Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 (Perubahan Undang-Undang UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan) mengubah batas minimal menikah baik laki-laki dan perempuan yang akan menikah minimal di usia 19 tahun. Sebelumnya, batas usia menikah bagi laki-laki ialah 19 tahun dan perempuan 16 tahun. Karena batas usia perkawinan perempuan yang rendah, banyak sekali terjadi perkawinan yang dikategorikan sebagai perkawinan anak.

Dengan menaikkan batas usia perkawinan perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun, bukan berarti perkawinan anak tidak akan terjadi lagi, karena pemohon dispensasi terendah yang pernah tercatat adalah 11 tahun. Artinya, dengan naiknya usia perkawinan menjadi 19 tahun, kemungkinan permohonan dispensasi perkawinan menjadi bertambah. 

Perkawinan anak di Indonesia sangat tinggi, tertinggi kedua di Asia dan tertinggi ketujuh di dunia. Pada 2018 diperkirakan lebih dari 190 ribu anak perempuan di Indonesia menikah di bawah umur 16 tahun (UNICEF, 2018). Sementara pada tahun 2018 Pengadilan Agama di seluruh Indonesia menerima lebih dari 13 ribu permohonan dispensasi kawin yang dimohonkan untuk anak perempuan, berarti hanya sekitar 3 persen perkawinan anak perempuan di bawah usia 16 tahun yang dimohonkan dispensasi (AIPJ2, 2019). 

Foto: Taufan Ramli/Yayasan BaKTI
Foto: Taufan Ramli/Yayasan BaKTI


Umur dan Reproduksi
Jumlah anak perempuan yang menikah lebih banyak dari pada anak laki-laki. Demikian juga umur anak perempuan lebih muda dari pada anak laki-laki. Usia rata-rata anak perempuan yang dimohonkan dispensasi kawin adalah 14,5 tahun dan usia rata-rata anak laki-laki dalam perkara dispensasi adalah 16,5 tahun. 

Dari sisi perbedaan usia calon suami dan calon istri, sebanyak 8 dari 10 anak laki-laki yang dimohonkan dispensasi mempunyai calon istri sepantaran antara 16-19 tahun, sementara hanya 3 dari 10 anak perempuan yang calon suaminya sepantaran. Artinya, 7 dari 10 anak perempuan menikah dengan laki-laki, yang kemungkinan besar bukan pilihannya, tetapi pilihan orangtua, wali, dan sebagainya. 

Sementara itu, dari sekitar 500 ribu putusan cerai yang dianalisis, 1 dari 4  istri (24 persen) menikah ketika anak-anak, namun hanya 1 dari 50 (2 persen) suami yang menikah ketika anak-anak. Angka 24 persen perempuan bercerai yang menikah ketika anak-anak mengindikasikan tingkat perceraian yang tinggi bagi perempuan yang menikah pada usia sebelum 18 tahun (AIPJ2, 2019). 

Umur muda (rata-rata 14,5 tahun) bagi seorang anak perempuan sangat sangat rentan dan berisiko setelah menjadi istri. Karena setelah menikah, anak perempuan akan hamil, melahirkan, merawat, dan mengasuh anak. Dengan usia yang sangat muda dan organ reproduksi yang belum siap untuk hamil atau mengandung, anak perempuan beresiko mengalami berbagai gangguan dan penyakit yang berhubungan dengan organ reproduksi, seperti keguguran, melahirkan prematur, dan sebagainya.

Foto: Taufan Ramli/Yayasan BaKTI
Foto: Taufan Ramli/Yayasan BaKTI


Umur dan Kedewasaan 
Dari sisi kesehatan, perempuan dianggap siap untuk hamil dan merawat anak jika berusia di atas 20 tahun, karenanya perempuan dianggap dewasa ketika mencapai usia tersebut. Konvensi Hak Anak  dan Undang-Undang Perlindungan Anak menyebut anak sebagai seseorang yang belum  berusia 18 tahun. Ketika seorang telah mencapai usia 18 tahun dia bukan lagi dikategorikan sebagai anak, tetapi dia juga bukan orang dewasa. Masa transisi antara anak dan orang dewasa, pada usia antara 18-20 tahun, adalah saat seseorang dapat disiapkan untuk kawin.

