Hentakan kaki yang lincah menerbangkan debu. Nyanyian silih berganti laki-laki dan perempuan memberi irama, menjadi musik pengiring tarian tebe, kesenian di Desa Kenebibi, Kecamatan Kakuluk Mesak, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur.
Menyaksikan tarian tebe, pikiranku lari pada imajinasi persatuan yang saling menguatkan. Terlihat dari ikatan melingkar yang terbentuk dari tangan yang saling merangkul. Meski goyang kiri dan kanan, meloncat dengan begitu lincah, namun ikatan tangan tidak pernah terlepas. Posisi melingkar tetap terlihat rapi, meski gerakan kian cepat. Maju mundur, kiri dan kanan.
Kata Pak Dani, ikatan yang terbentuk dari berpegangan tangan itu berarti kita satu. Kita tidak boleh pisah. Karena kita di sini beragam, jadi tebe itu maknanya menyatukan. Tebe, tarian yang wajib ketika ada pesta. Katanya, bukan pesta jika tidak ada tarian ini.
Tebe hanyalah sepenggal kekayaan budaya di Desa Kenebibi. Ada banyak kekayaan lainnya yang bisa disaksikan di sini. Kisah kehidupan dan kekayaan alam dapat kita jumpai. Semuanya menjadi kisah yang wajib dikenang. Kisah yang di dalamnya terselip pelajaran untuk menjalani kehidupan. Termasuk pelajaran hidup berdampingan meski ada perbedaan.
Selasa, 09 Juli 2019 menjadi hari kesembilan diriku berada di Desa Kenebibi. Desa dengan penduduk muslim sebagai minoritas, sementara Kristen sebagai mayoritas. Ini menjadi pengalaman yang luar biasa bagiku, sekaligus menjadi moment untuk memahami arti toleransi secara langsung.
Teringat ketika masih di Makassar, ketika matahari tak lama lagi bersembunyi di ufuk barat, bersamaan datangnya warna keemasan di atas langit dan laut. Suara-suara dari toa masjid penanda waktu maghrib akan segera terdengar. Orang-orang dengan pakaian rapi, akan berjalanan menuju masjid atau mulai masuk ke rumah.
Di tanah Timor ini berbeda. Suara adzan masjid menjadi pemandangan langka. Sebuah kebalikan dari kebiasaan diri ketika masih di Makassar. Aku bahkan duduk hingga gelap, baru tersadar bahwa waktu maghrib telah masuk. Di Atapupu, masjid hanya ada satu dan berada di dekat Pelabuhan, masuk dalam wilayah Desa Jenilu. Tepatnya di desa sebelah tempatku berada. Karena perbedaan itu, tidak menjadi masalah bagiku. Sebab aku bisa menyaksikan langsung pembuktian atas pidato Wakil Bupati Belu ketika penyambutan, bahwa NTT berarti Nusa
Toleransi Terbaik.
Selasa sore, usai mencoba permainan Bingo warga bersama Eki. Aku, Ashar, Erna, Eki, Erick, Mama Berta Induk semang Erna selama di sini, serta Emso pergi ke acara pernikahan di Sukaerlaran.
Ketika tiba, kami berjalan menuju pelaminan bersalaman dengan kedua mempelai. Setelah itu duduk di kursi yang telah disediakan. Kami duduk di kursi plastik barisan kanan menghadap kedua mempelai berada menyambut para tamu yang datang.
Belum lama duduk, pemandu acara kemudian mempersilahkan pengantin maju ke dekat meja yang di atasnya terlihat kue yang bersusun tiga serta kue ulang tahun dengan lilin angka 57 di atasnya. Ada pula botol dan kaleng minuman di sekelilingnya. Dua kue tersebut akan dipotong oleh kedua mempelai serta saksi pernikahan yang juga sedang ulang tahun hari ini.
Sewaktu kedua mempelai berada di depan kue didampingi saksi pernikahan. Mempelai laki-laki menjawab pertanyaan pembawa acara, bahwa ia akan memulai potong kue mulai dari bawah. Makna dari prosesi tersebut nantinya diharapkan agar ikatan pernikahan mereka kuat mulai dari bawah, dan tidak akan terpisahkan oleh manusia.
Selesai sesi potong kue, acara dilanjutkan dengan pembacaan doa yang dipimpin oleh pembawa acara langsung. Doa dilakukan sesuai ajaran Khatolik, sementara kami yang muslim menyesuaikan. Lagi-lagi aku merasakan bagaimana menjadi minoritas yang sebelumnya doa sering dipandu secara Islam dan yang lain menyesuaikan. Tapi kini diriku yang menyesuaikan. Sebuah proses pembelajaran toleransi yang indah.
