Kelompok dan komunitas tersebut berada dalam posisi minoritas, marginal, dan rentan, sehingga mudah mengalami diskriminasi, kekerasan, dan penindasan. Tingkat kerentanan dan diskriminasi yang dialami oleh kelompok-kelompok tersebut tidak selalu sama. Pada kelompok tertentu berada pada situasi yang sangat rumit karena merupakan kelompok yang menyandang lebih dari satu kondisi atau atribut: minoritas, marginal, dan rentan, serta atribut lain yang melekat dan dilekatkan secara sosial. Kelompok ini biasanya mengalami diskriminasi, kekerasan, dan penindasan berlapis.
Diperlukan upaya bersama dalam pembangunan untuk menghapuskan diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok rentan dan minoritas, menghubungkan dan membuka akses layanan pemerintah, mendorong dan memperkuat keberdayaan masyarakat untuk mengadvokasi hak-haknya sebagai warga negara. Program Kemitraan Australia-Indonesia Menuju Masyarakat Inklusif (INKLUSI) adalah satu dari upaya penghapusan diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok rentan dan minoritas demi pembangunan yang inklusif.
Yayasan BaKTI sebagai salah satu mitra Program INKLUSI melaksanakan Lokakarya Desain Draf Program INKLUSI bersama lembaga mitra, yakni YLP2EM (Yayasan Lembaga Pengkajian Pengembangan Ekonomi dan Masyarakat) Parepare, YESMa (Yayasan Eran Sangbure Mayang) Tana Toraja, Rumah Generasi Ambon, RPS (Rumpun Perempuan Sulawesi Tenggara) Kendari, UDN (Yayasan Ume Daya Nusantara) Kupang, dan LRC (Lombok Research Center) Lombok Timur. Pelaksanaan lokakarya ini berlangsung 12-14 Mei 2022 lalu.
Lokakarya yang difasilitasi oleh Yohanes Da Masenus Arus dan Retno Agustin dari CIRCLE Indonesia tersebut menghasilkan Draf Program INKLUSI-BaKTI 2022-2025. Selama lokakarya sejumlah data dan informasi yang berhubungan dengan isu-isu inklusi elaborasi dan diperdalam, seperti isu gender, disabilitas, kekerasan perempuan, kekerasan anak, etnis minoritas, penganut agama lokal/minoritas, ODHA (orang dengan HIV/AIDS), LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender), OYPMK (orang yang pernah mengalami kusta), lanjut usia (lansia), ODGJ (orang dengan gangguan jiwa), dan sebagainya.
Minoritas
Kelompok minoritas mencakup berbagai komunitas, seperti suku atau etnik minoritas, penganut agama atau kepercayaan lokal dan minoritas Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT), Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK), Orang dengan HIV/AIDS (ODHA), Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) dan lansia. Etnik minoritas dan penganut agama lokal terdapat di berbagai wilayah, yang semasa Orde Baru sering disebut sebagai “suku terasing”. Etnik minoritas juga sering mengalami stigma sebagai komunitas terbelakang dan tidak berperadaban, sehingga menghambat kemajuan. Sementara penganut agama lokal sering dituding sebagai komunitas yang tidak beragama dan kafir. Istilah yang diskriminatif dan stigma tersebut menyebabkan etnik minoritas dan penganut agama lokal menjadi kelompok marginal dan rentan.
Komunitas LGBT juga merupakan kelompok minoritas sekaligus marginal dan rentan. Mereka mengalami diskriminasi dan stigma dari berbagai kelompok sosial, termasuk penolakan dari kelompok agama. Sementara OYPMK dan ODHA mengalami stigma sebagai pengidap penyakit yang harus dijauhi. ODGJ dan lansia berada di tengah-tengah masyarakat, namun menjadi terlantar atau dikucilkan dan dicap sebagai orang tidak produktif dan tidak berguna.
Secara sosial, kelompok minoritas menghadapi stigma dan diskriminasi dari masyarakat, sehingga menjadi kelompok eksklusif dan marginal. Mereka menjadi eksklusif karena ditolak dan tidak diterima secara sosial. Karena minoritas dan marginal, mereka menjadi sangat rentan mengalami kekerasan dan penindasan.
