Pulau Alor tak hanya menyuguhkan panorama alam yang eksotis, namun juga menyimpan kekayaan budaya yang berlimpah. Salah satunya kain tenun. Keunikan kain tenun Pulau Alor terletak pada proses pembuatannya yang menggunakan bahan-bahan alami. Salah satu pusat pengrajin di Kabupaten Alor berada di Pulau Ternate, Desa Umapura. Sebagian besar mama-mama dan anak perempuan di pulau ini memang bekerja sebagai penenun, sebagai identitas yang dipegang teguh secara turun temurun oleh warga Pulau Ternate. Ciri khas kain tenun di tempat ini didominasi warna cerah dan motif laut yang berasal dari pewarna alam, yang diolah langsung dari alam yaitu daun, batang tanaman, akar tanaman, serta dari biota laut. Setidaknya terdapat 94 pewarna alam, terdiri dari 6 pewarna alam dari laut, 83 pewarna alam dari darat dan 34 motif (laut, darat dan motif yang diturunkan dari leluhur).
Bahkan, menjual kain tenun merupakan mata pencaharian utama masyarakat Pulau Ternate. Namun, sebagian besar masyarakat ada pula yang bermatapencaharian sebagai nelayan. Mengingat kekayaan laut yang masih terjaga dan hasil yang melimpah.
Adalah Mama Sahari Karim, sehari-hari menekuni pekerjaan sebagai penenun yang diperoleh secara turun temurun dari leluhurnya, juga Ketua Kelompok Tenun Pantai Laut di Desa Umapura. Dalam sebuah kesempatan, Mama Sahari berbagi cerita bagaimana menenun bagi sebuah aktivitas spiritualitas bagi perempuan Desa Umapura, sebagai upaya memelihara warisan leluhur melalui tenun ikat.
Mama Sahari mengungkapkan jika dulu terdapat perempuan Desa Umapura sebagai 6 pewarna alam dari laut. Namun sekarang tersisa hanya 3 yaitu yaitu sponge kuning, siput laut, rumput laut kuning. Sedangkan bulu babi, sponge laut dan rumput laut dilarang oleh Kementerian Kelautan karena dapat merusak sarang ikan dan ekosistem laut.
Sedangkan untuk motifnya dari 34 motif yang dimiliki, hanya 7 motif yang diturunkan dari leluhur mereka, motif lainnya merupakan kombinasi motif laut dan darat yang dikembangkan oleh generasi saat ini. Uniknya lagi, setiap suku memiliki motifnya masing-masing yaitu suku Uma Kaka memiliki motif Baulolong (beringin), suku Uma Tukang memiliki motif palinta (pohon kapok), Suku Uma Haring memiliki motif Baulolong Sambung, Suku Dengwai memiliki motif Palinta Baulolong, Suku Bilbalu Bawah memiliki motif sinar matahari, suku Bilbalu Atas memiliki motif Baulolong, Suku Kalaelang memiliki motif Utang Pei, Suku Biatabang motifnya Baulolong Palinta. Dari motif-motif ini juga kita dapat mengetahui sejarah dari setiap suku di Pulau Ternate.
Mama Sahari bercerita awal mula menemukan pewarna alam dari biota laut. Keresahan akan meningkatnya kebutuhan untuk membiayai kebutuhan keluarga termasuk menyekolahkan anak sedangkan penghasilan dari alat tenun ikat warisan leluhur tak mampu menutupi. Jika dulu, apabila matahari sudah tenggelam, mereka tak bisa lagi mengikat tenun. Jika ini dilakukan maka, maka dapat mencederai tangan mereka.
Mama Sahari kemudian memanjatkan doa meminta agar dapat menyekolahkan anak-anak mereka. Lalu datanglah dalam mimpinya 1 bapak dan 2 mama, mereka kemudian menunjukkan pewarna dari laut. Keesokan harinya Mama Sahari pun ke laut dan mengambil sponge lalu dia tekan dan keluarlah tintanya. Sembari mencari sponge laut, Mama Sahari berdendang syair lagu yang berbunyi,
“Kapas-kapas menjadi benang, benang inilah menjadi kain, angan-angan jaring pasaran. Pasaran ke depan menjadi baik”.
