Kecintaannya pada Papua diwujudkan tak hanya dalam profesi tetapi berbagai aktivitas literasi dan kerelawanan digeluti demi untuk mencetak generasi Papua yang sehat dan cerdas.
dr. Sri Riyanti Windesi Sp.A, lahir dari seorang ayah berdarah Jawa yang bertugas sebagai petugas Trikora yang dikirim dari Kemendagri ke Irian Barat untuk mempersiapkan jajak pendapat. Ibunya adalah perawat suku Waropen orang asli Papua. Lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, memulai karir sebagai dokter umum di Pusat Kesehatan Masyarakat (PKM) Siriwini Nabire, Papua pada tahun 1994. Kemudian pertama praktik spesialis anak di RSUD Fakfak Papua Barat 2012 dan sempat berpindah-pindah di Raja Ampat, Kaimana dan saat ini bertugas di Rumah Sakit Selebesolu Sorong Papua Barat.
Ketika ditanya mengapa memilih berkarir sebagai dokter anak dan di Papua? Sontak dr. Riyanti menjawab “Bapak saya saja yang bukan orang Papua jatuh cinta kepada Papua, dan tidak mau pergi dari Papua. Masa saya harus pergi meninggalkan Papua? Sedangkan banyak teman sejawat saya yang pernah bertugas di Papua, selalu menginginkan kembali ke Papua. Jadi tidak perlu takut dan khawatir, Papua itu indah sekali”.
Sedangkan pilihan menjadi dokter anak, mungkin terkesan muluk-muluk. dr. Riyanti ingin berkontribusi dan turut andil memperbaiki generasi Papua yang cerdas dan sehat mulai dari anak-anak. Semangat ini yang terus dijaga hingga saat ini.
Bekerja dalam keterbatasan, bukan hanya infrastruktur namun juga akses tak membuat dr. Riyanti berputus asa. Memiliki pengalaman menimba ilmu di universitas ternama dengan peralatan kedokteran yang lengkap di dr. Soetomo. Kesenjangan yang jauh antara di Jawa dan di Papua baik dari fasilitas kesehatan, sarana, prasarana, maupun sumber daya manusia.
Kondisi yang bertolak belakang saat berada di pelosok di Papua, menuntutnya agar memiliki keahlian menyiasati kondisi dan keterbatasan untuk tetap memberikan pelayanan kesehatan. Sehingga menjaga idealisme bagi dr. Riyanti sangat penting untuk tetap menjaga agar tetap berada dalam track. Ini juga yang membuat dr. Riyanti walau bekerja berpindah-pindah, beliau selalu berusaha agar bekerja sepenuh hati, selalu ada cerita yang membuatnya terikat dan tak terlupakan ketika bertugas. Salah satunya saat bertugas lima tahun di Raja Ampat, saat harus membantu persalinan pasien, bayi kembar tiga dengan berat badan masing-masing 9 ons, 7 ons dan 1 kg.
Bisa dibayangkan dalam situasi serba terbatas, rumah sakit tak memiliki fasilitas insentif perawatan khusus anak (Neonatal Intensive Care Unit/NICU) namun karena ketelatenan dari petugas kesehatan hingga bayi-bayi tersebut dapat selamat dan tumbuh besar hingga saat ini, orang tua si bayi pun mengapresiasi usaha dr. Riyanti dengan mengabadikan nama depan dr. Riyanti sebagai nama depan ketiga anak kembar mereka. Ini sesuatu hal yang luar biasa bagi fasilitas kesehatan di pelosok, berbeda dengan fasilitas kesehatan di perkotaan yang memang dilengkapi dengan peralatan yang mumpuni untuk melakukan perawatan.
Saat-saat seperti itulah yang membuat dr. Riyanti senantiasa percaya tangan Tuhan selalu ada, manusia hanya penyambung tangan Tuhan. Apalagi profesi sebagai tenaga kesehatan mendapatkan tempat khusus di masyarakat Papua.
Tantangan Pandemi COVID-19 di Timur Indonesia
Saat pandemi COVID-19 melanda Papua, berbagai tantangan pun dihadapi seperti kekurangan Alat Pelindung Diri bagi tenaga kesehatan untuk melakukan penjangkauan pasien yang terpapar COVID-19. Belum lagi masih ada kelompok maupun individu yang tidak mempercayai COVID-19 dan malah menuduh bahwa itu adalah konspirasi untuk menguntungkan rumah sakit saja. "Sedih bila ada keluarga pasien yang menghujat nakes, mengatakan kami sengaja meng-covid-kan semua pasien," kata dokter Riyanti. Belum lagi, ada keluarga pasien yang tidak jujur dan menyembunyikan hasil rapid yang reaktif sehingga menyebabkan nakes ikut tertular. Kendati demikian, dr. Riyanti mengaku senang apabila ada pasien yang sembuh dan diperbolehkan pulang ke rumah.
