Lantunan ayat suci Al-Quran berkumandang dari surau kampung, suasana mulai agak remang, hujan mulai reda menyisakan embun menutupi pegunungan mengelilingi kampung sesaat setelah 16 orang relawan pendidikan Majene Mengajar Tho Mandar Institute tiba di Rattetarring. Perkampungan yang terletak di Dusun Manyamba Timur Desa Manyamba Kecamatan Tammerodo Sendana Kabupaten Majene Provinsi Sulawesi Barat.
Majene Mengajar adalah program pengabdian dari Tho Mandar Institute (TMI), sebuah komunitas gerakan sosial yang berdiri sejak 4 April 2018. Sebagai komunitas gerakan kemanusiaan, tentunya memiliki cita-cita untuk bermanfaat di berbagai bidang kehidupan melalui pengembangan potensi diri pemuda guna menunjang kontribusi terhadap daerah.
Menjadi perkumpulan yang berorientasi pada gerakan sosial-pendidikan, maka selain membangun tradisi ilmiah melalui ruang dialogis seperti kajian atau diskusi, TMI juga memiliki program aksi nyata berbaur dan menyelami kehidupan di lingkungan masyarakat. Salah satu program yang membuat kami berbaur dan bisa belajar dari kehidupan masyarakat adalah Majene Mengajar.
Majene Mengajar mengambil lokasi pengabdian dengan menyisir wilayah pelosok Kabupaten Majene. Pertama di daerah Ulumanda dan berikutnya di Rattetarring. Kedua lokasi tersebut memiliki akses jalan yang kurang memadai sekaligus memupuk motivasi seluruh anak muda yang tergabung sebagai relawan.
Bagi saya pribadi, perjalanan ini bukan sekadar kegiatan kerelawanan biasa, di dalamnya ada rasa haru atas pemenuhan janji lima tahun lalu sebelum memutuskan untuk kuliah di Kota Makassar. Perjalanan menuju Rattetarring sangat berkesan, berangkat dari pusat Kota Majene menggunakan mobil bak terbuka ke Desa Manyamba hingga satu jam, dilanjutkan jalan kaki sekitar tiga jam untuk tiba di lokasi. Sepanjang perjalanan mata kami dimanjakan dengan hamparan keindahan alam semesta, kondisi jalanan yang rusak dan sebagian masih ada tanah, serta penduduk yang pulang dari ladang mengangkut gabah hasil panen. Semuanya berbaur mengundang rasa haru, peduli dan kagum secara bersamaan. Kemudian menyatu memberi dorongan untuk senantiasa bersyukur dan semakin semangat untuk mengabdi bagi kampung halaman.
Tiba di lokasi, dengan tangan terbuka sang pemilik rumah Kak Agus langsung menyambut kami. Ia mempersilakan kami untuk masuk ke rumah, menunjukkan kamar ganti karena pakaian yang basah kuyup oleh hujan sekaligus memastikan di dapur istrinya menyiapkan kopi untuk dinikmati guna menghangatkan badan.
Saya kemudian ke dapur, suasana agak remang, yang menjadi penerang hanya nyala api dari tungku tanah yang kebetulan menyala untuk memasak nasi. Sebenarnya sudah ada aliran listrik di sana, tapi masih terbatas. Hanya ada satu token listrik yang dikelola bersama untuk mengaliri puluhan rumah tangga dalam satu kampung. Kata Kak Agus, mereka mengeluarkan uang 15 ribu rupiah hingga 20 ribu rupiah setiap rumah untuk biaya beli pulsa listrik. Perbedaan itu ada karena dilihat dari beban listrik tiap rumah, jika ada TV maka iurannya juga lebih banyak.
Sumber penerang lain yang dimanfaatkan oleh penduduk adalah baterai untuk senter dan lampu dari aki yang diisi dengan panel surya. Selama di sana, setiap malam kami bisa merasakan langsung betapa gelapnya malam, terlebih ketika memasuki waktu magrib. Sulit membayangkan betapa sulitnya mereka terlebih saat kondisi sekarang yang tidak dapat mengisi token listrik karena sedang hujan deras, dan jalanan sedang rusak. Jadi agak beresiko ketika akan melintas, apalagi malam.
