Konsep dan Realitas Pembangunan Inklusif dan Berkelanjutan (Bagian II)

Setelah sebelumnya membahas tentang konsep pembangunan penghidupan yang inklusif dan berkelanjutan, maka bagian ini akan mencoba menggambarkan bagaimana kondisi pembangunan perdesaan di wilayah program BangKIT. 

Situasi Sistem Pemerintahan Desa

Secara umum desa-desa yang tersebar di wilayah kawasan timur Indonesia terutama di wilayah program BangKIT biasanya disebut dengan beberapa istilah seperti desa administratif, desa adat dan desa nagari/negri. Meskipun telah diakui oleh undang-undang, konstelasi adat ataupun aturan yang ada pada desa-desa adat dan negeri umumnya masih sangat kental dengan sistem patriarki dan struktur adatnya. Pengambilan keputusan umumnya ditangani raja atau kepala desa.

Peran struktur pemerintahan seperti kepala desa dan seluruh perangkatnya merupakan salah satu elemen penting dalam menyukseskan pembangunan desa.  Mengapa status kepala desa menjadi penting? Pertama, arah pembangunan desa ditentukan melalui penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa) untuk  6 tahun ke depan yang memuat visi dan misi kepala desa. Kedua, rata-rata pejabat yang ditunjuk merupakan staf kabupaten yang tidak berdomisili di desa tersebut, dan banyak diantara mereka seringkali tidak hadi di desa bahkan di hari kerja. 

Proses Perencanaan Desa

Secara umum, proses perencanaan desa di wilayah kerja Program BangKIT berjalan secara formal sesuai dengan yang telah dituangkan di peraturan perundang-undangan yang ada. Proses perencanaan desa dimulai dari musyawarah di tingkat RT/RW ataupun kelompok, dilanjutkan ke tingkat dusun, yang kemudian dilanjutkan lagi dengan musyawarah tingkat desa. Hasil dari Musrenbang Desa inilah yang kemudian dituangkan ke dalam rencana penganggaran desa, dan ada juga yang diteruskan ke Musrenbang Kecamatan. Selanjutnya hasil Musrenbang Kecamatan dibawa ke forum OPD Kabupaten dan menjadi rujukan dalam proses penyusunan rencana kerja masing-masing OPD teknis tersebut. 

Tidak semua desa mengikuti proses tersebut di atas. Alih-alih melakukan musyawarah di tingkat dusun, beberapa desa melakukan diskusi kelompok atau diskusi di tingkat RT/RW dan langsung dibawa ke dalam Musrenbang Desa. Beberapa desa lain langsung melakukan musyawarah di tingkat desa tanpa ada diskusi tingkat RT/RW dan dusun. Ada juga desa yang tidak lagi melakukan Musrenbang Desa dalam beberapa tahun terakhir desa sudah tidak pernah melakukan Musrenbang Desa.  

Lebih jauh lagi, proses eksplorasi ide dan usulan kegiatan pembangunan desa seringkali berasal dari proses yang gagal mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi. Tidak jarang usulan kegiatan berasal dari kebutuhan kelompok individu tertentu dimana prioritasnya didasarkan pada banyaknya orang yang diwakili oleh usulan tersebut. Dalam proses seperti ini, kaum marginal yang umumnya juga minoritas di desa, seringkali tidak disertakan dalam proses diskusi dan juga tidak dipertimbangkan untuk mendapatkan manfaat dari kegiatan pembangunan yang diusulkan.  

Kesenjangan Pengetahuan  

Kapasitas aparatur desa dalam memfasilitasi proses perencanaan pembangunan, khususnya dalam mengelola penghidupan berkelanjutan terbilang masih sangat terbatas. Berbeda dengan staf pemerintah di kecamatan ataupun kabupaten, staf pemerintah desa lebih jarang mendapatkan akses untuk berbagai peluang peningkatan kapasitas.  

