- Ada orang-orang di daerah sekitar tambang di Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara, mengkapling hutan lalu jual lahan ke perusahaan tambang. Aksi kapling mengkapling ini khawatir masuk kawasan konservasi dan lindung.
- T Heri Wibowo, Kepala Balai Taman Nasional Ake Tajawe Lolobata (Ake Tajawe) T keluhkan hal serupa. Dugaan kuat ada pihak yang memanfaatkan keadaan dan masuk dalam taman nasional untuk menandai pohon. Kekhawatirannya, lahan-lahan yang ditandai itu dijual ke perusahaan tambang.
- Penelusuran Mongabay akhir 2020 menemukan, praktik kapling lahan hutan secara berkelompok. Pengkalingan ini juga jadi temuan polisi kehutanan yang patroli di kawasan hutan Halmahera Tengah. Pohon-pohon diberi tanda cat merah.
- Masri Anwar Santuli, dosen Universitas Muhammadiyah, Maluku Utara yang riset soal ‘petani Halmahera Tengah merebut kembali tanahnya’ menemukan ada kapling hutan sejak 2012. Lahan, bukan buat kebun dan menanam tanaman pangan tetapi mau jual ke perusahaan tambang. Harga kaplingan Rp9.000 per meter.
Ada fenomena mengkhawatirkan di Maluku Utara. Ada orang-orang di daerah sekitar tambang di Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara, mengkapling hutan lalu menjual lahan ke perusahaan tambang. Aksi kapling mengkapling ini khawatir masuk kawasan konservasi dan lindung. Terlebih, izin-izin tambang itu ada yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Ake Tajawe Lolobata (TNAL) di Kabupaten Halmahera Tengah.
Penelusuran Mongabay akhir 2020 menemukan, praktik kapling lahan hutan secara berkelompok. Ada orang-orang masuk hutan dan melakukan pengkaplingan. Pengkalingan ini juga jadi temuan polisi kehutanan yang patroli di kawasan hutan Halmahera Tengah.
Mereka menemukan ada yang sudah merambah kawasan konservasi. “Yang kami temukan ada yang sudah menandai pohon dalam kawasan taman nasional menggunakan cat. Pohon yang ditandai mungkin jadi penanda nanti dijual ke perusahaan tambang.” Pohon-pohon diberi tanda cat merah.
Kawasan ini memang dikelilingi beberapa izin tambang hingga khawatir menggerus keanekaragaman hayati di sini.
TNAL ditetapkan 18 Oktober 2004 itu berada di Halmahera Tengah, Kota Tidore Kepulauan dan Halmahera Timur dengan luas 163. 300 hektar. Kawasan ini terbagi jadi dua blok: Aketajawe (77.100 hektar) dan Lolobata (90.200 hektar).
Masri Anwar Santuli, dosen Universitas Muhammadiyah, Maluku Utara pernah riset soal ‘petani Halmahera Tengah merebut kembali tanahnya’ menemukan ada kapling lahan di hutan sejak 2012.
Dia bilang, praktik kapling lahan ini biasa secara berkelompok. Ada 10, 15 atau 20 orang. Mereka ke hutan beberapa hari, kemudian mengkapling hutan belantara antara 10-15 hektar. Pohon ditandai dengan cat.
“Ini rahasia umum, sudah terjadi di depan mata. Bahkan, di Desa Wale, hutan mangrove juga dikapling,” katanya.
Praktik ini terjadi di sebagian kampung di sekitar perusahaan tambang. Lahan, bukan buat kebun dan menanam tanaman pangan tetapi mau jual ke perusahaan tambang. Harga kaplingan ada yang Rp9.000 per meter.
T Heri Wibowo, Kepala Balai Taman Nasional Ake Tajawe Lolobata (Ake Tajawe) T keluhkan hal serupa. Dia sampaikan ada beberapa izin tambang mengelilingi kawasan taman nasional.
Dugaan kuat ada pihak yang memanfaatkan keadaan dan masuk dalam taman nasional untuk menandai pohon. Dia khawatir lahan-lahan yang ditandai itu dijual ke perusahaan tambang.
Masyarakat, katanya, tak memahami dan tak tahu persis mereka masuk taman nasional atau bukan.
Karena itu, katanya, taman nasional hanya memberikan imbauan agar tak masuk taman nasional. Kalau masyarakat mengerti meskipun pohon dan batas kawasan itu dibuat tanda kapling, lahan itu tidak bisa dijual karena taman nasional. “Untuk mengubah fungsi pengelolaan itu tidak mudah,” katanya .
Soal itu, katanya, Ake Tajawe pernah duduk bersama PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) yang punya konsesi tambang nikel di Halmahera Tengah.
Dia bilang, perusahaan membeli lahan kaplingan warga yang tak masuk TNAL. Yang ada di hutan produksi konversi dan hutan produksi terbatas.
Meski begitu, katanya, kekhawatiran masuk kawasan konservasi sangat besar. Dia menyarankan, perusahaan memikirkan pemberdayaan warga karena kalau terus dijual akan habis.
Untuk itu, perlu memerangi praktik menjual lahan yang malah nanti menyengsarakan masyarakat. “Jual lahan hanya pakai kuitansi ini yang masyarakat tidak sadari.”
Salim Kamaluddin, Kepala Badan Perencanan Penelitian Pembangunan (Bappelitbang) Hateng di Weda Desember 2020, mengatakan, merujuk revisi RTRW Halteng 2012-2032 bahwa penentuan deliniasi kawasan industri Teluk Weda sesuai usulan daerah seluas 15.205 hektar.
Usulan ini berada di hutan produksi 11.596 hektar dan bersinggungan langsung dengan Ake Tajawe. Juga berbatasan langsung dengan kawasan perlindungan bawah atau hutan lindung. “Usulan deliniasi itu juga bersinggungan langsung dengan wilayah transmigrasi di Halmahera Tengah,” tulis dokumen revisi RTRW.
Wilayah transmigrasi merupakan daerah pertanian dan lumbung pangan di Halteng. Kini, wilayah itu terancam industri tambang kalau ada perluasan lokasi.
Artikel ini bersumber dari https://www.mongabay.co.id/2022/02/15/kawasan-konservasi-di-halmahera-terancam-kapling-lahan-buat-tambang/