Pagi itu, Om Nyong sudah menuju tempat pengolahan sagu, tak jauh dari Kampung Bukumatiti, Kecamatan Jailolo, Halmahera Barat, Maluku Utara. Pria berusia 57 tahun bernama lengkap Matheus Baura ini setiap pagi ke tempat pengolahan sagu dan baru pulang sore jelang malam. Nyong, petani dan pengolah sagu ini satu di antara seratusan lebih warga yang menjadikan sagu sebagai sumber pangan dan mata pencarian. Dia dibantu beberapa rekan kelompok dengan sistem bagi hasil.
Sampai di tempat penggilingan, Nyong menunggu sebentar rekan sesama kelompok pengolah sagu. “Jika datang tiga orang kita bagi tugas. Ada yang tebang dan potong batang sagu jadi beberapa bagian. Ada juga yang mengangkut batang sagu yang telah dipotong-potong. Juga ada yang bertugas membelah dan membersihkan pokok sagu dari korteks atau kulitnya,” kata Nyong.
Setelah dipotong, batang sagu dibelah lagi menjadi lebih kecil dan dibersihkan. Kemudian, dimasukkan ke mesin penggilingan dan penghalusan untuk akhirnya mendapatkan tepung sagu. Tanaman sagu di desa ini terbilang banyak dan menjadi kebutuhan pangan sehari- hari. Tetapi hanya sedikit yang mengolahnya.
Nyong bercerita, dalam satu batang sagu setinggi mencapai 20 meter, bisa menghasilkan pati sagu sampai 10 karung. Satu karung, katanya, berisi 25 kilogram dan dapat dijual dengan harga di antara 350 ribu - 375 ribu rupiah. “Awalnya, tepung sagu per karung 350 ribu rupiah, tapi seiring kenaikan harga bahan pokok akibat kenaikan BBM, naik jadi 375 ribu rupiah” katanya. Berarti, katanya, sagu sangat menjanjikan. Baik untuk pangan maupun peningkatan ekonomi keluarga.
Selain sagu, warga Bukumatiti juga punya kebun kelapa, cengkeh dan pala. Dari berkebun, mereka sudah bisa memenuhi keperluan hidup. Dulu, masyarakat memenuhi pangan pokok dari sagu. Kini mulai berkurang, sebagian sudah dipenuhi dengan beras.
Nyong bercerita, sekitar tahun 1980-an, bahan pangan utama mereka adalah sagu. Kalau ada acara perkawinan atau pesta apapun, mereka pasti pergi mengolah sagu terlebih dahulu. “Tapi saat ini pangan digantikan beras, sagu mulai ditinggalkan.” papar Nyong.
Batang sagu yang sudah dipotong siap proses jadi pati sagu. Foto: Opan Dahlan
Kebangkitan Sagu
Meski begitu, katanya, dia senang terjadi kebangkitan penggunaan sagu. Masyarakat, mulai menghidupkan lagi Papeda, makanan dari sagu, yang menyebabkan pemanfaatan sagu makin tinggi. Kini, katanya, dalam berbagai acara, papeda selalu menghiasi meja makan.
“Prospeknya ke depan makin menjanjikan. Empat tahun ini saya mengolah sagu dan jual sangat laku. Tapi agak mengkhawatirkan karena pengolah sagu sangat sedikit,” tuturnya. “Pada tahun 1980-an, petani pengolah sagu banyak. Sekarang tersisa sedikit.”
Dia juga bercerita mengenai awal usahanya. Sekira empat tahun lalu, ada mesin sagu bekas yang ia beli dari warga sekampung dengan harga 25 juta rupiah.
“Saya mulai olah satu batang sagu. Dipotong-potong batang sekitar 60 sentimeter. Satu batang sagu dapat 30 potong kecil, hasilkan 10 karung,” katanya, seraya mengatakan harga per karung 350 ribu rupiah.
Dalam seminggu dia bisa mengolah 3 batang sagu, sebulan sekitar ada 12 batang. Kalau satu batang menghasilkan 10 karung sagu, berarti ia mengantongi sekitar 5 juta rupiah. “Jika dikalikan 12 berarti dalam sebulan uang dari hasil olah sagu rata- rata 50 sampai 60 juta rupiah. Ini pendapatan kotor belum dikurangi operasional tiga karung.” kata Nyong.
Hasil dari Sagu Lumayan
Nyong pun mulai mengajak warga desa ikut mengolah sagu karena permintaan pasar tinggi. Bahkan, kini Nyong kelimpungan penuhi permintaan yang terus berdatangan dari luar Halmahera Barat. “Saya katakan cukup lumayan usaha sagu ini. Setelah empat tahun bisa beli mobil pick up 135 juta rupiah,” katanya.