Namun, hal lain yang membuatnya tetap kuat menghadapi kondisi ini adalah masih banyak teman, sahabat, keluarga yang mengapresiasi pekerjaan tenaga kesehatan, yang juga mendoakan agar tetap semangat dan menjaga diri. "Alhamdulillah makin ke sini saya makin tenang, makin bisa berdamai dengan pandemi ini, apalagi setelah makin banyak orang mendapat vaksinasi. Protokol kesehatan akhirnya menjadi prosedur tetap yang mengalir begitu saja, menjadi kebiasaan sehari-hari," ujar dr Sri Riyanti.
dr. Riyanti pun mengingatkan masyarakat yang abai terhadap protokol kesehatan, beliau juga mengajak masyarakat untuk berempati, menempatkan diri di posisi menjadi pasien yang tentunya membutuhkan perawatan dari tenaga kesehatan. dr. Riyanti Pun berharap pandemi ini akan segera berakhir dan situasi kembali seperti sedia kala. "Semoga kita bertemu di waktu yang akan datang tanpa ketakutan, rasa cemas, bisa menghirup udara bebas," tutur dr Riyanti.
Aktivitas Kesukarelawanan dan Edukasi
Mengabdikan diri 1 x 24 jam sebagai dokter, tak menyurutkan energi dr. Riyanti untuk aktif dalam komunitas “Forum Literasi Baca Sorong Raya” memperluas pertemanan di luar circle kedokteran. Bertemu sekali seminggu, berdiskusi, saling belajar dan bertukar pikiran dengan teman-teman pegiat literasi mampu me “recharge baterai”.
Dari aktivitas ini, dr. Riyanti bersama anaknya, ilustrator lulusan Desain Komunikasi Visual dan lulusan Akademi Polisi, membuat buku Lusi dan Aplena dari Teluk Mayalibit. Buku ini terinspirasi dari pengalamannya saat bertugas di Raja Ampat yang menceritakan tentang alam yang harus dijaga agar tetap indah dan lestari, terutama alam yang ada di Papua Barat. Buku ini ditujukan untuk pembaca awal, yaitu anak TK sampai SD, mengajarkan sejak dini untuk mencintai lingkungannya, seperti menjaga terumbu karang. Berawal dari kegelisahannya karena selama ini buku cerita anak yang ditulis oleh penulis dari luar Papua, tak memiliki pemahaman yang cukup tentang konteks lokal Papua. Contohnya, menggambarkan honai ada di daerah pantai, padahal honai itu adanya di dataran tinggi, pegunungan. Berbeda jika buku itu ditulis oleh orang local, yang mengetahui situasi dan kondisi serta kebiasaan di Papua.
Satu tujuan yang ingin dicapai dari menulis buku ini, dr. Riyanti ingin menunjukkan kepada anak-anak di Papua bahwa dunia ini luas dan dapat diketahui dari buku yang mereka baca dengan demikian dapat memberikan semangat, pengetahuan, menguatkan identitas dan karakter mereka sebagai orang Papua yang bangga dengan daerahnya. Harapannya anak-anak di Papua kelak memiliki kesempatan dan akses dalam hal pendidikan, lebih berani bermimpi untuk mencapai cita-citanya.
Selain itu, dr. Riyanti yang memiliki hobi fotografi. Selama bertugas di Raja Ampat, setelah pelayanan di rumah sakit. Karena pasiennya tak begitu banyak, dr. Riyanti memiliki waktu yang cukup banyak yang digunakan untuk memotret berbagai jenis burung yang ada di Raja Ampat. Dari aktivitas ini, dr. Riyanti Bersama suami berhasil memotret 120 lebih jenis burung dan mendokumentasikannya dalam sebuah buku “Birds of Raja Ampat” yang juga berhasil meraih MURI. Buku ini dijadikan sebagai materi edukasi dan panduan bagi pemandu wisata di Raja Ampat untuk menjelaskan kepada para wisatawan yang ingin menikmati wisata alam dengan aktivitas “bird watching” dan “birding” karena selain dilengkapi foto, buku bilingual ini juga berisi narasi singkat tentang burung tersebut. “Daripada fotonya hanya tersimpan di hardisk, lebih baik diwujudkan untuk proyek kepuasan batin” ucap dr. Riyanti.
Beberapa koleksi fotonya juga telah dimuat di buku “Saya Indonesia” dan majalah Sriwijaya, majalah dokter.
Dari perjalanan dan cerita dr. Riyanti kita bisa belajar bahwa apapun profesi, latar belakang kita, tak membatasi untuk berbuat kebaikan dan memberikan manfaat. Tak harus menunggu mapan, sekecil apapun yang dilakukan akan memberikan manfaat bagi orang di sekitar kita.