Sebuah Pohon Sukun (Artocarpus altilis) tumbuh subur di sisi selatan Taman Renungan Bung Karno, Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Di bawah rindangnya pohon ini, Soekarno pendiri negeri ini “menggali” ide hingga lahirlah Pancasila yang ditetapkan sebagai dasar negara.
Pohon sukun bercabang lima tempat Bung Karno merenung sejatinya telah mati tahun 1970-an. “Pohon sukun bercabang lima yang ada saat ini ditanam tanggal 17 Januari 1981 oleh pemerintah disaksikan sahabat-sahabat Bung Karno dan tokoh agama,” terang Kalianus Nusa Nipa, petugas kebersihan di Taman Renungan Bung Karno.
Sebuah cabang berukuran besar sementara 4 cabang lainnya berukuran lebih kecil. Terdapat banyak anak cabang dan ranting yang rimbun serta kerap berbuah lebat.
Kalianus, lelaki kelahiran Wolowaru ini boleh dikata unik di mata kebanyakan orang. Dalam keterbatasan, dirinya masih menjaga dan merawat koleksi museum bahari.
Nus sapaan karibnya mengajak Mongabay Indonesia ke lantai dua gedung perpustakaan di lokasi taman. Sebuah karya seni unik lambang Negara Indonesia Garuda Pancasila berdiameter 1 meter masih dipajang.
“Sebenarnya karya seni ini mau saya berikan ke Presiden Jokowi waktu beliau kunjungi taman ini. Namun beliau tidak melihat koleksi museum bahari di lantai dua,” ucapnya.
Nus berkisah, karya seni lambang Negara Indonesia Burung Garuda terinspirasi dari puisi Garuda Sakti yang ditulisnya 1 September 2021. Ia menerjemahkan isi puisi ke dalam karya nyata.
Pekerjaan dimulai akhir Desember 2021 dari merancang hingga membuat pola berbahan parabola bekas. Waktu luang sepulang kerja sebagai petugas kebersihan di Taman Renungan Bung Karno dimanfaatkan secara maksimal.
Selama ini lambang Negara Burung Garuda dibuat dari semen, kayu, perunggu atau bahan lainnya. Nus pun membuat karya berbeda dari biota laut. Karyanya ini dibuat untuk merayakan Hari Lahir Pancasila 1 Juni.
“Bahan-bahannya berasal dari koleksi museum bahari. Asetnya begitu banyak, tercecer dan terbuang. Dengan tidak mengurangi koleksi utamanya, saya merangkainya menjadi lambang Negara Burung Garuda,” ungkapnya.
Penggunaan Biota Laut
Di sebelah utara bangunan, terdapat taman dan patung sang proklamator. Bung Karno duduk di bangku dengan menyilangkan kaki sambil menatap lautan yang berada tak jauh dari taman.
Nus memaparkan alasan membuat lambang Negara Burung Garuda dari biota laut. Menurutnya, wilayah perairan laut negeri ini lebih luas dari daratan.
Kekayaan alam laut sangat potensial bagi kehidupan manusia maka sangatlah penting untuk selalu menjaga ekosistem laut dari kepunahan agar dapat dinikmati generasi nanti.
Menurutnya, laut pun menjadi pusat studi dan informasi. Pengembangan kreativitas generasi muda tentang keanekaragaman biota laut yang jumlahnya tak terbatas dan tak terukur sekaligus menjadi obyek pengembangan wisata alam dan budaya.
“Dalam rangka kampanye terhadap upaya pelestarian, penyelamatan dan perlindungan keanekaragaman biota laut, hendaknya penangkapan ikan dan pengambilan biota laut tetap menjaga keseimbangan ekosistem dan tidak merusaknya,” pesannya. Dalam keseharian Nus juga bergumul tentang Pancasila dan Bung Karno. Inspirasi ini ia tuangkan dalam sebuah buku berjudul “Menyelisik Makna Pemikiran Bung Karno Melalui Simbol Alam”.
Buku setebal 60 halaman ini memuat trilogi kehidupan : Tuhan, Alam dan Manusia. Ia beralasan, ketiganya menjadi rumusan dasar Bung Karno tentang Pancasila. “Inspirasi ini lahir saat saya bekerja di Taman Renungan Bung Karno. Catatan pergumulan selama dua tahun saya susun menjadi sebuah buku,” ucapnya.
Koleksi Museum Bahari
Buku Museum Bahari Ende memuat penjelasan, ide awal pendirian museum pertama kali muncul dalam benak Almarhum Pater Gabriel Goran, SVD tahun 1990. Maret tahun 1996, Museum Bahari dibangun di lahan seluas 396 m² di Taman Renungan Bung Karno. Pemda menyiapkan lahan sementara dana pembangunan ditanggung Kongregasi SVD.
