Sinergi Komunto & Masyarakat Adat untuk Pelestarian Laut Tomia
Penulis : Sumarni Arianto
  • Foto: Yusuf Ahmad/Yayasan BaKTI
    Foto: Yusuf Ahmad/Yayasan BaKTI

Komunto atau Komunitas Nelayan Tomia adalah sebuah organisasi berbasis komunitas yang ada di Pulau Tomia, salah satu pulau di gugusan kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Komunitas ini terdiri dari  perwakilan kelompok nelayan dari Tomia. Organisasi ini didirikan sebagai tanggapan atas keprihatinan bersama masyarakat tentang penangkapan ikan komersial asing, penggunaan metode penangkapan ikan yang merusak dan aktivitas penangkapan ikan lainnya yang mengancam biota dan lingkungan laut.

Di awal berdirinya, Komunto didasari atas perasaan senasib dan sependeritaan akan kondisi laut yang semakin rusak dan pendapatan nelayan yang semakin menurun. Olehnya Abas dan beberapa nelayan lainnya membentuk kelompok-kelompok nelayan kecil di setiap desa.

Praktik yang dilakukan Komunto adalah mendorong pengelolaan sumber daya alam lokal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan salah satu kegiatannya adalah membentuk Bank Ikan.  Bank Ikan yang merupakan kawasan khusus di mana ikan dibiarkan memijah, berkembang biak untuk kemudian diambil di waktu tertentu. Melalui kegiatan ini Komunto mempromosikan partisipasi lokal melalui zonasi dan perencanaan tata ruang Taman Nasional Wakatobi, dan menetapkan tiga kawasan lindung di sekitar pulau Tomia untuk memungkinkan regenerasi stok ikan.

Foto: Dok. Komunto

Salah satu agenda besar Komunto dalam pelestarian biota laut dan lingkungan Tomia adalah memberikan pendampingan dan penguatan kepada tetua adat secara kelembagaan. Hal ini dilakukan mengingat bahwa tetua adat punya pengaruh dan peran yang signifikan dalam kehidupan masyarakat Tomia.

Masyarakat adat merupakan kesatuan masyarakat yang tetap dan teratur di mana para anggotanya bukan saja terikat pada tempat kediaman suatu daerah tertentu, baik dalam kaitan duniawi sebagai tempat kehidupan maupun dalam kaitan rohani. Setiap masyarakat adat mempunyai hukum adat yang digunakan untuk mengatur semua persoalan yang terjadi dalam lingkungan adat tersebut.

Sejak dahulu masyarakat Tomia memegang teguh prinsip penangkapan berbasis kearifan lokal. Prinsip ini mengandung nilai-nilai tradisional dan arif. Saat ini Komunto sedang menuntaskan kegiatan pendampingan masyarakat hukum adat terkait tata kelola penangkapan ikan endemik pulau Tomia dan pendampingan desa wisata.

Salah satu sistem perikanan turun temurun yang pernah dijalankan masyarakat di pulau Tomia adalah tradisi dan cara penangkapan ikan Ole yang endemik dan bermusim. Proses penangkapan ikan Ole disebut juga Heole-Olea. Cara penangkapan ikan Ole dilakukan dengan alat tradisional dan dipimpin oleh seorang Parika. Parika adalah kelembagaan yang sudah ada dalam kelompok nelayan Tomia. Seorang Parika adalah seseorang yang memiliki kemampuan mistik yang lebih tinggi dibandingkan yang lain. Parika juga dianggap sebagai penjaga, pengawal dan penasihat dalam menentukan daerah penangkapan dan waktu penangkapan ikan. Sistem Parika berlangsung secara turun temurun dan sampai sekarang masih terus dilaksanakan. Namun seiring berjalannya waktu, pola penangkapan seperti ini kemudian mulai mengalami pergeseran termasuk ketokohan Parika dan sara adat (pemangku adat).

Untuk menghidupkan kembali sistem perikanan berbasis kearifan lokal, maka sara adat sebagai unsur pelaksana sistem harus dikuatkan kembali. Hal inilah kemudian yang menjadi salah satu agenda Komunto yang mulai dijalankan sejak bulan Agustus lalu. Komunto intens berkomunikasi dan berdiskusi dalam membangun pemahaman kearifan lokal bersama para tetua adat. Dalam melaksanakan kegiatan ini Komunto bermitra dengan Yayasan Konservasi Alam Nusantara atau disingkat YKAN.

Salah satu kegiatan yang dilaksanakan adalah pendampingan penguatan kapasitas masyarakat hukum adat (MHA) terkait tugas pokok dan fungsinya terutama dalam pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan. Pendampingan dan penguatan yang dilakukan utamanya terkait dengan konservasi dan pelestarian sumber daya alam Tomia.

