Salah satu End of Program Outcome (EOPO) Program INKLUSI-BaKTI 2023-2025 adalah Media Membuat Pemberitaan yang Inklusif. Pemberitaan inklusif yang dimaksud di dalam artikel ini adalah pemberitaan yang meliput dan memberitakan kelompok marginal, rentan, dan minoritas dengan memberikan perspektif yang inklusif atau terbuka kepada keragaman dan kesetaraan, memberi ruang dan pandangan/suara, serta mengadvokasikan hak-hak dan kepentingan kelompok-kelompok tersebut. Pemberitaan inklusif bisa disebut jurnalisme inklusif, karena berita inklusif hanya bisa dihasilkan oleh jurnalis berperspektif inklusif.
Pemberitaan inklusif membuka ruang untuk kelompok-kelompok yang selama ini berada di pinggiran karena dianggap tidak penting, tidak populer, dan diabaikan dalam pemberitaan. Pemberitaan inklusif menempatkan semua orang dari berbagai latar belakang dan status sebagai pihak yang mempunyai hak yang sama untuk ditampilkan secara berimbang di dalam pemberitaan media. Dalam pemberitaan inklusif, semua orang mendapat peliputan dan pemberitaan yang sama, baik untuk menjaga dan melindungi hak-haknya sebagai manusia dan warga, maupun untuk mengadvokasikan kepentingannya.
Karena itu, berita inklusif tidak sekadar menginformasikan secara berimbang, tetapi juga perlu memberikan perspektif, pembelajaran, perubahan, dan perbaikan. Isu-isu masyarakat miskin, marginal, rentan, dan minoritas menjadi tema-tema utama dalam pemberitaan inklusif, karena selama ini kelompok-kelompok tersebut tidak mempunyai akses terhadap media. Bahkan tidak sedikit berita yang ada semakin menempatkan kelompok-kelompok tersebut dalam posisi rentan.
Istilah dan Diksi yang Bias
Istilah “janda, anak nakal, penyandang cacat, cacat, suku terasing, dan kafir” masih umum digunakan masyarakat dan ditemukan dalam pemberitaan media massa. Istilah-istilah tersebut sangat bias dan merendahkan orang-orang yang menyandangnya. Artinya jurnalis dan media massa ikut memberi stigma dan diskriminasi terhadap orang-orang tertentu karena mempopulerkan istilah-istilah yang bias.
Istilah ‘janda’ melekat pada perempuan yang bercerai atau perempuan yang ditinggalkan suaminya karena mati. Istilah ini setara dengan ‘duda’ yang digunakan untuk menyebut laki-laki yang berpisah dengan istrinya, baik karena cerai hidup maupun cerai mati. Namun, dibandingkan dengan istilah ‘duda’ yang dianggap biasa saja, istilah ‘janda’ mengandung makna yang merendahkan perempuan. Janda identik dengan perempuan penggoda. Karena itu, istilah ‘perempuan kepala keluarga’ atau ‘pengasuh tunggal/single parent’ dianggap lebih baik untuk menggantikan istilah ‘janda’ yang bias dan merendahkan.
Istilah ‘anak nakal’ adalah istilah yang diberikan kepada anak-anak yang dalam beberapa hal sangat aktif, tidak bisa diam. Namun, penggunaan istilah ‘anak nakal’ untuk menyebut anak-anak ini tidak tepat. Karena istilah ‘nakal’ disamakan dengan istilah ‘tindak pidana’. Ini diperkuat legalisasinya di dalam aturan hukum nasional, yakni Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Di dalam Undang-Undang tersebut, anak nakal didefinisikan sebagai anak yang melakukan tindak pidana dan anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam Masyarakat (Pasal 1 ayat 2).
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 telah digantikan oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dan istilah ‘anak nakal’ tidak digunakan lagi dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, namun istilah anak apakah masih digunakan oleh masyarakat, aparat penegak hukum, dan digunakan di media massa. Istilah yang diajukan untuk menggantikan istilah ‘anak nakal; di antaranya ‘anak berhadapan dengan hukum’ dan ‘berkonflik dengan hukum’.
