Komodo adalah saudara orang Baar. Karena itu, berkomitmen melestarikan hewan endemik terancam punah ini, orang Baar sepakat mengurangi periode perburuan adat. Namun, apakah upaya kolaboratif ini akan membantu meningkatkan ekonomi warga adat Baar?
Berkolaborasi demi Komodo
Achmad Arifieandy, peneliti Komodo Survival Program, berkata fokus organisasinya membantu masyarakat adat Baar dalam melestarikan komodo. Kolaborasi antara masyarakat adat, peneliti, dan pemerintah ini ‘dapat menjadi model untuk bekerja sama melestarikan satwa liar.’
“Kami juga memikirkan bagaimana mendorong masyarakat melakukan kegiatan yang dapat menghasilkan pendapatan seperti membuat cenderamata dan kain tenun.” Pendapatan pariwisata di Taman Wisata Alam Riung meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi lebih dari 158 juta rupiah pada 2023 dari 77 juta rupiah pada tahun sebelumnya.
Menawarkan kesempatan snorkeling di beberapa pulau kecil sekitarnya, Riung menjadi salah satu tujuan wisatawan asing sebelum mereka beranjak ke Taman Nasional Kelimutu, Kabupaten Ende, di sebelah timur Ngada.
Guna mengembangkan pariwisata di Torong Padang, Komodo Survival Program, yang bertindak sebagai pendamping, bersama masyarakat adat sepakat membentuk Lembaga Pariwisata Torong Padang yang beranggotakan generasi muda suku Baar. Faidal Rahmani Renggu, koordinator Lembaga Pariwisata itu berkata, “sejauh ini kami masih dalam tahap menyosialisasikan manfaat pariwisata bagi anggota komunitas Baar.”
Ihwal sosialisasi hingga lima tahun, lelaki 33 tahun yang juga kakak Amar itu menyatakan, “butuh waktu bagi sejumlah warga menerima kehadiran pariwisata di kampung kami.” Salah satu pertanyaan warga yang kerap diterima Faidal adalah: “Seberapa bermanfaatkah pariwisata di Torong Padang bagi kami?”
Perbukitan di Riung yang terhubung dengan Laut Flores. Perbukitan itu kaya mangan dan ditambang. (Anastasia Ika/Floresa)
Perubahan Iklim dan Perburuan Ilegal
Selain mengupayakan pemberdayaan warga adat, lembaga itu bersama Balai Besar Konservasi dan Sumber Daya Alam NTT berkolaborasi untuk memantau habitat komodo. Kepala Balai Besar NTT, Arief Mahmud mengatakan pemantauannya dilakukan secara berkala dan kegiatannya telah ditegaskan dalam Perjanjian Kerja Sama yang ditandatangani para pihak pada 2022.
“Pemantauan populasi Komodo melibatkan masyarakat suku Baar agar mereka dapat memahami dengan baik konservasi komodo dan bahu-membahu menjaga tanah adat sukunya yang merupakan habitat alami komodo,” katanya. Ia menambahkan masyarakat adat Baar “diberi kesadaran agar kegiatan berburu tetap memperhatikan kelestarian hewan buruan.”
“Komodo terancam punah dan dilindungi karena jumlah dan wilayah sebarannya sangat terbatas, terutama di Pulau Flores yang sebagian besar populasinya diperkirakan berada di luar kawasan konservasi,” jelas Arief. Faidal mengapresiasi bantuan itu dan berkata, “Kami tidak akan pernah mengganggu komodo karena kami memiliki ‘hubungan darah’ dengan mereka.”
Saat International Union for Conservation of Nature mengubah status konservasi komodo dari “Rentan” menjadi “Terancam Punah” pada 2021, organisasi ini menyatakan “perubahan tersebut tidak terkait populasinya yang menunjukkan tren stabil.”
Achmad Arifieandy menegaskan perubahan status komodo itu “tidak serta merta berarti populasinya menurun drastis.” Sebaliknya, “hal itu dipicu kerentanan komodo terhadap dampak perubahan iklim. Beberapa tinjauan literatur dan penelitian menunjukkan peningkatan suhu ekstrem dalam 50 tahun mendatang. Penguatan suhu diiringi kenaikan permukaan air laut dan “habitat utama komodo berada di pesisir pantai,” kata Achmad.
“Ada kemungkinan kawasan itu tidak lagi dapat dihuni oleh komodo sehingga memicu penurunan populasinya.” Ia mengatakan habitat komodo yang berada di pedalaman, yaitu di kebun-kebun warga di Pulau Flores, “juga rentan karena aktivitas manusia mengubah fungsi hutan menjadi perkebunan dan pembangunan secara besar-besaran.
