Menanam padi beragam jenis lokal merupakan tradisi Orang Tobaru di Halmahera Barat, Maluku Utara. Benih padi warga Tobaru ini dikembangkan turun-temurun. Ada beberapa jenis padi lokal warga Tobaru sudah jarang ditemukan karena jarang ditanam. Komunitas ini mendiami sebagian besar Halmahera Barat, beberapa desa di Halmahera Utara dan Halmahera Selatan.
Kehidupan mereka, tak bisa terpisahkan dari hutan dan berkebun. Begitu penting kebun dan hutan itu bagi orang Tobaru bisa terlihat dari pegangan hidup mereka dalam bahasa lokal. “Obongana gena mia wawango ma ugulu ka gengino o orasa nena si ado-ado nika o ngoka deo dononguku.” Ini berarti hutan itu sumber hidup kami dari dulu, sekarang hingga anak cucu.”
Masyarakat Tobaru mempercayai alam punya kekuatan. Karena itu, dalam membuka lahan baru, dengan prosesi dan ritual. Mereka juga punya tradisi turun temurun ketika membuka kebun yakni gotong royong, biasa disebut wange mia makakaesa atau saling membantu membuat kebun.
Kalau dulu, orang makan nasi tidak setiap hari seperti sekarang. Dulu, orang mengandalkan pangan lain seperti pisang, sagu dan umbi-umbian dan lain-lain. Bahkan, dulu makanan berat atau sumber karbohidrat utama itu pisang dan popeda atau sagu ditutup dengan nasi. Sekarang, praktik ini terbalik. Nasi sebagai makanan utama dan pangan lain hanya tambahan.
Jarum jam menunjukkan pukul 7.25 saat ibu Rin Bodi dan Lius Popo, suaminya, sudah meninggalkan rumah menuju kebun dan dusun kelapa berjarak sekitar tiga kilometer dari Desa Podol, Kecamatan Tabaru, Halmahera Barat, Maluku Utara.
Podol, merupakan satu dari 16 desa di Tabaru yang didiami masyarakat Adat Tobaru atau Orang Tabaru.
Komunitas Adat Tobaru, merupakan suku asli Halmahera yang mendiami sebagian besar Halmahera Barat, beberapa desa di Halmahera Utara dan Halmahera Selatan. Kehidupan mereka tergantung pada hutan dalam berkebun tanaman pangan dan perkebunan.
Rin dan Lius berangkat pagi hari untuk mengumpulkan buah pala matang yang jatuh. Kebun mereka juga tak jauh dari dusun kelapa.
Lahan pertanian atau kebun seluas seperempat hektar itu ditanami padi ladang yang mulai berisi, biasa mereka sebut padi bunting, dengan usia sekitar lima bulan. April mereka mulai masuki masa panen.
Rin bawa saloi (alat angkut barang) saat ke kebun, parang dan air putih. “Pagi-pagi, kami sudah harus ke kebun karena selain khawatir binatang yang merusak tanaman juga harus bekerja sejak pagi agar sebelum terasa panas di siang hari kerja sudah bisa selesai,” katanya. Dia menanam padi benih lokal yang ditanam turun temurun masyarakat Tobaru. Di kebun itu selain padi juga ada pisang dan jahe.
“Padi ini ada nama lokal tapi orang di sini biasa sebut padi alus,” katanya. Mereka tanam padi tiga kulak. Ukuran satu kulak sekitar delapan cupak atau kaleng susu.
Padi yang mulai berisi kalau diamati ternyata terlihat ada banyak jenis. “Ada juga padi pulut hitam dan merah bercampur,” katanya.
Lius mengurus panen kelapa dan pala. Di sebelah lahan padi, masih ada kawasan berhutan yang belum jadi kebun. Nanti, lahan yang ditanami padi itu akan berganti pisang, serta tanaman tahunan seperti pala maupun kelapa. Setelah itu dibiarkan jadi hutan sekunder.
Praktik ini juga dilakukan sebagian besar suku-suku asli di Halmahera dan Maluku Utara. Mereka menyebut jorame. Jorame ini akan dibuka lagi 10-15 tahun berikutnya untuk jadi kebun dan ditanami padi atau tanaman pangan lain. Mereka percaya, praktik ini untuk mengembalikan kesuburan tanah.
Kehidupan mereka, kata Rin, tak bisa terpisahkan dari hutan dan berkebun. Begitu penting kebun dan hutan itu bagi orang Tobaru yang dengan teguh meyakini hutan itu sumber hidup kami dari dulu, sekarang hingga anak cucu.
Tradisi turun temurun
Dua karung gabah teronggok di dapur Yosep Ugu. Gabah kering itu rencana dia olah dengan mesin penggilingan padi. Gabah padi telah lama dikeringkan tersimpan dalam karung dan baru dibawa ke kampung sehari sebelumnya.