Komunto menyadari peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumber daya pesisir penting untuk melibatkan seluruh unsur masyarakat termasuk lembaga adat sebagai salah satu institusi yang memiliki pengaruh yang kuat di masyarakat.

Sejak bulan Agustus 2020, mulai dilakukan pertemuan rutin antara pemangku kepentingan dengan sara adat untuk membahas pengelolaan ikan Ole secara berkelanjutan berbasis adat. Selain untuk menguatkan tugas dan fungsi sara adat, rangkaian pertemuan tersebut juga bertujuan untuk menyusun peta pengelolaan wilayah adat dan pembuatan kesepakatan peraturan adat tentang tata cara penangkapan ikan Ole. Saat ini telah tersusun peraturan adat tentang tata cara penangkapan ikan Ole serta peta wilayah penangkapannya.

Hal ini mendapatkan dukungan dari banyak pihak, baik dari pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, akademisi hingga masyarakat di Pulau Tomia. Momentumnya adalah dengan  disepakatinya peta wilayah adat Kawati Tomia dan lahirnya Peraturan Bupati Wakatobi tentang MHA No. 45 Tahun 2018 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Laut Berbasis Masyarakat Hukum Adat Kawati dalam Wilayah Pulau Tomia di Kabupaten Wakatobi.

Foto: Dok. Komunto

Berdasarkan kesepakatan tersebut, pada selasa, 17 November 2020,  Masyarakat Hukum Adat di lingkup wilayah adat Kawati, melaksanakan deklarasi penangkapan dan pengelolaan ikan Ole dalam wilayah kelola adat Kawati Pulau Tomia.

Deklarasi ditandatangi bersama oleh tetua hukum adat, pemerintah kabupaten Wakatobi, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi, UPTD Perikanan Pulau Tomia, Kepolisian, TNI, Balai Taman Nasional, Pemerintah Kecamatan Kaledupa, Pemerintah Desa dan perwakilan nelayan.  Adapun isi dari deklarasi yakni:

  1. Ikan Ole adalah ikan endemik Pulau Tomia yang harus dilestarikan keberlanjutannya.
  2. Wilayah penangkapan ikan Ole adalah wilayah kelola masyarakat hukum adat pulau Tomia.
  3. Penangkapan ikan Ole dilakukan setelah ikan Ole bertelur atau memijah pada pukul 04:00 WITA, waktu dimana sudah mulai memijah dan dapat dijaring.
  4. Sifu dan alat tangkap lain yang tidak ramah lingkungan dilarang penggunaannya dalam penangkapan ikan Ole/Opuru di wilayah kelola masyarakat hukum adat pulau Tomia dan mata jaring yang diperbolehkan yaitu 3/4 inci atau 1/2 inci.
  5. Masyarakat hukum adat nelayan dan pihak terkait lain wajib melakukan pengawasan pada lokasi pemijahan ikan Ole dari segala aktivitas yang merusak.
  6. Setiap orang yang melanggar kesepakatan adat ini akan dikenakan sanksi sesuai peraturan Bupati Wakatobi nomor 45 tahun 2018 pasal 12 tentang perlindungan dan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut berbasis MHA Kawati dalam wilayah pulau Tomia di Kabupaten Wakatobi.

Para tokoh adat sepakat menghidupkan kembali sistem perikanan berbasis kearifan lokal pada ikan yang dikhawatirkan akan punah tersebut. Hal ini sebagai upaya menguatkan tugas dan fungsi sara adat (pemangku adat) sebagai unsur pelaksana pranata adat dalam pengelolaan sumber daya alam.

“Pendampingan dan penguatan terhadap tetua adat merupakan hal yang sudah lama diinginkan oleh tetua adat karena ada kekhwatiran jika perlakuan tidak ramah lingkungan dalam penangkapan ikan dan tata kelolanya tidak diatur maka akan berdampak buruk bagi masa depan perikanan di daerah ini”, ungkap Abas, ketua Komunto.

Kegiatan ini didukung oleh Balai Taman Nasional Wakatobi (BTNW), Pemerintah Kabupaten Wakatobi, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi, Komunitas Nelayan Tomia Pada dasarnya kearifan lokal bisa mengakomodir dan bisa sejalan dengan tujuan dari kawasan konservasi itu sendiri dengan tujuan melindungi suatu kawasan dan biota dari kawasan itu sendiri. Merangkul dan menguatkan masyarakat hukum adat dalam kegiatan konservasi adalah sebuah strategi bijak dalam mencapai tujuan besar kelestarian biota laut Tomia, Wakatobi.

 

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.