Selesai berdoa, tamu undangan kemudian dipersilakan untuk menikmati jamuan yang ada. Kami yang kemudian dianggap sebagai tamu terhormat dari UNHAS, disambut dengan sangat hangat. Pemandu acara seolah membaca pikiran kami yang beragama Islam, secara langsung mempersilahkan kami untuk menuju tempat yang disediakan khusus mengambil jamuan makan siang. Bukan untuk meminggirkan kami yang berbeda, tapi karena menghargai kami.
“Di sini kami orang Timor sudah budayanya. Kalau ada acara, pasti ada kami pisahkan makanan yang dagingnya ayam, sapi, atau kambing di potong oleh saudara kami yang muslim” ucap pemandu acara di tengah-tengah acara ketika mempersilahkan kami.
Kami pun berdiri lalu melangkah menuju rumah yang di sana telah disediakan makan siang. Sekali lagi, perasaan yang amat menghormati kami, ketika berjalanan menuju rumah, kami bukannya berjalan sendiri, tapi diantar oleh Emso yang pada umumnya ia beragama Kristen, justru menyantap makanan seperti yang kami santap.
Bukan hanya Emso, Pak Dusun Makfaho pun mengikuti kami hingga masuk rumah, untuk memastikan pelayanan yang maksimal kepada kami. Semua orang disekitar pesta kami lihat selalu tersenyum, memberi pesan ramah dan hangat akan kehadiran kami
Usai mengambil makanan, kami kembali duduk di tempat semula dan mulai menyantap makan siang. Sembari makan, pembawa acara tadi menghampiri dan berdialog dengan kami.
Kenebibi, bumi minoritas dan mayoritas melebur menjadi satu, cerminan nusa bersahabat.“Inilah kami orang Timor. Kalau ada acara kami jemput saudara muslim kami untuk menyembelih hewan. Sebab kami sadar mereka tidak makan babi. Setelah dipotong kami antar kembali. Nanti masak kami antarkan mereka. Di sini bukan hanya disembelih, mulai dari memasaknya hingga acara seperti ini, sudah dipisahkan sejak awal” terang bapak pemandu acara. Selama menikmati makan siang, kulihat di sekeliling sebagian orang telah selesai. Pemandangan baru kembali kulihat, dimana orang-orang yang biasanya ketika selesai makan berat, kadang menikmati kue-kue atau sekadar minum.
Di sini beda, orang-orang dengan ramai mengunyah sirih pinang. Bibir mereka terlihat merah seperti berdarah karena efek mengunyah sirih pinang. Nampaknya ini menjadi suguhan yang wajib, terlihat dari kotak-kotak kecil dengan pinang dan kapur di dalamnya tersebar di tengah-tengah tamu yang datang. Jadi jika ke NTT, mesti mencoba sirih pinang ini.
Selesai makan, kami diundang bergabung untuk melakukan tebe. Kami maju, membentuk lingkaran dengan kedua mempelai berada di tengah berdansa. Meski kaku, tapi orang-orang Kenebibi dengan sabar mengajarkan kepada kami gerakannya.
Aku turut serta dalam tebe hingga dua kali. Sementara Ashar, Erna, Eki, dan Erick hanya satu kali. ikut menari tebe cukup menyenangkan. Mungkin karena baru kali ini mencoba jadi gerakannya masih kurang sempurna. Bahkan keringat keluar melintasi cela-cela pori tubuh. Padahala kulihat penari lainnya biasa saja tanpa keringat.
Tapi di luar dari itu, diriku merasa sangat terhomat, kami disambut dengan rasa kekeluargaan yang penuh penghargaan dan penghormatan. Tanpa ada mimik membedakan dari wajah-wajah tuan rumah dan tamu undangan yang datang. Aku kini sadar, perbedaan adalah kekayaan yang mesti kita jaga, sebab itulah kekayaan bangsa kita. Satu dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika.
Menghayati peristiwa di atas, ingatanku lari pada pelatihan active citizens sebelum berangkat. Pelatihan yang berguna sebagai bekal khusus bagi kami 37 orang. Dalam pelatihan tersebut, kami diberikan materi tentang saling menghormati dan menghargai. Diajarkan untuk menjadi manusia layaknya air. Mampu mengisi dan menyesuaikan dalam setiap tempat. Kini yang kurasa, telah menjadi air untuk memahami makna toleransi meski hidup sebagai minoritas.