Istilah ‘cacat’ dan ‘penyandang cacat’ yang digunakan untuk menyebut orang-orang yang memiliki keterbatasan dan hambatan. Istilah tersebut digunakan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Undang-Undang Penyandang Cacat mendefinisikan ‘penyandang cacat’ adalah orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental. Istilah ‘penyandang cacat’ sudah tidak digunakan lagi dalam instrumen hukum nasional setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Sebelumnya pemerintah juga telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Orang Dengan Disabilitas (Convention on The Rights of Persons With Disabilities atau CRPD 2006) dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011.
CRPD mendefinisikan penyandang disabilitas sebagai orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama di mana ketika berhadapan dengan berbagai hambatan, hal ini dapat menghalangi partisipasi penuh dan efektif mereka dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya (Pasal 1). Istilah ‘penyandang disabilitas’ diajukan untuk menggantikan istilah ‘penyandang cacat’. Istilah lain yang lebih manusiawi adalah ‘difabel atau difabilitas’. Difabel adalah singkatan dari Bahasa Inggris differently abled people yang berarti orang yang memiliki kemampuan berbeda. Istilah difabel dipopulerkan oleh Mansour Fakih dan Setya Adi Purwanto (seorang difabel netra). Gagasan penggunaan difabel atau difabilitas merupakan perubahan konstruksi sosial dalam memahami difabilitas, atau yang saat itu dikenal sebagai kecacatan (penyandang cacat) (Yulianto, 2016).
Istilah ‘suku terasing’ digunakan untuk menyebut kelompok masyarakat atau etnis minoritas atau etnis terisolasi yang mempunyai banyak sekali keterbatasan. Istilah ‘terasing’ sangat janggal, karena mereka bukanlah orang asing, tetapi diasingkan oleh penduduk mayoritas dan sistem pembangunan. Istilah yang dapat digunakan untuk menggantikan ‘suku terasing’ adalah ‘etnis minoritas dan suku minoritas’.
Di Indonesia, istilah ‘kafir’ digunakan mayoritas umat Islam untuk menyebut mereka yang non muslim. Istilah ‘kafir’ juga untuk menyebut mereka yang tidak menganut agama resmi di Indonesia yang diakui pemerintah. Karena itu, mereka yang menganut agama/kepercayaan lokal atau agama asli sering disebut sebagai kafir, karena dicap sebagai orang-orang yang menyembah roh-roh atau benda-benda. Sebutan ‘kafir’ kepada orang-orang yang menganut agama lokal atau agama asli tidak hanya terbatas pada keyakinan atau kepercayaan saja, tetapi berdampak pada mereka. Penganut agama lokal mengalami diskriminasi dan kekerasan, baik yang dilakukan oleh masyarakat, maupun yang dilakukan oleh negara.
Masih banyak istilah dan diksi yang bias, tidak memberikan pembelajaran atau advokasi untuk perbaikan ke arah lebih baik yang digunakan oleh jurnalis dalam pemberitaan. Beberapa di antaranya perempuan malam, perek, anak sial, anak celaka, anak terbelakang mental, orang tidak normal, orang yang dikutuk, orang yang dilaknat, bencong, banci, dan seterusnya.
Forum Media dan Jurnalisme Kemanusiaan
Munculnya istilah dan diksi yang bias di media adalah sesuatu yang yang tidak bisa dihindari. Jurnalis adalah orang-orang dipengaruhi oleh kehidupan sehari-harinya, sedangkan media adalah wahana yang tidak netral. Kehadirannya tidak selalu diperlakukan dengan pola-pola relasi yang sederhana. Media bisa menjadi wahana untuk mendominasi, menguasai, mengarahkan pikiran publik, merekonstruksikan realitas, dan menanamkan ideologi (Dosi, 2012). Sejumlah studi tentang wacana media di Indonesia yang meninjau dari perspektif wacana kritis, menunjukkan bahwa media tertentu membela ideologi, partai politik, dan komunitas budaya tertentu.
Pemberitaan di media massa adalah pertarungan antara berbagai pihak. Media adalah ruang publik di mana berbagai pihak memperebutkan wacana. Tentu hanya pihak-pihak tertentu yang mempunyai akses di ruang redaksi yang dapat mendominasi pemberitaan. Mereka yang miskin, marginal, rentan, dan minoritas tidak mempunyai akses untuk menjadi berita. Dan Ketika menjadi berita atau diberitakan pun kelompok-kelompok tersebut sering digambarkan secara salah, mengalami cap atau stigma buruk sehingga kondisinya semakin terpuruk.
