Program pilot kebijakan berbasis pengetahuan di Sulawesi Selatan kerja sama BAPPENAS, BAPPELITBANGDA, KSI dan Yayasan BaKTI, atas dukungan dana Pemerintah Australia (DFAT) mulai bergulir akhir tahun 2019. Satu siklus diskusi multi pihak berhasil digelar, sebagai proses identifikasi dan menyepakati isu prioritas dan substansi kajian, untuk mendukung kebijakan tata kelola ekonomi daerah, berbasis komoditas. Forum diskusi multi pihak merekomendasikan pentingnya kajian rantai nilai dan tata kelola komoditas unggulan Sulawesi Selatan.
Beragam faktor mendukung pentingnya kajian rantai nilai dan tata kelola komoditas unggulan Sulawesi Selatan. Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan, Prof. Nurdin Abdullah, menempatkan riset, kajian atau penelitian sebagai mainstream setiap kebijakan sebelum dilaksanakan, hal ini disampaikan oleh Prof. Dr. Yusran Yusuf. M.Si. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (BAPPELITBANGDA) Sulawesi Selatan, pada diskusi online 29 April 2020, yang dihadiri Knowledge Sector Initiative (KSI), Yayasan BaKTI, BAPPELITBANGDA dan tiga lembaga kajian, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), SMERU Research Institute dan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD).
Dr. Muhammad Taufik, M.Si., Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan-BAPPELITBANGDA Sulawesi Selatan, dalam suatu diskusi multi pihak menegaskan pentingnya kajian, penelitian sebagai basis penting perencanaan yang akurat dan pengambilan kebijakan yang tepat oleh pemerintah. Demikian halnya dengan upaya pengembangan suatu komoditas, perlu didukung dengan hasil kajian/riset yang komprehensif, untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai daya dukung alam, lingkungan, lahan, potensi produksi sampai pada peluang pasar dan konsumennya.
Kajian rantai nilai dan tata kelola komoditas yang tepat, memungkinkan identifikasi secara akurat aspek-aspek yang berkontribusi atau turut memengaruhi tahapan proses pengelolaan komoditas dari hulu sampai hilir, termasuk aspek kebijakan, peran para pihak disetiap aspek, termasuk sub-sistem yang berpengaruh terhadap proses produksi. Dengan dasar inilah, pengembangan komoditas idealnya berbasis kajian yang hasilnya dituangkan dalam road map, grand design. Realitasnya, pengembangan komoditas di Sulawesi Selatan, seringkali atau bahkan pada umumnya dilakukan tanpa diawali kajian, atau belum memanfaatkan hasil-hasil kajian secara maksimal, dan belum berbasis pada road map atau grand design. Demikian pandangan Dr. Mahyuddin, M.Si., Dosen dan peneliti UNHAS, pada salah satu pertemuan kolaborasi.
Menurut Dr. Mahyuddin, banyak hal penting terkait dengan pengembangan komoditas, khususnya pertanian di Sulawesi Selatan, namun belum diketahui, apa sebenarnya yang harus dilakukan, pada level mana membutuhkan dukungan, dan seperti apa bentuk dukungan yang tepat. ‘’ini terjadi karena belum adanya grand design, agenda dan strategi pengembangannya yang jelas’’. Diakui, bahwa pendekatan grand design dan roadmap tidak bisa diterapkan pada semua komoditi, fokusnya pada komoditi yang benar-benar akan dikembangkan.
Komoditas yang Layak Road Map
Sulawesi Selatan kaya dengan potensi komoditas yang beragam, dan jaminan prospek pasar lokal antar pulau hingga ekspor, yang idealnya pengembangannya berbasis grand design. Namun forum diskusi merekomendasikan kriteria komoditas yang layak dikaji, idealnya memenuhi kriteria yaitu; Meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memberi nilai tambah, menyerap tenaga kerja, komoditas berdaya saing tinggi, tidak dapat ditiru, berpotensi dikembangkan secara luas atau memberi manfaat luas (skala kabupaten), program prioritas pemerintah provinsi, kebanggaan (nilai tradisi), khas dan memiliki nilai budaya, jaminan pasar, melibatkan para pihak, keterlibatan perempuan dan inklusi sosial.