Sagu basah sia[ kemas dalam karung. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia
Dia bilang, kalau mau bandingkan hasil sagu dengan kelapa, jauh berbeda. “Saya baru sepekan lalu mengolah satu ton kopra dapat 8 juta rupiah. Saya bandingkan dengan sagu, lebih baik mengolah sagu. Saya ajak beberapa teman mengolah sagu.” Alat pengolahannya, kata Nyong, dengan merakit dari mesin bekas traktor tangan, drum dan ban bekas mobil yang didesain sedemikian rupa hingga jadi mesin pengolahan.
Pengalaman serupa Nyong diceritakan dalam diskusi daring Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam Penguatan Perhutanan Sosial atau Strengthening of Social Forestry (SSF) Project kerjasama hibah Global Environment Facility awal Oktober lalu.
Dalam diskusi bertema Mengembalikan Kejayaan Sagu di Halmahera Barat ini, selain Nyong ada sejumlah pihak membahas persoalan ini. Dari petani pengolah sagu, penyelenggara program SSF dan akademisi Universitas Khairun Ternate.
Nyong mengatakan, dalam memanen batang sagu dengan kearifan demi menjaga kelestarian. “Sangat berhati-hati saat penebangan. Jangan sampai merusak sagu yang baru tumbuh.” Ketika batang yang diambil roboh dan merusak anakan sagu, katanya, pemulihan cukup lama. Satu batang sagu dari kecil sampai siap panen, perlu waktu sampai 10 tahun.
“Jadi panen batang sagu itu tak sembarangan. Memilih batang pohon dengan cara diketuk untuk diketahui batang sagu ini berisi atau tidak. Ada bunyi yang diketahui oleh petani sagu, jika pohon sagu ini berisi atau tidak,” katanya.
Begitu juga kalau batang sagu sudah keluar dari buah, berarti sudah tak baik untuk diolah. “Juga jika pelepah sudah merunduk, berarti sudah tidak berisi.” Dia mengajak daerah yang dulu memiliki banyak sagu tetapi mulai terkikis agar bergerak untuk menanam lagi. Upaya tanam sagu ini, katanya, juga berdampak baik bagi lingkungan. “Saya sudah mulai kampanyekan menanam sagu di bantaran sungai untuk membantu menjaga ketersediaan air maupun menahan erosi akibat banjir.” ujar Nyong.
Di Jailolo, Halmahera, lahan sagu di beberapa desa sudah berubah, antara lain jadi sawah. Cetak sawah gagal, sagu pun sudah hilang. “Misal, di Desa Taboso, Hoku-hoku Marimbati, sampai Akediri, sagu sudah ditebang dan nyaris habis. Ini perlu ditanam ulang,” kata Nyong.
Om Nyong (berhelem kuning) saat memeriksa batang sagu siap panen. Foto: M Ichi/ Mongabay Indonesia
Sofyan Dahlan, fasilitator masyarakat program SSF Halmahera Barat mengatakan bahwa satu upaya dalam perhutanan sosial melalui SSF ini adalah mendorong pemanfaatan kawasan hutan sagu bagi masyarakat sekitar. Wilayah Timur Indonesia terutama di Maluku, Maluku Utara dan Papua, katanya, selama ini dikenal jadikan sagu makanan pokok dan telah tergantikan beras. Sagu yang jadi sumber hidup masyarakat pun tergerus.
“Kini, lewat SSF kita berupaya mendorong pemanfaatan hutan atau lahan sagu agar masyarakat mengolah jadi sumber pendapatan dan pangan lokal.” ucapnya. Untuk sagu di kawasan hutan, katanya, yang jadi perhatian adalah konsep pengembangannya. Menurut Sofyan, kita perlu bersinergi dengan agroforestri pangan dalam kawasan hutan hingga bisa menunjang antara kebutuhan pangan masyarakat, ekonomi serta menjaga kelestarian hutan.
Ramli Hadun, pakar dan peneliti dari Universitas Khairun Ternate mengatakan bahwa sagu adalah tanaman multi manfaat. Selain dijadikan tepung, ekstraksi empulur sagu yang dipukul atau digiling dengan bahan tersisa berupa serat bisa digunakan sebagai campuran makanan ternak. Bagian dari batang sagu, katanya, bisa juga untuk media tumbuh jamur maupun jadi kompos. “Seluruh bagian sagu bermanfaat. Dari pucuk, makanan ternak dan sayur. Daun untuk atap, dahan dan pelepah gugur dan yang masih melekat memiliki nilai ekonomi berbeda,” kata Ramli.
Saat ini, masyarakat kembali mencari sagu sebagai sumber makanan.“Dulu, orang makan nasi hanya di hari Jumat. Di hari lain ada diversifikasi pisang dan sagu. Di Maluku Utara, pisang jadi makanan pokok,” ucap Ramli.
Sumber: https://www.mongabay.co.id/2022/10/16/cerita-pangan-sagu-dari-maluku-utara/