Lantunan Syair dan Petikan Gambus. Selain menghasilkan kepercayaan simbolik dalam bentuk pesan dari leluhur, interaksi bentang alam (karst, sungai, perkebunan, sawah, dan tambak) dengan masyarakat di Rammang-Rammang, juga menghasilkan suatu tradisi lisan yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat sejak dulu. Tradisi lisan ini dilantunkan dengan petikan gambus yang berpadu dengan syair-syair sederhana tapi memiliki makna kehidupan yang begitu mendalam. Malam itu di Kampung Massaloeng Desa Salenrang, saya bertemu dan mendengarkan tokoh-tokoh masyarakat di Kampung Massaloeng memainkan gambus, alat musik tradisional di rumah Inca Lanna (60 tahun). Hadir pula beberapa anak muda yang berdatangan membawa alat musik.
”Sudah empat malam kami latihan, karena anak muda disini masih malu-malu tampil di depan umum,” kata Inca diiringi tawa beberapa anak muda.
Selain latihan, para pemuda mendengarkan pengetahuan tradisi lisan dari para penuturnya yang rata-rata sudah berusia lanjut seperti Inca. Sambil mempersiapkan alatnya, Inca menceritakan kehadiran musik gambus di Kampung Massaloeng.
“Gambus ini kira-kira masuk tahun 1965. Yang perkenalkan itu gerombolan yang sering lewat sini (Massaloeng). Dulu, mereka tinggal di salah satu kampung tua, Romang Lompoa. Dulu musik ini dimainkan dari malam sampai pagi. Menemani kami menjaga sawah. Disini dulunya banyak babi yang merusak sawah-sawah. Makanya, kami mulai malam sampai pagi itu tidak tidur sambil bermain gambus,” jelasnya yang mengenal gambus sejak kecil.
Syair-syair yang biasanya mereka nyanyikan tiap malam saat menjaga sawah dari serbuan babi, berisikan pesan-pesan mengenai makna hidup, ajaran agama, dan juga interaksi mereka dengan gunung (karst), sungai, bahkan laut. ”Lagu-lagunya tentang bagaimana kita menikmati hidup dan berhubungan dengan alam yang ada disini,” katanya.
Sambil diiringi petikan nada gambus, dia kemudian menyanyikan salah satu syair yang begitu terkenal di Rammang-Rammang, sekaligus mengandung pesan atau makna tentang kehidupan, kebersamaan, dan pentingnya menjaga kampung halaman.
”Pariana Rammang-Rammang, ri Salenrang i allamba, ri Massaloeng i tarroe-roe i rappo’ na (Tanaman pare Rammang-Rammang, di Salenrang menjalar, di Massaloeng buahnya bergoyang-goyang),” kata Inca melantunkan potongan syair lagu.
Lagu yang dimainkan Inca itu berisi perumpamaan yang mendalam mengenai pertalian kehidupan di tiga perkampungan tua di desa ini yakni Rammang-Rammang, Salenrang, dan Massaloeng. Juga tentang penghidupan (manusia dan alam) dan identitas mereka sebagai keturunan Dampang Salenrang.
Khazanah bentang alam diikuti dengan tradisi lisan yang mengakar dan menjulang bagaikan hamparan gugusan karst Rammang-Rammang, juga membuat takjub anak muda penerus sekaligus pelestari tradisi lisan ‘sinrilik’ khas Makassar di Sulawesi Selatan, Arif Rahman Daeng Rate.
Arif, sapaan akrabnya, pernah berkunjung, berinteraksi, dan berbagi pengalaman secara langsung bersama dengan para penutur tradisi lisan di Rammang-Rammang. Dari interaksinya itu, Arif menyadari bahwa syair-syair yang mereka nyanyikan memiliki pesan yang kuat mengenai hubungan bentang alam dengan para penutur tradisi lisan di Rammang-Rammang.
“Kesenian mereka, baik lagu, syair, dan cerita yang berkembang disana mengarah pada satu hal, yakni pengabdian. Misalnya dalam lagu-lagu yang saya dengar ada yang menyebut sungai, gunung, dan beberapa kampung yang spesifik. Itu kan pada dasarnya ada yang mereka mau titipkan kepada generasi selanjutnya,” ucap Arif saat dihubungi via WhatsApp, pertengahan Maret lalu.
Selain itu, para penutur tradisi lisan di Rammang-Rammang menyebutkan jika bentang alam di luar sana sudah banyak yang berubah, tetapi syair-syair lagunya masih ada dan begitupun sebaliknya. ”Di Rammang-Rammang ini, semua masih terjaga. Bentang alamnya masih utuh dan penuturnya juga masih ada. Menurutku ini yang penting jadi titik temu antara tradisi lisan dan upaya pelestarian lingkungan,” sambungnya.