Marginal dan Eksklusif
Kelompok minoritas tidak selalu rentan, jika minoritas tersebut tidak eksklusif dan tidak marginal. Komunitas Bissu di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, adalah komunitas minoritas dan transgender yang dihormati, sehingga komunitas tersebut tidak marginal dan tidak eksklusif, walaupun mereka juga rentan.
Kelompok minoritas yang disebut di dalam tulisan ini adalah kelompok marginal dan eksklusif. Kondisi eksklusif dan marginal adalah sesuatu yang terjadi karena berbagai kondisi, mulai dari penolakan, stigma, dan diskriminasi yang dilakukan oleh kelompok mayoritas atau kelompok yang memiliki kekuasaan. Kebijakan politik yang diberlakukan oleh pemerintah juga ikut mengeksklusi dan memarginalkan kelompok minoritas.
Sikap eksklusif suatu komunitas atau suatu kelompok terjadi karena proses-proses penolakan dan stigma yang mereka alami. Sebagai contoh adalah LGBT, ODHA dan OYPMK yang merupakan komunitas yang dieksklusikan secara sosial oleh masyarakat. Komunitas LGBT, ODHA dan OYPMK berada di tengah masyarakat, termasuk masyarakat di perkotaan. Komunitas tersebut menjadi eksklusif karena stigma dan penolakan dari masyarakat.
Suatu komunitas menjadi marginal dan eksklusif melalui proses yang panjang. Dan sifat marginal dan dan eksklusif suatu komunitas bisa berubah menjadi inklusif dan tidak marginal karena berbagai faktor. Di Indonesia, LGBT adalah kelompok minoritas dan marginal, namun di beberapa negara LBGT mendapat ruang dan mendapat perlindungan dari negara.
Rentan
Perempuan, anak, dan disabilitas bukanlah minoritas dalam masyarakat. Mereka juga bukanlah kelompok eksklusif, kecuali disabilitas tertentu yang dikucilkan oleh orang tua keluarga. Namun, mereka adalah kelompok marginal dan rentan. Mereka semakin termarginal dan rentan jika menyandang lebih dari status dari kondisi tersebut. Misalnya perempuan penyandang disabilitas atau anak perempuan penyandang disabilitas akan mengalami peningkatan kerentanan. Ketika seorang perempuan penyandang disabilitas mengalami kekerasan, maka peluang mengalami kekerasan akan berlapis. Kekerasan yang dialaminya karena dia adalah seorang perempuan dan sebagai seorang disabilitas.
Masyarakat patriarki menempatkan perempuan dan anak dalam posisi lebih rendah dari pada laki-laki dewasa. Di banyak budaya dan masyarakat, perempuan dan anak berada dalam pengaturan dan kontrol yang menyebabkan mereka tidak mempunyai posisi dan kekuasaan, termasuk untuk diri dan kehidupan pribadi mereka. Sementara disabilitas, karena memiliki keterbatasan fisik, mental, dan intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama, yang kemudian menjadi semakin rentan jika masyarakat melakukan diskriminasi, stigma, dan pembatasan-pembatasan.
Interseksionalitas dan Inklusi
Pembuat kebijakan atau petugas sering tidak bisa menganalisis dengan jernih, mengapa individu atau kelompok mengalami kekerasan atau penindasan yang panjang dan berulang, yang kemudian menyalahkan korban. Demikian juga mengapa individu atau kelompok semakin menutup diri dan menjauh dari kelompok mayoritas. Interseksionalitas (intersectionality) adalah salah satu pendekatan yang mencoba menjelaskannya.
Isu sentral bagi teori interseksionalitas (intersectionality) adalah pengertian bahwa perempuan mengalami penindasan dalam konfigurasi-konfigurasi yang bervariasi dalam derajat intensitas yang bervariasi juga (Crenshawe, 1991; Ritzer, 2012). Penjelasan untuk variasi itu adalah bahwa semua perempuan mengalami penindasan secara potensial berdasarkan gender, namun demikian, perempuan ditindas secara berbeda oleh perpotongan-perpotongan yang bervariasi dari susunan-susunan ketidaksetaraan sosial lainnya. Vektor-vektor penindasan dan hak istimewa itu, yang oleh Patricia Hill Collins (1990) disebut sebagai “matrix dominasi” mencakup bukan hanya gender, tetapi juga kelas, ras, lokasi global, pilihan seksual, dan usia. Variasi perpotongan-perpotongan demikian mengubah secara kualitatif pengalaman bagi seorang perempuan—dan perubahan itu, keberagaman itu, harus diperhitungkan di dalam menceritakan, menjelaskan, dan menilai pengalaman-pengalaman perempuan.
