Rasionalisasi Perencanaan: Perspektif Daerah
Penulis : A.M. Sallatu

Setiap membawakan materi pelatihan tentang sistem perencanaan pembangunan, saya memilih kalimat pembuka dengan mengajukan pertanyaan "Masih adakah yang disebut dengan ilmu atau teori perencanaan pembangunan?". Saya membiarkan keadaan kelas hening sejenak, tetapi tidak menunggu ada jawaban ataupun tanggapan dari para peserta di kelas, lalu menjawabnya sendiri. "Tidak ada lagi, mengapa?". Oleh karena sudah sejak lama konsep-konsep pemikiran dan peralatan teori perencanaan pembangunan sudah ditransformasikan ke dalam baik undang-undang maupun peraturan penjabarannya. Sejak zaman orde baru, ada yang dikenal dengan P5D, yang dikembangkan terus sampai saat ini mulai dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional sampai kepada penjabaran teknisnya dalam bentuk peraturan dan surat edaran menteri.

Diklat perencanaan pembangunan lebih diarahkan untuk meningkatkan keterampilan tehnis para perencana, termasuk dalam memahami ketentuan peraturan dan edaran yang berlaku, yang juga secara dinamis berubah dan berkembang. Gayung bersambut, para peserta Diklat pun lebih tertarik dan menaruh perhatian pada pemahaman teknis perencanaan pembangunan. Oleh karena itu yang menjadi tugas pokok dan fungsi kesehariannya, baik sebelum maupun sesudah mengikuti diklat. Demikian pulalah pemaknaan tenaga fungsional perencana yang difasilitasi dengan tunjangan, menjadi tidak jelas apa maknanya. Menjadi pertanyaan, apakah dengan demikian pelembagaan diklat perencanaan pembangunan dibutuhkan, karena nampaknya memang hanya diadakan terutama untuk perencana daerah ?

Sebenarnya untuk dapat meningkatkan pemahaman dan keterampilan teknikal, setiap instansi perencana bisa melakukan sendiri secara mandiri dengan bantuan mentor. Bisa melibatkan lebih banyak tenaga perencana, lebih efektif memanfaatkan jam kerja dan lebih efisien dalam memanfaatkan sumberdaya pendanaan. Kekurangannya adalah tidak bersertifikat, yang dikeluarkan oleh lembaga diklat yang dibutuhkan untuk peningkatan jenjang sebagai tenaga fungsional.

Saat memberikan materi pun saya ungkapkan bahwa saya tidak percaya seratus persen pada diklat perencanaan karena sebenarnya peningkatan pemahaman dan keterampilan yang lebih efektif adalah dengan melaksanakan tugas pokok dan fungsi sehar-hari. Apalagi tidak mustahil dalam setiap instansi perencanaan ada yang mampu berperan sebagai coach, terutama staf perencana yang telah memiliki kepangkatan dan pengalaman yang lebih senior atau lebih tinggi. Hal ini yang masih kurang diperhatikan oleh lembaga pembina tenaga perencana, semisal BAPPENAS. Diklat yang dikembangkan kurang lebih hanya merupakan kegiatan proyek. 

Belum lagi untuk mempertimbangkan setidaknya dua hal. Pertama, apresiasi terhadap hasil kerja tenaga perencana di suatu instansi ataupun daerah masih cukup rendah. Tenaga perencana sangat terbatas ruangnya untuk melakukan exercise perencanaan, bahkan lebih cenderung sekedar merumuskan perencanaan sesuai arahan pimpinan instansi atau pimpinan daerah dan sesuai dengan arahan ketentuan dan aturan yang berlaku.

Kedua, exersice perencanaan semakin kerdil lagi, karena harus berhadapan dengan lembaga DPRD yang memiliki kepentingan subyektif dalam hal substansi perencanaan dan pada saat mengonsultasikan dokumen perencanaan ke pemerintah. Dalam banyak realitas, DPRD sudah merupakan instansi perencanaan yang atas nama fungsi yang diembannya bahkan cenderung bisa memveto substansi perencanaan atas nama aspirasi Dapil termasuk dukungan pendanaannya. Di tingkat pemerintah pun demikian, bila dalam perencanaan ada semacam kreasi daerah yang tidak sejalan dengan ketentuan dan peraturan yang telah diaturnya hanya saja lebih terfokus pada substansi kepentingan pembangunan nasional.

