Perkawinan anak telah menjadi salah satu masalah serius dan mendesak untuk segera diatasi termasuk di Indonesia. Perkawinan anak memiliki dampak jangka panjang yang merugikan bagi anak-anak, terutama bagi anak perempuan. Mereka yang menikah pada usia dini seringkali terpaksa meninggalkan pendidikan formal, yang mengakibatkan terbatasnya peluang untuk memperoleh pekerjaan yang layak dan mandiri secara finansial di masa depan.
Permasalahan ini tidak hanya mempengaruhi masa depan mereka, tetapi juga memperburuk siklus kemiskinan di masyarakat. Dari sudut pandang kesehatan, perkawinan anak juga membawa risiko besar.
Anak perempuan yang menikah dan hamil pada usia muda menghadapi risiko kesehatan yang signifikan, seperti komplikasi selama kehamilan dan persalinan, yang bisa berujung pada kematian ibu dan bayi. Selain itu, anak-anak yang menikah dini cenderung mengalami kekerasan dalam rumah tangga lebih sering dibandingkan dengan mereka yang menikah pada usia yang lebih matang. Kondisi ini memperparah trauma psikologis yang mereka alami, dan sering kali berdampak buruk pada kesejahteraan mental mereka.
Perkawinan anak merampas masa kanak-kanak, hak untuk belajar, dan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang aman dan mendukung. Hal tersebut tentunya dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang serius. Maka dari itu, upaya pencegahan perkawinan anak sangat penting, termasuk melalui pendidikan, kesadaran masyarakat, dan pelibatan tokoh agama serta pemimpin komunitas dalam menyuarakan dan menegakkan hak-hak anak.
Data Perkawinan Anak di Indonesia
Perkawinan anak di Indonesia merupakan masalah serius yang terus mendapat perhatian dari berbagai pihak. Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan laporan dari lembaga internasional seperti UNICEF menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki angka perkawinan anak yang cukup tinggi, meskipun telah ada upaya untuk menurunkannya.
Data BPS pada tahun 2023 menunjukkan sekitar 10,35 persen dari perempuan di Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun. Meskipun ada penurunan dari tahun-tahun sebelumnya, angka ini masih mengkhawatirkan.
Desa Awo, Kabupaten Bone merupakan salah satu desa dimana banyak ditemukan kasus perkawinan anak yang tidak terlaporkan sehingga tidak terdata oleh pihak pemerintah desa. Temuan tersebut diperoleh dari hasil wawancara dan survei awal yang telah dilakukan di desa tersebut. Banyak keluarga yang tidak melaporkan perkawinan anak karena takut akan stigma sosial atau tekanan dari lingkungan sekitar. Di beberapa komunitas, norma budaya dan tradisi kuat yang mendukung perkawinan anak membuat keluarga merasa tidak perlu, atau bahkan takut, untuk melibatkan pihak berwenang.
Co-design dalam program pencegahan perkawinan anak
Model co-design dalam program pencegahan perkawinan anak ini melibatkan partisipasi aktif dari semua pemangku kepentingan, termasuk anak-anak, komunitas, tokoh agama, tokoh adat, pemerintah, dan organisasi terkait. Pendekatan co-design memastikan bahwa program yang dihasilkan benar-benar relevan dan dapat diterima oleh komunitas. Terdapat empat tahap yang dilakukan dalam proses co-design yakni discover, define, develop, dan deliver.
Tahap Discover
Tahap Discover bertujuan untuk memahami secara mendalam konteks, kebutuhan, dan masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Tahap discover dilakukan melalui survei, diskusi kelompok terfokus, dan wawancara informal kepada orang tua, anak, tokoh masyarakat, dan perwakilan dari pemerintah desa. Pada tahap ini ditemukan berbagai faktor yang saling berhubungan yang menyebabkan terjadinya perkawinan anak seperti kurangnya pemahaman anak dan orang tua mengenai dampak dari perkawinan anak serta kebijakan-kebijakan pemerintah yang mengatur tentang perlindungan anak, faktor ekonomi, budaya, kurangnya akses pendidikan, kehamilan yang tidak diinginkan, paksaan dari keluarga, dan perilaku bullying. Pada tahap ini juga ditemukan berbagai fenomena di Masyarakat yang cenderung menormalisasi praktik perkawinan anak.