“Di dalam gabah padi ini ada banyak jenis tercampur. Gabah ini sisa panen tahun lalu dan sampai sekarang belum habis dikonsumsi. Tahun ini saya sempat menanam sedikit saja. Tidak banyak sekira tiga kulak atau seperempat hektar,” kata Yosep, warga Desa Togoreba Sungi, Kecamatan Tabaru.
Sisa padi musim tanam 2020 itu, katanya, sebagian masih di lumbung di rumah kebun. Padi-padi itu aman tersimpan meski panen sudah agak lama. Di lumbung padi hasil panen bisa disimpan hingga satu tahun.
“Saya tetap menanam padi setiap tahun karena tidak suka makan nasi beras dari toko atau yang didatangkan dari luar. Karena itu harus selalu menanam padi untuk bisa memenuhi kebutuhan.”
Yosep, satu dari sekian warga Tabaru yang tetap mempertahankan tradisi menanam padi dan mengonsumsi beras dari lokal. Beras dari padi lokal warga Tobaru dan masyarakat Maluku Utara kenal dengam istilah bira sung atau beras baru.
Padi sesungguhnya adalah tanaman pembuka ketika seseorang membuka lahan hutan atau kebun baru. Sebagaimana tradisi warga Halmahera, kalau ada kebun dibuka dari hutan primer atau hutan sekunder, padi jadi tanaman pertama sebelum tanaman pangan lain. Orang Tobaru menyebut istilah membuka kebun padi.
“Dalam tradisi menanam padi juga sudah diatur waktunya, Oktober November, Desember. Saat menanam, benih diisi dalam satu ruas bambu. Tempat itu oleh orang Tobaru dikenal dengan nama otiba. Otiba ini biasan dipegang perempuan,” kata Yosias Palangi, tokoh adat Tobaru.
Dia bilang, luas kebun satu hektar biasa mereka tanam padi sekitar delapan kula, satu kula 15 cupak atau bekas kaleng susu. Orang yang melubangi tanah disebut yotuduku, alatnya disebut otu-tuduku.
Para perempuan biasa yang menaruh bibit atau menghambur bibit ke dalam lubang, yang disebut dengan yonoa. Setelah proses yonoa selesai, tahapan terakhir yodidumu atau menutupi lubang dengan alat disebut o-didimu. Untuk satu hektar perlu tiga empat orang bekerja menutup lubang pakai o-didimu.
Setelah aktivitas ini, proses menanam selesai. Tidak ada lagi aktivitas mengolah kebun atau menebang pohon di hutan dekat kebun yang baru ditanami padi. Kepercayaan mereka, kalau ada pembukaan kebun atau tebang hutan akan mengundang hama tikus datang dan memakan benih yang baru tanam. Tradisi ini, katanya, masih hidup dan dipakai sampai sekarang dalam proses menanam.
“Ketika menanam juga waktunya harus bersamaan karena berpengaruh pada serangan hama atau penyakit. Jika, sampai padi terserang hama atau penyakit para petani tidak pakai pestisida memberantasnya.”
Kebanyakan mereka memberantas hama atau penyakit padi pakai daun dan kulit kayu yang berbau tajam. “Kalau ada daun berbau tajam ditaruh di dekat kebun banyak hama datang mendekat dan akhirnya mati sendiri.”
Tawas Tuluino, Kepala Adat Tobaru dari Desa Togoreba Tua bilang, tradisi tanam padi ini berlangsung setiap tahun. Tidak terkecuali dalam kondisi apapun petani Tobaru tetap menanam.
“Tidak semua orang menanam padi tiap tahun, tetapi karena sudah tradisi, setiap musim tanam pasti ada petani yang menanam. Ini sudah turun temurun gunakan bibit asli Tobaru.”
Dia bilang, banyak jenis padi lokal masyarakat Tobaru. Saat ini, yang banyak ditanam ada jenis pulo lenso, gamtala, pangalo, bidoi, padi aluss, bugis atau kayeli.
Mereka tanam padi juga tak di lahan luas, paling banyak satu hektar. Luasan itu, katanya, sudah cukup memenuhi kebutuhan hidup mereka. Terpenting, setiap tahun menanam secara berkelanjutan. Meski hanya sekali, hasil bisa sampai setahun berikutnya.
Benih padi warga Tobaru ini dikembangkan turun-temurun. Ada beberapa jenis padi lokal warga Tobaru sudah jarang ditemukan karena jarang ditanam.
Setiap panen, warga tetap menyisakan benih untuk tanam musim berikutnya. Mereka simpan benih dalam lumbung padi. Kalau gagal panen, mereka tetap mencari atau membeli benih di kampung atau tetangga kampung.