Perbedaan jenjang pendidikan staf pemerintah desa dengan pemerintah kecamatan juga cukup jelas terlihat. Sebagian besar staf desa berpendidikan sampai sekolah menengah, sementara staf kecamatan dan kabupaten rata-rata sarjana, bahkan ada yang bergelar magister dan doktor. 

Kesenjangan kapasitas dan pengetahuan antara staf desa dengan kecamatan dan kabupaten dapat memengaruhi kualitas proses dan hasil perencanaan pembangunan begitu juga dalam tahap pelaksanaan hingga evaluasi kegiatan pembangunan. Tidak jarang perencanaan pembangunan menjadi kurang efektif yang berakibat pada lemahnya kualitas pelayanan publik di desa. 

 

Penggalian Usulan yang Tidak Transparan

Tidak selamanya proses penggalian usulan kegiatan pembangunan di desa berlangsung mulai dari dusun atau sesuai tahapan yang diatur pemerintah. Kerap kali hasil proses diskusi informal justru yang dimunculkan dalam Musrenbang Desa tanpa adanya diskusi di tingkat dusun.  

Diskusi informal di luar proses musrenbang dusun dan desa ini bisa saja terjadi antara staf desa dengan pihak atau kelompok tertentu dengan mengacu pada perencanaan tahun sebelumnya. Diskusi semacam ini sering kali menghasilkan prioritas yang berbeda dengan usulan-usulan yang terbangun dalam diskusi formal dan tidak didasarkan pada permasalahan riil yang dialami dan kebutuhan utama desa. Akibatnya banyak aktivitas pembangunan tidak membawa manfaat yang dibutuhkan masyarakat. 

Memasukkan Perencanaan Penghidupan Berkelanjutan 

Upaya untuk meningkatkan kualitas perencanaan pembangunan dan penghidupan masyarakat di desa menjadi hal yang sangat krusial dilakukan untuk memajukan daerah-daerah yang terpencil di kawasan timur Indonesia. Saat ini Program Peningkatan dan Pengembangan Penghidupan bagi Masyarakat Miskin yang Inklusif dan Berkelanjutan di Kawasan Timur Indonesia (Program BangKIT) sedang memperkenalkan model peningkatan pengembangan penghidupan yang berkelanjutan dan inklusif dimana desain aktivitasnya dimasukkan dalam perencanaan pembangunan desa.  

Model pengembangan penghidupan berkelanjutan yang inklusif ini berfokus pada aset dan modal yang telah ada di masyarakat dan dapat dikelola bersama oleh seluruh unsur dan kelompok masyarakat, termasuk perempuan, difabel, dan kelompok marginal lainnya yang selama ini jarang bahkan tidak pernah terlibat dalam proses-proses pembangunan di desa. Secara khusus, Program BangKIT memandang  keterlibatan seluruh pihak mulai dari diskusi perencanaan menjadi hal yang sangat penting untuk mendorong penghidupan yang lebih baik bagi semua warga dan berketahanan iklim. 

Adapun model pengembangan yang digunakan dalam program ini tersusun dalam beberapa tahapan yang dimulai dengan mengembangkan mekanisme perencanaan yang sudah ada dengan memperkuat konsep inklusif dan berkelanjutan. Tahap kedua dari model ini adalah mengintegrasikan penghidupan berkelanjutan yang inklusif ke dalam perencanaan pembangunan desa. Tahap ketiga meningkatkan kapasitas masyarakat dan tokoh masyarakat, aparatur desa, kecamatan dan kabupaten dalam menyusun perencanaan desa  yang inklusif. Tahap keempat adalah mendesain dan merencanakan inisiatif pengembangan penghidupan yang dilanjutkan dengan upaya integrasi inisiatif tersebut ke perencanaan pembangunan.

Program BangKIT mendapatkan input  dari proses dan diskusi bersama seluruh pihak yang yang ada di desa untuk dapat mengembangkan dan menerapkan setiap tahapan tersebut.  Salah satu harapan utama dari program ini adalah meningkatnya kemampuan desa dan sinergi dukungan kabupaten dalam peningkatan penghidupan masyarakat secara lebih mandiri.

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.