Pembangunan inklusif adalah pembangunan yang memberi ruang, membuka akses, serta melibatkan atau partisipasi semua warga negara dan komponen bangsa. Semua warga negara diberi ruang dan didorong untuk terlibat dalam proses dan mendapatkan akses untuk memperoleh layanan, fasilitas publik, atau apapun yang disediakan oleh negara dan penyedia layanan publik yang lain.
Pembangunan inklusif menjadi perhatian global untuk menggantikan sistem pembangunan yang selama ini meminggirkan, bahkan memberi stigma buruk kepada berbagai kelompok sosial. Tidak sedikit kelompok sosial minoritas dan rentan yang dianggap dan dicap sebagai beban bagi pembangunan, sehingga tidak hanya dilibatkan dalam proses-proses pembangunan, tetapi juga mengalami diskriminasi dan kekerasan.
Pembangunan itu sendiri menurut Joke Schrijvers (2000) adalah kekerasan. Tidak hanya dalam pelaksanaannya, tetapi juga paradigma dasar yang melandasinya. Paradigma pertumbuhan paling sering dikritik karena menimbulkan kekerasan dan marjinalisasi terhadap kelompok-kelompok sosial tertentu di dalam negara, terutama kelompok minoritas, rentan, dan miskin. Bahkan pada kasus-kasus tertentu, paradigma pertumbuhan memelihara kemiskinan dan melahirkan kelompok miskin baru.
Minoritas, Marjinal, & Rentan
Perempuan dan anak bukanlah minoritas di dalam masyarakat, tetapi kedua kelompok tersebut merupakan kelompok marginal dan rentan. Data-data statistik menunjukkan bahwa, angka kematian ibu, angka kematian anak, anak tengkes (stunting), anak kurang gizi dan gizi buruk, perkawinan anak, dan kekerasan adalah sejumlah permasalahan yang menimpa perempuan dan anak. Jumlah perempuan selalu berimbang dengan jumlah laki-laki, akan tetapi perempuan mempunyai peran terbatas karena berbagai faktor budaya dan struktural di dalam masyarakat dan bernegara yang terus terpelihara.
Disabilitas atau difabel (differently abled) bisa disebut minoritas jika dilihat dari sisi jumlahnya di dalam masyarakat. Hanya sedikit pembangunan yang mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan disabilitas, bahkan dengan cara yang tidak manusiawi. Disabilitas masih mengalami stigma dan dianggap sebagai beban pembangunan.
Diskriminasi dan kekerasan berlapis sering dialami oleh dialami oleh perempuan, anak, dan disabilitas. Jika seorang perempuan dewasa mengalami kekerasan dan diskriminasi maka dia hanya mengalaminya sebagai perempuan. Demikian juga jika seorang anak laki-laki yang mengalami kekerasan dan diskriminasi, maka dia mengalaminya sebagai anak. Namun berbeda jika seorang perempuan penyandang disabilitas atau seorang anak perempuan penyandang disabilitas yang mengalami kekerasan dan diskriminasi.
Perempuan penyandang disabilitas mengalami diskriminasi dan kekerasan sebagai perempuan dan sebagai penyandang disabilitas. Sedangkan seorang anak perempuan penyandang disabilitas mengalami diskriminasi dan kekerasan karena tiga status yang disandangnya, yakni sebagai anak, sebagai perempuan, dan penyandang disabilitas. Inilah yang disebut diskriminasi dan kekerasan bertingkat dan berlapis. Diskriminasi dan kekerasan masih akan bertambah, jika perempuan atau anak perempuan tersebut berasal dari suku minoritas atau penganut agama/keyakinan minoritas, apalagi yang tidak diakui negara.
Suku minoritas, minoritas agama atau kepercayaan minoritas (yang tidak diakui negara), dan LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) adalah minoritas di dalam masyarakat dan negara. Selama ini mereka mengalami diskriminasi dan kekerasan, karena berbagai stigma dan minimnya perlindungan dari negara. Suku minoritas, yang dulu disebut suku terasing, adalah kelompok yang menyandang status sebagai minoritas sekaligus sebagai marginal dan rentan mengalami diskriminasi dan kekerasan. Minoritas agama sering mengalami stigma sebagai penganut agama nenek moyang, yang disebutnya sebagai syirik.
Ruang untuk Kesetaraan
Diskriminasi (pembedaan) terhadap orang atau kelompok ditengarai menjadi penyebab terjadinya kekerasan, baik fisik maupun nonfisik. Proses-proses pembangunan ikut melegitimasi dan memperburuk diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok minoritas dan marjinal, karena ada jarak yang diciptakan dalam pembangunan, sejak dari perencanaan hingga implementasi.
Suara-suara minoritas dan pinggiran tidak selalu didengar dan diakomodasi dalam proses pembangunan. Apalagi sebagian kelompok minoritas tersebut telah mendapat label sebagai sesat, laknat, syirik, dan tidak beradab, yang kemudian berujung pada upaya untuk menghambat dan mencegah masuknya kebutuhan dan kepentingan mereka di dalam perencanaan, kebijakan, dan alokasi sumber daya pembangunan.