Tawas mengatakan, banyak jenis padi lokal yang warga juga sudah tidak tahu namanya. Beras pulut saja, katanya, ada banyak jenis dari hitam, putih dan merah. Belum lagi jenis lain. Ada puluhan jenis yang sudah berpuluh tahun tidak lagi mereka tanam.
Herman Ime, petani dari Desa Togoreba Tua mengatakan, bibit yang mereka tanam itu tidak dibeli. Biasa dia tanam jenis padi bidoi dan kayeli. Jenis yang hilang, antara lain, kapuraca, misiri, suuru, atau pulo tibobo.
Warga Desa Togoreba Tua, dengan 180 keluarga tetap berkebun dengan menanam padi walau mereka sudah kerja seperti pengawai negeri dan lain-lain. Menanam padi mereka tumpangsari dengan jenis tanaman lain. Ada pisang, jagung hingga kacang-kacangan.
Petani Tobaru tidak pakai pupuk atau pestisida ketika menanam walau pemerintah sering memberikan pupuk kimia dan pestisida tetapi tidak mereka pakai. Pupuk dan pestisida itu diberikan begitu saja tanpa penjelasan atau pendampingan.
“Bantuan pupuk juga saya terima beberapa karung tapi tidak digunakan. Akhirnya rusak percuma,” kata Herman.
Sebagian warga desa menganggap beras yang mereka produksi melalui pengawetan atau ada bahan kimia banyak racun “Bayangkan saja mulai dari benih sudah ditaruh zat kimia sampai panen diolah lalu diisi dalam karung juga masih tetap menggunakan zat kimia,” kata Yosep.
Bagaimana upaya pemerintah daerah mendukung tradisi menanam padi ladang masyarakat Tobaru atau di Halmahera Barat? Totari Balatjai, Kepala Dinas Pertanian Halmahera Barat mengatakan, mereka punya program bantuan benih lokal setiap tahun kepada petani.
Ada beberapa varietas lokal sudah disertifikasi yang dibagikan kepada petani seperti kayeli, pako atau bidoi. Padi ladang petani di Halmahera Barat ini, katanya, total seluas 250 hektar.
“Masa pandemi ini petani yang mengusahakan padi ladang naik hampir 100 persen.”
Dalam catatan Dinas Pertanian Halbar, ada lebih dari 500 hektar padi ladang petani di Halmahera Barat termasuk masyarakat Tobaru.
Hasil inventarisasi keragaman sumber daya genetik tanaman pangan Halmahera Barat dan Kota Tidore Kepulauau di Maluku Utara oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) menunjukan, keragaman sumberdaya genetik tinggi khusus padi gogo atau padi ladang.
Di Halmahera Barat, ada 15 aksesi padi gogo. Seluruh sumber daya genetik padi gogo termasuk golongan cere berumur empat sampai enam bulan, jenis aromatik, dan nasi pera. Umumnya, padi lokal tanam setahun sekali, dengan awal tanam pada November dan Desember. Tinggi tanaman rata-rata dua meter hingga waktu panen, padi direbahkan dahulu untuk memudahkan panen dengan ani-ani. Warna beras beragam, ada putih, hitam, dan merah.
Gotong royong
Masyarakat Tobaru mempercayai alam punya kekuatan. Karena itu, dalam membuka lahan baru, dengan prosesi dan ritual. Mereka juga punya tradisi turun temurun ketika membuka kebun yakni gotong royong, biasa disebut wange mia makakaesa atau saling membantu membuat kebun.
Wange mia makakaesa ini berlangsung sejak membuka lahan, menanam hingga panen. Semua mereka lakukan bergotong royong biasa antar warga sekampung atau lingkar keluarga.
“Tradisi ini masih hidup hingga kini,” kata Tawas.
Gotong royong ini, katanya, tak hanya saat membuka kebun, menanam hingga panen juga kerja-kerja lain, seperti panen kelapa dan lain lain.
Dia bilang, kini mulai ada pergeseran karena sebagian mulai berbayar tetapi saling membantu ini masih tetap hidup di tengah masyarakat.
Orang Tobaru juga menjunjung tinggi nilai- nilai kekeluargaan. Slogan “nou po maka dora” berarti,”kita semua saling menyayangi dan membantu” melekat erat dalam keseharian.
Dalam tradisi membuka kebun baru, katanya, Orang Tobaru punya tahapan, pertama mulai dengan sodoaka atau potong tali dan kayu kecil-kecil atau o sodoaka. Setelah sodoaka lalu membersihkan rumput. Kalau sudah selesai lanjut dengan penebangan pohon.
Kayu-kayu kecil dipotong potong setelah melewati tahapan penebangan menunggu musim panas baru dibakar.
Dalam membakar lahan selalu ada batas agar api tidak merambat keluar. “Arah membakar mengikuti arah angin dan dibakar dari pinggiran.”