Gambar 1. Model Sistem Berpikir untuk Memahami Potensi Penyebab Perkawinan Anak
Tahap Define
Tahap Define bertujuan untuk merumuskan secara jelas masalah utama serta menetapkan fokus program berdasarkan temuan yang diperoleh serta menentukan indikator keberhasilan yang akan digunakan untuk mengevaluasi program yang diimplementasikan. Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, maka masalah utama yang ditekankan dalam program ini yakni kurangnya pemahaman anak dan orang tua mengenai dampak negatif dari perkawinan anak serta kurangnya kesadaran hukum mereka yang dikarenakan kurangnya pemahaman mengenai kebijakan-kebijakan pemerintah mengenai perlindungan anak.
Tahap Develop
Tahap Develop bertujuan untuk mengembangkan prototipe solusi yang akan diimplementasikan sesuai dengan tujuan utama program yang telah dirumuskan sebelumnya. Tahap ini juga bertujuan untuk menguji prototipe solusi secara iteratif dengan berbagai pihak. Prototipe awal yang dikembangkan adalah berupa program pencegahan perkawinan anak berbasis sekolah dimana targetnya adalah siswa, dan program berbasis masyarakat dimana targetnya adalah orang tua.
Program berbasis sekolah bertujuan untuk meningkatkan pemahaman siswa di sekolah mengenai dampak dari perkawinan anak serta kebijakan-kebijakan yang terkait pencegahan perkawinan anak. Program ini didesain dengan bekerjasama dengan berbagai pihak seperti guru dan forum anak.
Program berbasis sekolah juga berbasis masyarakat juga bertujuan untuk meningkatkan pemahaman orang tua mengenai dampak dari perkawinan anak serta kebijakan-kebijakan yang terkait pencegahan perkawinan anak. Program ini didesain dengan bekerjasama dengan organisasi Masyarakat di tingkat desa seperti pusat kesejahteraan sosial, Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan, Lembaga Kesejahteraan Sosial, dan beberapa organisasi Masyarakat lainnya.
Tahap Deliver
Tahap Deliver memastikan bahwa solusi yang dihasilkan dari proses co-design dapat bersifat berkelanjutan dan berpotensi direplikasi di daerah lainnya.
Perubahan Fokus Pada saat Implementasi Program: Proses Iteratif dalam co-design
Proses co-design melibatkan partisipasi aktif dari berbagai aktor di masyarakat dan membuka ruang untuk penyesuaian program berdasarkan kondisi nyata yang ditemukan. Perubahan ini merupakan bagian dari proses iteratif dalam co-design. Fleksibilitas dan kemampuan untuk beradaptasi dengan situasi di lapangan adalah kunci untuk memastikan bahwa program pencegahan perkawinan anak tetap relevan, efektif, dan berkelanjutan. Saat berinteraksi dengan masyarakat ditemukan informasi baru yang sebelumnya tidak terlalu dipertimbangkan. Terdapat faktor penyebab perkawinan anak yang lebih signifikan dari yang diperkirakan sebelumnya.
Isu utama yang ditemukan adalah terkait adanya beberapa pemahaman yang berkaitan nilai agama dan budaya yang beredar dan diyakini oleh masyarakat yang cenderung mendukung perkawinan anak. Hal tersebut didasarkan pada interpretasi tertentu dari ajaran agama atau tradisi budaya. Paham-paham ini menganggap perkawinan anak sebagai cara untuk menjaga moralitas dan melindungi kehormatan keluarga. Selain itu, Masyarakat cenderung menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai contoh yang pada zamannya juga melakukan perkawinan di bawah umur.
Fenomena ini saya pelajari ketika mengikuti Sustainable Development Course (SDC) part II di New Zealand. Fenomena tersebut dapat dikategorikan sebagai Religious abuse. Religious abuse dalam konteks perkawinan anak merujuk pada penyalahgunaan ajaran agama untuk membenarkan atau mendukung praktik perkawinan anak, yang sebenarnya merugikan hak dan kesejahteraan anak-anak.
Isu terkait religious abuse dalam konteks perkawinan anak dianggap lebih mendesak untuk diselesaikan karena dampak yang ditimbulkan akan lebih besar ketika diabaikan. Berdasarkan hasil diskusi dengan target penerima manfaat dan perwakilan tokoh agama dan pemerintah desa, maka dilakukan perubahan fokus program, desain program, dan target penerima manfaat utama program.
(bersambung)