“Nasiblah apa jadi begini, peninggalan leluhur hanya alat penenun, itulah dia kehidupan kami”
Mengingat pembuatannya menggunakan perwarna alami, warna-warna yang dihasilkan pun sangat menarik. Seperti warna ungu dan hijau dari tinta siput laut, warna kuning dari sponge, sementara untuk warna hitam diambil dari teripang ataupun cumi. Namun prosesnya cenderung memakan waktu yang lebih lama. Dalam sebulan mama Sahari bisa menghasilkan 4-5 tenun.
Menurut Aryz Lawring Bara, mitra Kelompok Pantai Laut “Kalau mau tahu ciri khas penenun pewarna alam, lihatlah kain dan tangan mereka. Selain penuh dengan warna dari pewarna alam, namun juga luka karena proses pengambilan kulit pohon, daun tanaman dan batang pohon."
Jadi alam bagi perempuan Desa Umapura merupakah anugerah yang harus senantiasa dijaga kelestariannya demi kelangsungan hidup mereka dan anak cucunya kelak. “Laut adalah sumber kehidupan kita, kita makan dan minum dari laut karena laut yang memelihara kita – Tahi Geriyang Kame (Dalam Bahasa Pulau Ternate)” kata Mama Sahari. Dalam penelitian di tahun 1969, tentang Pulau Ternate memang tidak boleh dilakukan perladangan dan berkebun karena akan menimbulkan bencana. Sehingga mereka hanya sekadar tinggal saja di pulau dan menenun, jika ingin merawat ladang, mereka harus ke pulau lain.
Dari cerita Mama Sahari diketahui pula tantangan-tantangan yang ditemui saat memasarkan tenun ikat mereka, masih banyak orang yang membeli tenun mereka dengan harga yang sangat rendah dan menjualnya kembali dengan harga tinggi serta tanpa menyebutkan nama penenunnya. Tak sedikit mereka mengklaim bahwa mereka sendiri yang menenun kain itu.
Tenun sudah menjadi darah daging perempuan-perempuan Ternate, kini laki-laki pun ikut bergelut dalam aktivitas ini, sepulang dari melaut mereka turun langsung terlibat mengguling benang, tenun lalu ikat hingga ke pemasaran. Tak ada kata gengsi/malu dan menyerah, berkeringat dan letih dalam menawarkan karya tenunannya kepada masyarakat umum. Menenun bagi masyarakat Pulau Ternate telah melekat dan menjadi budaya. Semoga tetap lestari.
Merawat Keberagaman Warisan Leluhur
Salah satu peninggalan yang dapat menjadi wisata budaya adalah Sumur tua yang terletak di Umapura, Desa Ternate, Kecamatan Alor Barat Laut, Alor. Sumur ini diyakini warga setempat sebagai peninggalan Sultan Ba’bulah dari Kesultanan Ternate, Maluku Utara. Diperkirakan, Sumur itu dibuat pada tahun 1518, saat para Sangaji atau prajurit Kesultanan Ternate mengunjungi Pulau Ternate.
Sumur tua inilah yang menghidupi 4 kampung di pulau ini yaitu Kampung Umapura, Kampung Bogakele, Kampung Biatabang, dan Kampung Abangbul. Tiga Kampung yaitu Biatabang, Bogakele dan Abangbul, masyarakat di tiga kampung tersebut beragama Kristen Protestan. Sementara, masyarakat di Umapura adalah pemeluk Agama Islam. Namun perbedaan agama tidak menjadi penghalang persaudaraan mereka, hubungan darah kekeluargaan sangat erat sehingga tetap terjalin dengan baik hingga hari ini. Pembuktiannya adalah ada marga/fam yang sama antara yang ada di kampung Kristen dan Islam dan terlihat jelas pada kekerabatan khususnya perayaan hari besar keagamaan baik Islam maupun Kristen serta dalam pembangunan rumah ibadah gereja maupun masjid, tentu ini karena hubungan darah yang mengalir dalam diri orang-orang ternate.
Semua tempat pasti memiliki cara masing-masing dalam menjaga toleransi. Begitupun dengan masyarakat di kampung ini. Tak hanya menjadi tempat interaksi antar masyarakat beda Agama, sumur tua itu pun sesungguhnya telah menjadi wadah toleransi antar masyarakat pemeluk agama. Sungguh, Sumur tua itu telah menjadi tempat masyarakat membumikan nilai-nilai kerukunan dan hidup saling berdampingan sebagai sesama anak bangsa dalam bingkai toleransi.