Setelah melewati tahap bakar, katanya, kalau semua batang terbakar, proses selesai. Kalau tidak, maka batang- batang tersisa atau disebut yokaagomo, diangkat dan bakar ulang.
Setelah melewati tahap ini, lalu mereka sapu bersih gunakan salara atau sapu lidi dari daun enau. Kalau sudah bersih proses menanam padi. Biasanya , untuk kebun baru buka dari hutan itu tanaman utama adalah padi.
Syafrudin Abdurahman, Ketua Program Studi Antropologi Univeristas Khairun Ternate mengatakan, menanam padi itu tradisi penting masyarakat Tobaru. Bahkan, dalam tradisi menanam padi orang di Maluku Utara ada kesamaan. Hanya saja, di di Halmahera Barat, terutama Kecamatan Sahu dan Ibu, ada upacara dalam khusus memperlakukan padi.
Kemiripan itu, katanya, juga ada pada tradisi masyarakat Tobaru, atau Tobelo Galela atau di Halmahera. Jadi, hanya beda penyebutan.
Dia contohkan, tradisi Tolagumi jadi tradisi umum di Maluku Utara, terlebih mereka yang membuka kebun baru. Tradisi-tradisi lama yang hidup di tengah masyarakat petani ini, katanya, ketika masuk agama mulai hilang. “Saya contohkan Orang Tobelo Dalam, tradisi gomatere itu sudah perlahan-lahan mati karena masuk agama kepada mereka,” kata Syafrudin.
Dalam tradisi syukuran di kampung-kampung termasuk di Tobaru, sebenarnya dulu bagian dari tradisi yang dipersembahkan kepada alam.
Ketika ada keyakinan baru masuk, mereka kemudian bentuk ucapan syukur yang dipersembahkan kepada alam itu beralih ke gereja, misal. Karena hasil panen yang didapatkan dari hasil kebun itu tidak terlepas dari campur tangan Tuhan. Dalam tradisi lama, mereka membuat ritual atau makan-makan yang dipersembahkan ke pohon-pohon atau tempat di alam yang dianggap punya kekuatan.
Hasil riset antropologinya, nenek moyang orang Tobaru hidup berpindah pindah atau nomaden seperti Suku Tobelo Dalam. Hanya yang membedakan adalah area atau daya jelajah. Masing-masing, tak keluar dari zona mereka.
Dalam praktik lama, ketika ada keluarga meninggal dunia mereka akan pindah meninggalkan tempat itu, termasuk ketika terserang wabah. Mereka percaya roh-roh orang mati masih hidup jadi perlu meninggalkan lokasi atau wilayah yang ditempati.
Saat mereka pindah selalu di malam hari. Tujuannya, agar lalat sebagai sumber penyebar penyakit tak mengikuti saat pindah. Mereka yakin, lalat itu sumber penyebar penyakit. “Nenek moyang suku-suku asli ini sangat tahu lalat itu menjadi sumber penting dari penyebaran penyakit,” kata Abdurahman.
Warga Tobaru, katanya, masih mengkonsumsi beras dari luar tetapi dalam urusan menanam padi itu sudah tradisi. Tanaman padi, katanya, berhubungan dengan keselamatan memenuhi hajat hidup sehari hari.
Masyarakat Tobaru, katanya, punya berbagai ritual untuk menyelamatkan sumber pangan mereka agar terhindar dari penyakit dan gagal panen. Ketika mereka menanam dan berhasil, akan simpan benih untuk musim tanam berikutnya. Mereka juga mengalokasikan bagian untuk ritual dan pesta. Sisanya buat konsumsi.
Kalau dulu, orang makan nasi tidak setiap hari seperti sekarang. Dulu, orang mengandalkan pangan lain seperti pisang, sagu dan ubi-ubian dan lain-lain. Bahkan, katanya, dulu makanan berat atau sumber karbohidrat utama itu pisang dan popeda atau sagu ditutup dengan nasi. Sekarang, praktik ini terbalik. Nasi sebagai makanan utama dan pangan lain hanya tambahan.
Begitu juga urusan keyakinan di gereja ada syukuran padi baru panen. Ritual ini, katanya, yang memacu mereka tetap menanam padi tidak hanya untuk makan juga kebutuhan ritual panen padi atau bira sung.
Ada penganan nasi jaha kembar dibuat dengan beras baru atau padi ladang. Rata-rata persembahan untuk syukuran. Penganan dari padi ladang ini tidak bisa dengan beras lain. “Tradisi menanam padi itu sebenarnya berhubungan juga dengan ritual. Kalau dulu sebelum masuk agama mereka melakukan persembahan ke alam. Sekarang, beralih dengan syukuran di tempat ibadah.
Artikel ini bersumber dari: https://www.mongabay.co.id/2021/05/02/menjaga-tradisi-tanam-padi-lokal-orang-tobaru