Aktifis perempuan Sulawesi Selatan, Lusi Palulungan, mengingatkan peran perempuan yang tidak spesifik dilihat dalam program pembangunan selama ini, apabila ini dikaji secara cermat mainstream gender seharusnya lebih jelas, dan lebih spesifik menurutnya dalam ranah inklusif, bisa dilihat bagaimana keterlibatan disabilitas atau kelompok-kelompok marjinal, yang akan semakin memperkaya kajian dan korelasinya terhadap pendapatan perempuan.
Ada banyak pilihan komoditas Sulawesi Selatan, yang memenuhi kriteria di atas, namun pilihan yang direkomendasikan adalah Talas Satoimo. Komoditas baru, yang menarik pada evidence-based, belum banyak fakta, ketersediaan hasil kajiannya terbatas, belum banyak literatur yang basisnya praktik lokal. Komoditas ini, dirintis oleh gubernur dengan peluang pasar ekspornya yang besar, permintaan pasar Jepang sangat besar. Berbeda dengan pengembangan komoditas yang belum memiliki peluang akses pasar, dan seringkali gagal meraih peluang pasar, apalagi ekspor. Produksi digenjot tapi tidak memiliki skala ekonomi, karena pasar bermasalah, berdampak pada kekecewaan bagi petani. Hal ini penting menjadi pertimbangan dalam mendorong pengembangan komoditas.
Diusulkan pula sutra, komoditas lama yang tetap eksis, karena kekhasannya dan ditopang nilai sejarah yang sarat unsur budaya lokal dalam proses produksi dan pemanfaatannya. Oleh Gubernur Nurdin Abdullah dan Sudirman Sulaiman, mengambil kebijakan yang tepat dengan menjadikannya sebagai salah satu program prioritas dengan tagline ‘’mengembalikan kejayaan sutra’’. Realitasnya, produksi benang sutra memang mulai redup, produksinya nyaris tak berdaya menghadapi persaingan harga benang impor produksi China, Thailand dan India, yang secara ekonomi jauh lebih rendah dari harga benang sutra lokal. Walaupun benang sutra produksi Sulawesi Selatan tidak diragukan lagi keasliannya, hanya saja kualitasnya mulai menurun, seiring berkurangnya kualitas bahan baku, dan terbatasnya dukungan alat-alat produksi.
Pilihan harga seringkali lebih diutamakan dibanding kualitas, situasi inilah yang semakin memperparah pasar sutra asli, kecuali oleh konsumen loyal dan memiliki keberpihakan terhadap produksi sutra lokal. Upaya mengembalikan kejayaan sutra sangatlah tepat. Dr. Agussalim, Ekonom UNHAS menilai, revitalisasi industri sutra berpotensi menjadi industri alternatif untuk menunjang perekonomian Sulawesi Selatan. Pengetahuan rantai nilai yang komprehensif, melibatkan beragam pemangku kepentingan dari hulu sampai hilir, secara spesifik peran kelompok perempuan dominan dalam proses industrialisasinya. ‘’Mengembalikan kejayaan sutra’’ tantangannya adalah mengembalikan animo masyarakat yang pernah gagal budidaya kokon.
Dr. Agussalim juga menilai kajian dua komoditas ini dibutuhkan, guna membantu pemerintah provinsi dalam merumuskan kerangka kebijakan yang tepat. Proses desain pelaksanaan kajian dihadang situasi pandemi COVID-19, yang telah menyebar luas hingga ke kabupaten/kota di Sulawesi Selatan. Situasi ini melahirkan tantangan baru, kajian lapangan berpotensi terhambat dengan kebijakan phisical distancing, hanya bisa dilakukan ketika situasi aman, pada saat yang sama para pihak ‘’menuntut’’ adaptasi kajian terhadap isu-isu yang berkembang. Memastikan bagaimana kajian yang dihasilkan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dan berkontribusi dalam upaya percepatan pemulihan ekonomi pasca COVID-19. Dengan demikian dua kajian ini harus ditelaah secara cermat, untuk memastikan kontribusinya yang tepat, dan memperkuat kriteria komoditas yang layak kaji. Proses-proses telaah dan analisa dilakukan untuk memastikan melakukan kajian terhadap kedua komoditas ini, atau memilih salah satunya sebelum menjatuhkan pilihan yang tepat, Sutra atau Talas Satoimo?.