Pelabelan terhadap kelompok minoritas dan marjinal tidak hanya menyebabkan kelompok-kelompok tersebut semakin tersingkir, tetapi juga melegitimasi dan membenarkan perlakukan kekerasan terhadap mereka. Diskriminasi dan kekerasan atas nama agama dan moral dilakukan oleh kelompok mayoritas dan memiliki akses pada ruang-ruang pembentukan kebijakan dan sumber daya sehingga semakin meminggirkan kelompok minoritas.
Pada berbagai peristiwa, negara seakan tidak berdaya dan melakukan pembiaran terjadinya diskriminasi dan kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok warga negara terhadap warga negara yang lain.
Sejak tahun 1990-an, banyak pihak mulai mendorong perubahan paradigma dan praktik pembangunan yang mengakomodasi semua kebutuhan dan kepentingan warga negara. Pembangunan tidak hanya mengejar pertumbuhan dan kemajuan, tetapi juga kesetaraan dan kebebasan, sebagai bagian dari kemanusiaan. Pembangunan harus menyediakan ruang untuk partisipasi dan akses yang memadai bagi mereka yang selama ini disingkirkan dalam proses pembangunan.
Menuju Masyarakat Inklusif
Yayasan BaKTI (Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia) melalui Program INKLUSI (Kemitraan Australia Indonesia Menuju Masyarakat Inklusif) berupaya untuk berkontribusi pada pengurangan diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok rentan dan minoritas, menghubungkan dan membuka akses layanan pemerintah, mendorong dan memperkuat keberdayaan masyarakat untuk mengadvokasi hak-haknya sebagai warga negara. Program INKLUSI adalah sebuah program pembangunan yang menggunakan pendekatan pada kesetaraan, kesamaan, pemberdayaan, dan akses yang sama pada layanan negara dan sumber-sumber pembangunan. Program ini diharapkan dapat berkontribusi pada pembangunan, di mana proses dan hasilnya memandu jalan menuju masyarakat yang inklusif.
Program INKLUSI-BaKTI baru dimulai pada April 2022 dan akan dilaksanakan di Kabupaten Maros, Kota Parepare, Kabupaten Tana Toraja (Sulawesi Selatan), Kota Kendari (Sulawesi Tenggara), Kabupaten Kupang (Nusa Tenggara Timur), Lombok Timur (Nusa Tenggara Barat), dan Kota Ambon (Maluku). Di wilayah-wilayah tersebut, BaKTI mempunyai mitra yang cukup mumpuni dan berpengalaman dalam membangun kerjasama dengan stakeholders kunci, yakni eksekutif, DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah), media massa, dan masyarakat melalui kelompok konstituen.
Sebelumnya, Yayasan BaKTI melalui Program MAMPU (Kemitraan Australia Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan) fokus pada pengurungan kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta mendorong dan menguatkan perempuan untuk mengakses layanan yang disediakan pemerintah. Perempuan diberdayakan sehingga dapat bersuara di ruang-ruang publik untuk memengaruhi proses dan mekanisme secara demokratis dalam mengubah kebijakan yang responsif gender.
Program INKLUSI-BaKTI tetap menjadikan pengurangan kekerasan terhadap perempuan sebagai salah satu fokus. Pengalaman pada Program MAMPU melalui pengorganisasian perempuan di dalam Kelompok Konstituen, dimana organisasi tersebut tidak hanya berhasil mendampingi perempuan korban kekerasan, tetapi juga menjangkau kelompok-kelompok minoritas dan marjinal yang lebih luas, seperti disabilitas, anak, lanjut usia, dan ODGJ (orang dengan gangguan jiwa).
Sebagai program yang mengenalkan dan mengusung paradigma dan praktik pembangunan inklusif untuk melahirkan masyarakat inklusif, maka Program INKLUSI-BaKTI diperluas untuk menjangkau kelompok minoritas dan marjinal yang lebih luas, yakni disabilitas, suku minoritas, penganut agama dan kepercayaan minoritas, LGBT, dan sebagainya. Mereka adalah warga negara yang harus memperoleh hak-haknya sebagai warga negara. Diskriminasi dan kekerasan terhadap mereka karena pandangan hidup, keyakinan, dan orientasi seksual, yang mereka anut, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran hukum.
Sudah saatnya, ideologi dan paradigma pembangunan diletakkan, direncanakan, dan diimplementasikan untuk membebaskan dan memanusiakan manusia. Dalam kerangka itu, semua warga negara, terutama mereka yang selama ini merupakan kelompok marjinal, miskin, dan minoritas harus diberi kesempatan, ruang, dan afirmasi untuk terlibat dalam proses-proses pembangunan.
Sementara diskriminasi terhadap perempuan, anak, disabilitas, suku minoritas, penganut agama dan kepercayaan minoritas, LGBT, dan sebagainya, adalah faktor yang selama ini membuat mereka terpuruk dengan berbagai masalah yang terpelihara. Penghapusan diskriminasi menjadi suatu keniscayaan, karena kehidupan yang berkeadilan untuk semua manusia bisa dicapai tanpa diskriminasi. Menurut Nurcholish Madjid, salah satu cendekiawan muslim dan pemikir kebangsaan, bahwa non diskriminasi adalah persyaratan bagi adanya keadilan