Boleh jadi Sulawesi Selatan, adalah yang pertama di Indonesia, menginisiasi agenda kebijakan berbasis pengetahuan, setelah dipilih sebagai pilot project oleh Knowledge Sector Initiative (KSI). Pilot ini menerapkan siklus lengkap dalam proses penyusunan kebijakan berbasis bukti, suatu agenda kebijakan prioritas daerah akan didukung melalui sebuah kajian terapan yang menjadi dasar suatu kebijakan. Kegiatan mulai bergulir akhir tahun 2019, kerjasama KSI, Yayasan BaKTI dan Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappelitbangda) Sulawesi Selatan melalui dukungan Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia (DFAT) dan dilaksanakan bekerja sama dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas).
Pemilihan Sulawesi Selatan sebagai lokasi percontohan bukan tanpa alasan, program ini selaras dengan komitmen Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, pada penyusunan kebijakan berbasis bukti yang lebih kuat. Di provinsi ini pula, Pemerintah Australia bekerjasama Indonesia menjalankan beberapa proyek, seperti MAMPU, KOMPAK, PAIR (Partnership Australia Indonesia Reseach), dan beberapa penelitian kebijakan publik, yang dilaksanakan mitra KSI ada di Sulawesi Selatan. Semua ini merupakan modal membangun interaksi, kolaborasi antara aktor pengetahuan di Sulawesi Selatan.
Upaya mewujudkan kebijakan berbasis pengetahuan, berproses pada beberapa tahapan. Berawal dari identifikasi isu prioritas melalui serangkaian pertemuan multi pihak. Isu strategis yang disepakati bersama, akan dipertajam melalui kajian mendalam. Dipenghujung agenda, terbentang asa, akan lahir rekomendasi yang membuahkan produk kebijakan, peraturan di level provinsi sebelum pertengahan Juni 2021 mendatang.
Itulah sebabnya serangkaian pertemuan multi pihak digelar, menghadirkan Organisasi Perangkat Daerah lingkup provinsi, Tim Gubernur Percepatan Pembangunan (TGUPP), perguruan tinggi, wakil dunia usaha, Bank Indonesia, LSM dan mitra pembangunan, guna memastikan isu yang akan didorong ke arah kebijakan, lahir dari proses partisipatif, isunya berbasis kebutuhan yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan searah dengan prioritas pembangunan pemerintah provinsi.
Rangkaian pertemuan formal sudah terlaksana tiga kali. Pertama kali pada pertengahan Desember 2019, di Aula Bappelitbangda provinsi, membahas tantangan, pembelajaran dan kebutuhan terkait tiga isu prioritas, rekomendasi Workshop KSI-Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan bersama BaKTI yang telah dilaksanakan sebelumnya di bulan Mei 2019, adalah kesenjangan sosial ekonomi, integrasi perencanaan dan penganggaran, serta tata kelola ekonomi lokal yang mendukung komoditas lokal. Hasilnya, kesenjangan sosial dan ekonomi terjadi karena pertumbuhan ekonomi yang tidak merata, akibat kesenjangan wilayah dan kesenjangan industri. Kondisi ini membutuhkan kebijakan industrialisasi dan teknologi pengolahan produk petani, nelayan dan sinergi multi pihak. Kerjasama industri dan sekolah kejuruan dalam menyediakan SDM yang terampil, seharusnya menjadi pilihan strategis. Sayang belum terpola dalam kebijakan.
Namun faktanya dengan integrasi perencanaan dan penganggaran yang dipandang belum sinkron antara pusat, provinsi dan kabupaten. Akibat proses perencanaan yang belum sepenuhnya berbasis studi kelayakan yang valid berdasarkan fakta, data dan proyeksi perkembangan dan kemajuan, bahkan tidak responsif terhadap perubahan. Maka lahirlah kebijakan pembangunan dengan kelemahan mendasar pada aspek efektifitas, mengabaikan inklusifitas dan potensi lokal.
Pada aspek tata kelola ekonomi lokal, pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan cukup stabil secara nasional, pertumbuhannya baik. Namun berat melewati angka pertumbuhan diatas 6-7 persen ke depan, apabila tidak ditopang dengan komoditas baru dan pusat-pusat perekonomian baru yang produktif. Kompleks dan beragamnya isu mendorong diskusi terfokus, memilih satu isu prioritas. Karena itulah pada diskusi ke dua menjelang akhir Desember 2019, lebih fokus pada isu mendorong lahirnya kebijakan yang berorientasi mendukung tata kelola ekonomi daerah yang mendukung pengembangan komoditas lokal.