Hal lainnya lagi, instansi perencanaan, baik pusat maupun daerah, tidak memiliki domain kebijakan dalam hal penganggaran. Dalam hal penganggaran, domain berada pada instansi yang lain dan juga DPRD. Eksistensi instansi perencanaan menjadi banci, dan lebih cenderung tampil sebagai instansi tukang penyusun rencana belaka.

Berita tentang seorang Kepala Bappeda diusir dari ruang sidang DPRD belum lama ini merupakan hal yang lumrah saja. Bappeda menjadi semacam instansi pelengkap penderita saja. Berita mutahir lain, APBD yang baru berusia beberapa bulan akan direfocusing karena utang yang cukup besar jumlahnya, sungguh-sungguh lucu perencanaan. Menjadi tanda tanya, lalu apa yang dilakukan dalam proses perencanaan sebelumnya. APBD telah diperlakukan semena-mena, seenaknya. Validitas dan akuntabilitas proses penyusunannya sangat tidak bertanggung jawab. Masyarakat luas mungkin dianggap sudah teralu bodoh.

Semua realitas diatas menjadi sungguh merupakan ironi. Tetapi mengapa semua itu menjadi kenyataan? Nampaknya manajemen publik yang berkembang sampai saat ini masih menggunakan prinsip manajemen abad XX, yaitu intolerence of risk, tidak ada toleransi bagi kesalahan. Dalam kaitan ini, perencanaan dan rencana pembangunan menjadi semacam keranjang sampah intoleransi tersebut. Semua harus termuat dalam dokumen perencanaan dan rencana pembangunan.

Akibatnya dokumen perencanaan menjadi sangat tambun, berkolesterol. Realitasnya memang menjadi sumber penyakit, karena korupsi tetap saja terjadi setiap tahun anggaran. Kita bisa membayangkan sistem perencanaan komando yang ada di Negara sosialis-komunis, semua substansi rencana harus tertera dalam dokumen sebagai sebuah cetak biru pembangunan.

Kita patut mempertanyakan apa sebenarnya makna perencanaan pembangunan, demikian pula keberadaan kelembagaan BAPPEDA? Seputar akhir era orde baru, perencanaan sudah dikatakan bukan lagi cetak biru pembangunan. Masuk ke era reformasi, dikenal hadirnya visi yang akan menuntun pembangunan, namun sampai detik ini masih lebih merupakan jargon pembangunan belaka, apalagi karena tidak terukur. Inlah yang melemahkan keberadaan perencanaan pembangunan, karena kehilangan fokus. Bisa dicermati dalam dokumen perencanaan pembagunan, betapa sangat banyak yang ingin dicapai tetapi betapa sangat sedikit yang mampu direalisasikan. Lucunya, kinerja pembangunan yang lebih banyak dikontribusikan oleh sektor swasta, justru diklaim seolah-olah merupakan hasil dari pada perencanaan pembangunan, misalnya pertumbuhan ekonomi. Padahal belum tentu tenaga perencana BAPPEDA sendiri paham bagaimana proses dan penciptaan pertumbuhan ekonomi itu.

Lebih menarik lagi karena uji sahih perencanaan pembangunan yang dihasilkan oleh BAPPEDA bukan dilakukan oleh BAPPENAS melainkan Kemendagri. Namun sangat amat menentukan dalam menguji dokumen perencanaan yang bahkan sudah melalui dan lolos dari pembahasan DPRD. Keanehan yang juga melekat disitu, karena lebih sering daerah dianggap tidak paham bagaimana mengalokasikan anggaran yang sepatutnya. Sulit disangkal bahwa telah terjadi pembiasan yang terstruktur dalam proses perencanaan pembangunan. Dalam kaitan ini, BAPPEDA tidak bisa banyak berkutik.

Suka atau tidak, mulai dari proses sampai terbentuknya dokumen perencanaan pembangunan, dari uraian diatas, sejumlah hal yang tidak rasional telah tejadi dan menjadi realitas. Realitas ini patut dicermati kembali. Dokumen perencanaan adalah penunjuk arah perkembangan ke depan, bukan troiler substansi kegiatan yang ingin dilaksaanakan, buka cetak biru yang bersifat komando. Nampaknya pemahaman dan pengasaan seorang Kepala Daerah menjadi hal yang sangat esensial untuk melakukan rasionalisasi perencanaan.

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.