Museum Bahari pun diresmikan Bupati Ende Frans Gedowolo, 14 Agustus 1996 dan mulai dibuka untuk umum. Almarhum Pater Goran beralasan, museum ini dibangun karena Ende khususnya dan Provinsi NTT umumnya belum memiliki museum bahari untuk menyimpan aneka biota laut.
NTT sebagai provinsi kepulauan, memiliki wilayah laut dengan kekayaan biota lautnya. Untuk itu perlu dilestarikan dengan penanganan profesional guna menunjang pariwisata dan ilmu pengetahuan. Sekitar 2.500 spesies koleksi museum bahari. Ikan ± 150 spesies, mollusca ± 1.500 spesies serta crustacea seperti udang, kepiting dan lobster. Juga ada filum Echinodermata seperti teripang dan bulu babi, reptilia seperti kura-kura darat dan penyu.
Ada koleksi mamalia laut seperti ruas tulang lumba-lumba, paus serta seekor dugong. Algae seperti rumput laut dan spons laut serta beberapa jenis akar bahar, terumbu karang dan tali arus. Semua koleksi dihimpun dari masyarakat di Pulau Flores dan Lembata tanpa mengambilnya di laut.
“Dugong betina ini panjangnya sekitar 1,5 meter yang ditemukan nelayan sudah mati terdampar di Pantai Ipi Ende tahun 2000. Nelayan menyerahkannya ke museum,” terang Nus.
Pengawetan dugong awalnya menggunakan formalin. Selanjutnya menggunakan gamping dan batu kapur serta dijemur di panas mentari selama setahun. Ada juga koleksi favorit lainnya berupa naga laut. Sayangnya keberadaan museum ini hanya bertahan hingga tahun 2012. Revitalisasi taman membuat bangunan fisik museum pun dibongkar. Segala koleksinya berpindah tempat.
Kondisi Terkini
Hujan rintik menyapa saat kami menjejakan kaki di depan kamar kos di belakang Bengkel Misi Ende. Dua kamar berukuran masing-masing 3×4 m ini dipenuhi tumpukan koleksi Museum Bahari.
Sebuah kamar disekat. Satu dipakai sebagai kamar tidur. Ribuan koleksi kerang laut dan lainnya dimasukan ke dalam karung dan kardus lalu disusun bertumpuk di kamar satunya.
Kamar depan dipergunakan sebagai ruang kerja merangkai aneka kerajinan tangan. Itu pun masih diletakkan berbagai koleksi berukuran besar dan dalam kotak kaca.
“Tahun 2013 meskipun Pater Goran masih ada, museum dibongkar dan semua koleksi dibawa ke tempat kos saya,” ucap Nus. Pater Goran membantu biaya sekolah Nus hingga tamat SMK di Ende. Semenjak tahun 1996 dirinya mengabdi di Museum Bahari bersama Pater Goran tanpa menuntut gaji.
Lajang kelahiran 2 Mei 1977 ini mengaku, dengan penataan sederhana saja banyak pengunjung yang tertarik menyambangi museum ini sebelum digusur. Nus bermimpi memiliki sebuah bangunan sendiri 2 lantai. Lantai 1 untuk ruang pamer koleksi museum sementara lantai 2 difungsikan sebagai galeri seni, kafe dan perpustakaan mini karena buku koleksi pribadi Pater Goran sangat banyak.
Tidak perlu ada tiket masuk sebutnya, agar semua orang bisa menikmati museum sebagai gudang ilmu pengetahuan. “Saya akan namakan Museum Bahari Goran Shell. Shell itu sejenis kerang laut karena Pater Goran sangat terinspirasi dari kerang laut hingga mengumpulkan ribuan kerang laut,” tuturnya.
Pada 26 Desember 2019 sebelum Pater Goran wafat 28 Januari 2020, Nus dititipi pesan tetap bekerja di museum karena suatu saat museum bahari akan besar. Pater Goran telah mewasiatkan segala koleksi museum bahari kepadanya. Dia bertanggungjawab atas kelangsungan hidup museum ini meski terasa berat. Pencarian dana terus diupayakan dengan harapan ada yang terketuk hati membantu.
Biaya perawatan semua koleksi praktis mengandalkan pendapatannya dari menjual karya seni kerajinan tangan berbahan kerang yang dipungut di pinggir pantai. “Alam ini memberikan kita kehidupan sehingga menjadi kewajiban kita menjaga keseimbangan ekosistem dan tidak merusak alam,” pesannya.
Info lebih lanjut
Artikel bersumber dari Mongabay Indonesia https://www.mongabay.co.id/2022/07/10/perjuangan-kalianus-lestarikan-museum-bahari-dan-pohon-bung-karno/