Argumentasinya tegas, strategis dan sejalan dengan program prioritas pemerintah provinsi, yang dalam arah kebijakan strategis pemerintah sesuai RPJMD Sulawesi Selatan 2018-2023, berpotensi mengatasi kesenjangan sosial dan ekonomi.
Ditengah bergulirnya agenda hilirisasi produk unggulan lokal pemerintah provinsi, di semua sektor andalannya. Pertemuan berikutnya yang dilaksanakan 29 Januari 2020, OPD teknis, Bappelitbangda, TGUPP, perguruan tinggi, LSM dan mitra pembangunan, mengidentifikasi potensi dan situasi komoditas lokal Sulawesi Selatan. Sedikitnya terdapat 22 komoditas unggulan potensial di bidang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan serta perikanan dan kelautan. 17 diantaranya adalah komoditas prioritas pemerintah, termasuk mengangkat kembali dua komoditas unggulan lokal yang pernah jaya, adalah markisa dan sutra yang kian meredup pamornya. Tekad Prof Andalan, julukan Gubernur Nurdin Abdullah mengembalikan kejayaan sutera dengan pendekatan hilirasasi yang berorientasi industri disambut baik, mengingat komoditas ini khas, dan sarat nilai budaya, sejatinya dilestarikan.
Komoditas Baru, Peluang dan Tantangan Baru
Belakangan, Talas Satoimo dipopulerkan pemerintah. Pendatang baru dari negeri Sakura ini memikat perhatian, dengan iming-iming kepastian pasar. Dr. Ardin Tjajo, MS,i, Sekretaris Dinas Perkebunan Sulawesi Selatan, bahkan menyebut angka yang fantastis, permintaan Jepang sekitar 100.000 ton perbulan, tak kunjung dipenuhi Sulawesi Selatan dalam waktu dekat. Inilah motivasinya pemerintah menggalakkan budidaya dan memperluas areal perkebunan talas.
Seolah berkompetisi, masyarakatpun berpacu dengan budidaya tanaman umbi liar bermarga Amorphophallus, atau familiar dengan nama porang, bahan baku produk makanan di Jepang. Dr. Ardin menyebut peluang ekspor ke Jepang terbuka lebar, permintaannya tidak tanggung-tanggung, sekitar 70.000 ton/bulan, yang dipenuhi tidak lebih 10 ton, devisit 60.000 ton inilah peluang besar yang dapat dimanfaatkan Sulawesi Selatan.
Kebutuhan budidaya komoditas baru mengarah pada keharusan, mengingat produktifitas beberapa komoditas unggulan lokal Sulawesi Selatan berangsur surut. Sebutlah kakao, kopi, yang dikhawatirkan berpotensi negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan, yang saat ini cukup stabil dibanding provinsi lainnya. Menurut Dr. Agussalim, pakar ekonomi UNHAS “Secara nasional pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan tergolong baik, namun ke depan ada potensi stagnan pada angka 6-7 persen per tahun, apabila tidak ada upaya strategis menemukan komoditas baru dan pusat-pusat perekonomian baru”.
Komoditas seperti apa yang idealnya dikembangkan? pandangan bijak, Prof. Muhammad Asdar, TGUPP bidang Ekonomi dan Guru Besar Fakultas Ekonomi UNHAS, agar lebih cermat memilih, dengan mempertimbangkan daya saing komoditas, memberikan nilai tambah, menyerap tenaga kerja. Memilih komoditas berbasis kerakyatan, khas dan bernilai budaya, berpotensi dikembangkan dengan cakupan kabupaten yang luas, atau dimanfaatkan secara luas, mengingat sekitar 38 persen dari 3.774 juta angkatan kerja masyarakat Sulawesi Selatan bekerja di sektor petani maupun nelayan yang membutuhkan dukungan kebijakan yang memihak, untuk meningkatkan daya saing produknya dan berorientasi mensejahterahkan, demikian pandangan Prof Dedy Tikson, Guru Besar FISIP UNHAS.
Agenda mengerucut pada pengembangan komoditas lokal, namun formulasi dan model kebijakan belumlah tuntas, masih ada proses diskusi. Pembelajarannya terbangun asa, proses ini menjadi bagian dari upaya menghadirkan negara di masyarakat, petani, memperbaiki standar mutu komoditi, dan memberikan jaminan kepastian harga dan kepastian pasar. Oleh karena itu, dalam pandangannya Prof. Darmawan Salman, Guru Besar UNHAS, merekomendasikan, kebijakan yang lahir nantinya berada pada level mengatur, regulatif dalam mewujudkan knowledge to action.