Crenshawe (1989) menunjukkan bahwa perempuan kulit hitam sering mengalami diskriminasi di dalam pekerjaan karena mereka adalah perempuan kulit hitam, tetapi pengadilan secara rutin menolak mengakui diskriminasi tersebut—jika ia tidak dapat ditunjukkan sebagai suatu kasus mengenai apa yang dianggap sebagai diskriminasi umum, “diskriminasi seks” (baca “juga perempuan kulit putih), atau “diskriminasi ras” (baca “juga pria kulit hitam”). Menurut Ritzer (2012) bahwa hak istimewa yang diperoleh sejumlah perempuan dan laki-laki bergantung pada penindasan perempuan dan laki-laki lainya. Karena itu, menurut Crenshawe pendekatan interseksionalitas akan mengurai susunan-susunan ketidaksetaraan tersebut sebagai struktur-struktur hirarkis yang didasarkan pada relasi-relasi kekuasan yang tidak adil. Tema ketidakadilan menandai fokus kritis yang konsisten dalam analisis interseksionalitas.
Ringkasnya, pendekatan interseksionalitas adalah pendekatan yang mengakui bahwa berbagai identitas sosial, seperti jenis kelamin, gender, disabilitas, orientasi seksual, ras dan etnis, agama, warna kulit, pendidikan, dan sebagainya, saling beririsan dan berinteraksi satu sama lain, yang dapat memperkuat diskriminasi dan pengucilan seseorang/kelompok dalam masyarakat (Program Inklusi, 2022).
Program INKLUSI-BaKTI
Sebagai salah satu pelaksana Program INKLUSI, Yayasan BaKTI bekerja pada tujuh wilayah yaitu Kabupaten Maros, Kota Parepare, Kabupaten Tana Toraja (Sulawesi Selatan), Kota Kendari (Sulawesi Tenggara), Kabupaten Kupang (Nusa Tenggara Timur), Lombok Timur (Nusa Tenggara Barat), dan Kota Ambon (Maluku). Program INKLUSI-BaKTI, akan fokus pada perubahan kebijakan dan penguatan kelembagaan untuk memberi akses layanan kepada kelompok minoritas, marginal, dan rentan sebagai warga negara dan sebagai manusia.
Program INKLUSI-BaKTI bekerja dengan eksekutif, khususnya OPD (Organisasi Perangkat Daerah) terkait melalui perbaikan dan penguatan layanan yang memudahkan akses bagi kelompok minoritas, marginal, dan rentan. Dengan DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) untuk perubahan kebijakan yang responsif gender, disabilitas, dan inklusi sosial. Program juga menguatkan komunitas di tingkat desa/kelurahan yang disebut sebagai Kelompok Konstituen (KK) untuk mendorong keberdayaan masyarakat. Sementara dengan media massa, agar menjadi mitra yang melakukan perubahan perspektif sekaligus kontrol bagi pelaksanaan layanan dan kebijakan yang inklusif.
Program INKLUSI-BaKTI didesain untuk berkontribusi pada perubahan dan transformasi sosial menuju masyarakat inklusif, suatu cita-cita yang sangat luhur dan manusiawi. Masyarakat inklusif adalah masyarakat yang terbuka dan melibatkan semua strata dan golongan, semua komunitas dan kelompok tanpa diskriminasi berdasarkan latar belakang apa pun, dalam mengakses layanan publik dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan pembangunan.
Di dunia mana pun, selalu ada komunitas dan kelompok minoritas, marginal, dan rentan. Namun, komunitas tersebut bukanlah sesuatu yang diturunkan dari langit, tetapi dibentuk dan terbentuk oleh berbagai faktor. Sama dengan perilaku diskriminatif kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas, marginal, dan rentan adalah sesuatu terbentuk secara budaya dan sosial. Karena itu, menjadi tugas dan tanggung jawab semua umat manusia untuk mengubah struktur kehidupan menjadi lebih inklusif, yang memberi akses, ruang dan partisipasi bagi kelompok minoritas, menarik kelompok marginal ke dalam lingkaran kebersamaan, serta mengurangi dan mencegah kerentanan kelompok tersebut.[]