebih kecil atau sama dengan 2.000 kilometer persegi dan ekosistemnya sebagai satu kesatuan. Dari kebijakan ini kemudian KKP via Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut (PKRL) mendatakan pulau berdasarkan distribusi ukuran. Dari total 17.024 pulau secara nasional maka pulau yang dominan adalah ukuran lebih kecil atau sama dengan 1 (satu) hektar sebanyak 54 persen diikuti oleh 1.00 -1.000 hektar sebanyak 3.556 pulau atau 21 persen. Dengan jumlah dan banyaknya masalah tidaklah berlebihan kalau dikatakan isunya besar.
Ke depan seharusnya dilahirkan kebijakan yang tidak memperburuk kerentanan pulau kecil akibat perubahan iklim. Misalnya, memodifikasi pesisir berakibat erosi pantai. Atau menghindari kebijakan berakibat pengurangan proteksi terhadap ombak.