Menurut Balai Besar NTT, ancaman paling mendesak terhadap kelestarian komodo dan rusa sebagai mangsanya adalah perburuan liar.
“Kami menangkap tujuh pemburu liar yang masuk ke Torong Padang pada 2019,” kata Faidal yang dua kali sebulan berpatroli memantau jejak komodo. Para pemburu itu berasal dari desa sekitar 20 kilometer dari Sambinasi. Sanksinya, mereka didenda 1 ekor kambing dan 30 kilogram beras.
Ia mengatakan denda itu berlaku bagi siapa saja yang masuk dan melakukan aktivitas di Torong Padang di luar ketentuan adat, termasuk masyarakat Baar itu sendiri. Cypri Paju Dale berkata pihak berwenang dan organisasi nirlaba yang berfokus pada konservasi telah berusaha mengendalikan masyarakat lokal. Meski begitu, tambahnya, “upaya itu tidak efektif mencegah aktor-aktor besar seperti pemburu komersial dan penyelundup komodo.”
Memerangi Perdagangan Gelap
Pada patroli tahun 2021, Lembaga Pariwisata Torong Padang menemukan perangkap Komodo yang dipasang oleh orang tak dikenal. “Dilihat dari modelnya, tidak mungkin warga sini yang memasangnya,” kata Faidal.
Perangkap komodo di Torong Padang ditemukan dua tahun setelah Polda Jawa Timur menggagalkan penyelundupan lima komodo ke luar negeri. Berdasarkan hasil tes DNA dan ciri fisiknya, komodo yang hendak diselundupkan ke Singapura itu sama persis dengan komodo Riung. Terungkap bahwa jaringan kriminal itu memperdagangkan 41 komodo ke Singapura dengan harga 500 juta rupiah per ekor.
Faidal berkata pemasangan perangkap atau jerat menangkap komodo yang ditemukan pada 2021 membuktikan masih ada upaya menjual hewan langka tersebut. “Penangkapan dan perdagangan komodo mengancam kelestariannya,” ujarnya.
Dalam kasus 2019 itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak mengumumkan terbuka nama-nama anggota jaringan penyelundupan komodo, meski berjanji akan membongkarnya. Polisi hanya menyebut inisial lima orang yang disebut-sebut menyimpan komodo di Surabaya. Masing-masing terdakwa divonis dua tahun penjara dan diharuskan membayar denda 10 juta rupiah.
Menurut Faidal, penegak hukum selain bertindak tegas terhadap para pelaku perdagangan komodo, juga harus mengumumkan nama dan jaringannya, termasuk pelaku tingkat rendah atau penangkap komodo. “Kami berharap semakin banyak pihak yang memahami betapa pentingnya menjaga kelestarian komodo serta memberikan efek jera bagi siapa pun yang berniat mengganggu kehidupannya,” ujarnya. Bagi Cypri, “ini adalah kasus ketidakadilan sosial dan lingkungan yang mengkhawatirkan. Harus ada perbaikan.”
Pada suatu sore di bawah naungan pohon kersen di pekarangan rumah keluarganya, Amar Ma’ruf Malik Dulung duduk di sebuah bangku dari batang pohon. “Beberapa teman masa kecil saya putus sekolah karena orang tua mereka kekurangan dana,” katanya.
“Saya pernah membayangkan kami akan membangun desa dengan kemampuan kami sendiri.” Amar baru saja menyelesaikan program magister manajemen pendidikan Islam di Mojokerto, Jawa Timur.
Jarak Mojokerto dan Riung kurang lebih 945 kilometer. Setidaknya dipisahkan empat pulau tujuan wisata, antara lain Bali, Lombok, Sumbawa, dan Sumba. Ia masih mencari pekerjaan sesuai gelar S2 sambil menjadi jurnalis lepas, mimpi yang membuatnya memilih S1 jurusan komunikasi. “Cukup sulit mendapatkan pekerjaan di sini. Saya mungkin akan kembali ke Jawa,” katanya.
Berkebalikan dengan siang yang terik, angin sepoi-sepoi menyapu Sambinasi seiring gema azan Magrib dari sebuah masjid di samping rumah keluarga Amar. Matahari terbenam bersemburat ungu melatari Torong Padang, tempat berbagi hidup nan sakral bagi masyarakat adat Baar dan saudara satwa mereka.
“Kami berharap keturunan kami terus memupuk pemahaman dan tindakan untuk menjaga tanah,” kata Ibrahim Malik. “Tanah, bagi warga adat Baar,” kata ayah lima anak ini, “mencakup segala sesuatu yang ada di sana, termasuk air, udara, batu, pepohonan dan hewan.”
(Selesai)
Sumber: projectmultatuli.org