Terakhir, saya menemukan sebuah pesan kuat di salah satu postingan instagram Arif, sesaat setelah ia menikmati bentang alam dan berinteraksi langsung dengan para penutur tradisi lisan di Rammang-Rammang.
“Lirik yang tergubah dan kisah-kisah yang mengalir pada masyarakat ini muncul seperti bentang alam mereka. Semua lirik dan kisah adalah mereka sendiri. Bebatuan karst adalah mereka sendiri. Sungai adalah mereka sendiri. Tanah adalah mereka sendiri. Air adalah mereka sendiri. Adapun musik dan segala apa yang diiringinya adalah resonansi yang lahir dari bentang alam dan daya pikir/cipta manusia perawatnya. Terima kasih kepada kalian semua yang bertahan dengan sederhana dan ksatria.” tulis Arif dalam postingan instagramnya.
Maudu Jolloro’, Pesan Berbagi dan Bersyukur
Akhir tahun 2016, sepanjang aliran Sungai Pute menyajikan lanskap alam yang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Tahun itu, dimulai dari dermaga satu menuju ke dermaga dua dipenuhi oleh perahu jolloro’ yang membawa Baku Maudu atau sebuah ember yang berisi telur dan songkolo. Aktivitas masyarakat Desa Salenrang, khususnya Rammang-Rammang untuk merayakan Maulid Rasulullah SAW.
Sejak Rammang-Rammang ditetapkan sebagai kawasan wisata yang ramai dikunjungi, masyarakat kini mengenal dua cara merayakan tradisi Maulid Rasulullah SAW. Pertama ialah perayaan maulid yang sejak turun temurun dirayakan di Masjid dan kedua ialah perayaan maulid yang diadakan di atas perahu atau dikenal dengan istilah Maudu Jolloro’.
Menurut Iwan Dento, Ketua Kelompok Sadar Wisata Hutan Batu Karst Rammang-Rammang menjelaskan Maudu Jolloro’ yang diadakan pertama kali pada tahun 2016 itu merupakan upaya promosi wisata alam Rammang-Rammang dan sekaligus pelestarian tradisi.
“Sebenarnya tradisi Maudu Jolloro’ itu, membawa konsep ‘sedekah’ ke para pengunjung sebagai ucapan terimakasih masyarakat disini atas nikmat dan berkah yang mereka telah rasakan. Selain itu, tradisi ini juga sebagai ajang atraksi sekaligus pelestarian budaya atas limpahan sumber daya alam yang dimiliki Rammang-Rammang,” ujar Iwan Dento.
Perahu-perahu yang dihias dengan beragam ornamen khas maulid ini melintasi Sungai Pute dimulai dari Jembatan pute lalu berakhir di dermaga tiga Kampung Berua. Sesampainya di Kampung Berua, kegiatan dilanjutkan dengan barasanji oleh masyarakat dan juga diikuti para pengunjung.”Para pengunjung juga bisa bersama-sama naik di atas perahu merayakan kegiatan maulid di atas perahu khas Rammang Rammang ini,” tambahnya.
Saat perayaan Maudu Jolloro’ yang dilaksanakan tahun 2018, Suratman Alimuddin, fotografer, yang kerap mengunjungi dan mempromosikan wisata Rammang-Rammang mengikuti kegiatan itu. Sebagai fotografer yang banyak mengabadikan pesona alam dan aktivitas budaya, Suratman menganggap bahwa tradisi ini sangat menarik untuk mengundang banyak wisatawan. Bahkan, ia juga melihat ada yang ‘khas’ dalam tradisi Maudu Jolloro’ yang diadakan oleh masyarakat di Rammang-Rammang.
“Maudu Jolloro’ di Rammang-Rammang ini mirip dengan perayaan Maudu Lompoa di Cikoang Takalar. Tapi kalau disana (Cikoang) perahunya besar dan ditampilkan di kampung. Di Rammang-Rammang ini, menariknya karena melintasi sungai. Ini yang banyak disuka sama wisatawan,” jelasnya.
Tradisi Maudu Jolloro’ di Rammang-Rammang terakhir diadakan pada tahun 2019. Pada tahun 2020, kegiatan ini tidak dilakukan akibat pandemi dan aktivitas wisata terhenti sementara. Meskipun sudah dua tahun tidak diadakan, Suratman berharap agar kegiatan Maudu Jolloro’ di Rammang-Rammang dapat kembali diadakan, sebab menurutnya kegiatan ini memiliki keunikan tersendiri bagi para penikmat atraksi budaya seperti dirinya.
***
Sumber: https://www.mongabay.co.id/2022/07/09/menikmati-pesona-bentang-alam-berbalut-budaya-rammang-rammang/