Karena jurnalis atau wartawan merupakan komponen utama dan penting di dalam media massa, maka dibutuhkan jurnalis yang mempunyai perspektif dan pembelaan terhadap kelompok-kelompok miskin, marginal, rentan, dan minoritas.
Tahun 2022 Program INKLUSI-BaKTI membentuk dan merevitalisasi Forum Media di wilayah program. Disebut merevitalisasi karena Forum Media adalah organisasi koordinasi atau tempat kumpul-kumpul jurnalis yang dibentuk pada Program MAMPU-BaKTI. Forum Media menjadi tempat berdiskusi bagi jurnalis mengenai isu-isu GEDSI dan pertukaran pengetahuan dan informasi di antara jurnalis. Fred Soselisa, Ketua Forum Media Tana Toraja menyatakan “wartawan itu tidak bisa lagi dikatakan memberitakan sesuatu secara netral atau berimbang saja, karena wartawan juga manusia yang harus memperjuangkan nilai-nilai. Wartawan harus membuat berita yang membawa kepada kebaikan dan perbaikan. Nah Forum Media ini menjadi tempat diskusi untuk menghasilkan berita-berita mengenai perempuan, anak, disabilitas, lanjut usia dan isu inklusi lainnya dengan harapan membawa kebaikan dan perubahan.”
Sedangkan Saada, Ketua Forum Media Kendari menyampaikan, “di Forum Media, kami bertukar pendapat mengenai berita-berita yang dihasilkan oleh wartawan, sehingga berita-berita mengenai inklusi tidak hanya banyak, tetapi juga berkualitas. Di Forum ini kami mendiskusikan isu-isu dan berita mengenai perempuan, anak dan penyandang disabilitas, sehingga menjadi ruang bagi teman-teman untuk belajar.” Najmi S. Limonu, anggota Forum Media Maros, yang juga jurnalis Sindonews pada Pelatihan Jurnalis di Maros (01/09/2023) menyampaikan apresiasi terhadap kerjasama antara Program INKLUSI-BaKTI dengan jurnalis. Menurutnya, isu-isu inklusi adalah isu-isu baru dan penggunaan istilah tertentu dalam pemberitaan tentu tidak selalu terupdate di kalangan jurnalis. Dengan adanya Forum Media, kemudian diskusi dan pelatihan yang dilakukan oleh Program INKLUSI-BaKTI, jurnalis memperoleh pengetahuan dan perspektif untuk pemberitaan pada kelompok rentan dan marginal.
Selama Agustus-Oktober 2023 Program INKLUSI-BaKTI melaksanakan Penguatan Forum Media dan Jurnalis melalui Pelatihan dengan menggunakan Panduan Jurnalis Berperspektif Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial (Edisi Revisi, 2023). Panduan tersebut dibuat Program MAMPU-BaKTI bekerja sama dengan AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Makassar, yang kemudian direvisi disesuaikan perspektif dan pendekatan GEDSI.
Pelatihan ini bertujuan mengenalkan perspektif perspektif gender, disabilitas, dan inklusi sosial atau GEDSI kepada jurnalis, serta meningkatkan kemampuan jurnalis dalam membuat peliputan dan pemberitaan berperspektif gender, disabilitas, dan Inklusi sosial. Pasca pelatihan akan dilakukan diskusi-diskusi lanjutan sebagai monitoring dan evaluasi untuk melihat bagaimana perspektif jurnalis dalam pemberitaan mengenai isu-isu inklusi.
Jurnalisme kemanusiaan atau jurnalisme inklusif hanya lahir dari jurnalis atau wartawan yang mempunyai perspektif dan kepekaan terhadap masalah-masalah yang selama ini dianggap pinggiran, tetapi merupakan masalah kemanusiaan. Mereka yang miskin, marginal, rentan, dan minoritas dapat mengakses ruang di media massa, jika terdapat jurnalis yang mempunyai perspektif dan kepekaan, tidak sekadar bisa membuat berita.[]