Jika seorang perempuan menikah di usia 19 tahun, diharapkan dia akan melahirkan pada usia 20 tahun atau lebih, sehingga segala resiko yang berhubungan dengan organ reproduksi dapat diminimalisasi. Di samping itu, usia 19 tahun, baik bagi perempuan maupun laki-laki, juga telah mencapai kedewasaan secara psikologi, sosial, dan spiritual, sehingga pasangan suami-istri diharapkan dapat menata rumah tangga lebih baik.

Jika pasangan suami istri menikah setelah mencapai usia 19 tahun, jenjang pendidikan terendah yang ditamatkan adalah Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat. Dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, kedewasaan berpikir dapat dicapai sehingga dapat mengatasi berbagai permasalahan di dalam rumah tangga lebih baik. 

Generasi  Berkualitas  Rendah
Perkawinan bukan kebutuhan dan kepentingan anak. Perkawinan anak hanya melahirkan berbagai permasalahan bagi rumah tangga tersebut, keluarga, masyarakat, dan negara. Kekerasan terhadap perempuan, khususnya KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) yang pelakunya adalah suami dapat dilakukan oleh siapa saja, dan dari kelas mana saja, tetapi suami dengan tingkat pendidikan rendah sangat umum melakukan kekerasan. Sementara kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh ibu kandung, maka ibu kandung muda atau ibu kandung yang berasal dari perkawinan anak juga sangat umum. 

Karena itu, perkawinan anak tidak bisa diharapkan melahirkan generasi berkualitas untuk negeri ini. Perkawinan anak hanya menghasilkan generasi berkualitas rendah dan berbagai permasalahan yang akan menjadi beban masyarakat dan negara. Anak-anak yang lahir dari ibu-ibu yang masih berumur anak dapat membawa berbagai permasalahan, seperti lahir prematur, kurang gizi, stunting, dan sebagainya.

Di samping itu, karena masih berumur anak, apalagi dengan pendidikan yang rendah, ibu dan bapak ini tidak bisa diharapkan menjadi orang tua yang baik bagi anak-anaknya. Bahkan kemungkinkan mereka menjadi pelaku kekerasan dan eksploitasi terhadap anak-anaknya.

Foto: Taufan Ramli/Yayasan BaKTI
Foto: Taufan Ramli/Yayasan BaKTI


Untuk itu, pada Rabu 4 Desember 2019 bertempat di Pengadilan Tinggi Agama Makassar, Yayasan BaKTI (Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia) yang bergabung dalam Koalisi Stop Perkawinan Anak atas dukungan Program MAMPU (Kemitraan Australia Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan) dan AIPJ2 (Australia Indonesia Partnership for Justice) Tahap II, melaksanakan Workshop untuk mensosialisasikan Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin.

Narasumber Workshop adalah Theodora Putri dari AIPJ2 Jakarta, Dr. Nirwana Pananrang, SH., M.Hum., Hakim Tinggi dan Anggota Pokja Perempuan dan Anak Mahkamah Agung, serta Nur Anti, SE., MT., Kabid Pemenuhan Hak dan Perlindungan Anak, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sulawesi Selatan, dengan moderator Husaima Husain.

Ketika memberi sambutan dalam acara pembukaan, Zusanna Gosal, Deputi Direktur Yayasan BaKTI menyebutkan, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang telah diadvokasi selama bertahun-tahun gagal disahkan. Tentu ini sangat mengecewakan, namun harus terus diadvokasi sampai RUU ini disahkan menjadi Undang-Undang. Tahun ini ada kemajuan yang cukup berarti karena pemerintah dan DPR RI mengesahkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang ini menaikkan batas usia perkawinan bagi perempuan menjadi 19 tahun. 

Workshop dibuka oleh Dr. Hj. Aisyah Ismail, SH., MH., Ketua Pengadilan Tinggi Agama (PTA)  Makassar. Dalam sambutannya Ketua PTA Makassar mengatakan bahwa, sejak Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 disahkan, banyak permintaan dispensasi yang telah masuk ke Pengadilan Agama di Sulawesi Selatan, karena itu hakim harus mempelajari PERMA No. 5 Tahun 2019. Karena PERMA ini menempatkan anak sebagai pihak yang mempunyai posisi penting yang harus didengar pandangannya terkait dengan permohonan dispensasi kawin.

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.