Selain sambutan yang begitu hangat oleh senyuman penduduk, kami turut serta pada sebuah ritual mambaca pateha sebelum beraktivitas lebih banyak lagi. Apalagi kami berencana akan mendirikan tenda di lapangan dekat pekuburan penduduk. Menurut kepercayaan mereka, kami harus meminta izin terlebih dahulu agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan yang penduduk kenal dengan istilah “peta’gorang”.
Konon pernah ada peristiwa karena tidak melakukan itu, orang tersebut mengalami kecelakaan, sakit, dan berbagai kejadian yang kurang baik. Semuanya mereka yakini sebagai malapetaka karena melanggar aturan adat setempat atau mengganggu penghuni yang tidak terlihat oleh kasat mata. Makanya mambaca pateha diyakini sebagai bentuk doa memohon keselamatan pada Tuhan. Ritual ini dirangkaikan dengan acara makan malam itu. Selesai makan, agenda kami lanjutkan dengan briefing untuk esok lalu beristirahat.
Esoknya, saat tersadar dari tidur saya berbaur dengan masyarakat, bercerita dan menikmati segelas kopi, buah durian serta berbagai jamuan makanan lainnya. Bagiku desa memang menjadi ruang yang selalu tepat dirindu untuk pulang saat diri sudah terlalu jenuh dengan cepatnya pembangunan kota.
Sekitar jam tujuh pagi, seluruh relawan bersiap-siap untuk ke SDN No. 49 Inpres Rattetarring. Buku donasi dan kado untuk peserta didik semuanya disiapkan. Setelah itu kami bergabung ke sekolah untuk mengikuti prosesi upacara pengibaran bendera bersama peserta didik, dan seluruh tenaga pendidik di sekolah. Usai upacara dilanjutkan penyambutan dan penyerahan donasi buku serta cenderamata dari TMI ke pihak sekolah.
Sekolah yang menjadi sasaran program Majene Mengajar ini terkareditasi C. Jumlah guru ada 8 orang, siswa 41 orang yang terdiri dari 19 siswa dan 22 siswi. Terdapat 6 rombel (rombongan belajar) pada sekolah ini dengan penyebaran masing-masing rombel 1 sebanyak 5 siswa, rombel 2 sebanyak 9 siswa, rombel 3 sebanyak 6 siswa, rombel 4 sebanyak 7 siswa, rombel 5 sebanyak 4 siswa, dan rombel 6 sebanyak 10 siswa. Dari 6 ruangan hanya 3 yang sering difungsikan.
Luas tanah sekitar 1.800 meter persegi berada di tengah-tengah perkampungan, memiliki lapangan sekolah yang hijau nan asri, dengan pagar bambu dan dinding sekolah terdiri dari tembok dan kayu bercat hijau putih biru. Dengan dana BOS perlahan sekolah ini mulai memiliki toilet, keran air cuci tangan dan perpustakaan meskipun masih bergabung dengan ruang guru/kantor.
Pukul 08.30 Wita proses pengenalan dimulai, mengajarkan tentang literasi, budaya, pahlawan, profesi, dan monitoring kepada peserta didik dalam kelas pun bisa dimulai. Kegiatan di sekolah di tutup dengan games antar kelas, penyerahan hadiah, penulisan cita-cita pada sticky note yang ditempel ke pohon impian, dan foto bersama relawan, peserta didik, serta pihak sekolah.
Siangnya, usai makan siang dilanjutkan dengan agenda mendirikan tenda, bermain tradisional dengan anak-anak, serta melakukan lapak baca yang kami sebut dengan istilah Sikola Pa’banua di lapangan. Saya sendiri bersama beberapa relawan melaksanakan pemetaan lokasi untuk mengidentifikasi potensi kampung yang bisa dikembangkan untuk kegiatan pengembangan selanjutnya.
Hari ketiga, usai sarapan kami bersantai sejenak di tempat wisata permandian air panas. Setelah itu kami lalu pamit ke penduduk untuk pulang. Menjadi relawan mengantar diri menjemput senyum, melepas lelah, membangun persaudaraan dekat tanpa sekat, mengenali diri, dan tentunya menguatkan rasa untuk terus belajar. Majene Mengajar berbaur, berbagi dan menyelami kehidupan masyarakat, kemudian mengambil pelajaran dari mereka.