Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama Ia tidak menulis
Ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah ~ Pramoedya Ananta Toer.
Ide dan gagasan yang dituliskan akan lebih abadi dibandingkan ide yang hanya ada di kepala atau yang sekedar dibicarakan tanpa dituangkan dalam tulisan yang bisa dibaca oleh orang lain. Begitu juga pengalaman, cerita dan pembelajaran dari teman-teman mitra daerah Program INKLUSI-Yayasan BaKTI. Program Kemitraan Australia-Indonesia Menuju Masyarakat Inklusif (INKLUSI) adalah program yang akan diupayakan untuk berkontribusi pada tujuan pembangunan yang lebih luas, yaitu tidak ada satupun yang tertinggal dalam pembangunan, lebih banyak kelompok marjinal berpartisipasi dalam pembangunan dan mendapat manfaat dari pembangunan di bidang sosial budaya, ekonomi, dan politik di Indonesia.
Yayasan BaKTI sebagai organisasi yang fokus pada pengelolaan pengetahuan. Melalui program INKLUSI-Yayasan BaKTI berfokus pada penghapusan kekerasan yang didasarkan pada kondisi kekerasan terhadap perempuan, pemenuhan hak disabilitas, dan kelompok rentan/marginal, pada 7 kabupaten/kota di Kawasan Timur Indonesia, bekerja dengan enam mitra lokal, yakni YLP2EM (Yayasan Lembaga Pengkajian Pengembangan Ekonomi dan Masyarakat) Parepare, YESMa (Yayasan Eran Sangbure Mayang) Tana Toraja, Rumah Generasi Ambon, RPS (Rumpun Perempuan Sulawesi Tenggara) Kendari, UDN (Yayasan Ume Daya Nusantara) Kupang, dan LRC (Lombok Research Center) Lombok Timur.
Ada begitu banyak program atau kegiatan yang dilakukan oleh mitra program INKLUSI di daerah, dan sangat penting untuk didokumentasikan dalam bentuk laporan berita. Laporan berita ini juga bisa diposting di akun media social masing-masing mitra daerah maupun di media social Yayasan BaKTI. Sangat perlu diabadikan dan disebarkan lebih luas di media sosial di blog, di website, atau di media massa agar cerita, berita dan pembelajaran dapat menginspirasi lebih banyak orang.
Untuk itu, Yayasan BaKTI melakukan Pelatihan Bengkel Komunikasi “Pelatihan Menulis Kreatif dan Fotografi” bagi mitra daerah Program INKLUSI – BaKTI di 6 kabupaten/kota yang dilaksanakan secara luring di bulan Oktober – November 2022. Pelatihan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas staf mitra mengenai penulisan konten kreatif, fotografi. Selain itu untuk meningkatkan kapasitas staf mitra mengenai etika dan aturan dalam penulisan terkait dengan perempuan, anak, disabilitas, dan kelompok rentan serta meningkatkan kapasitas Penulisan Cerita Perubahan (MSC).
“Pelatihan ini diharapkan dapat membantu mitra dalam mendokumentasikan berita yang memuat cerita, pembelajaran dan mampu mendorong advokasi, hingga mendorong terciptanya pembangunan yang inklusif dalam semua lini kehidupan masyarakat,” ujar Muhammad Yusran Laitupa, Direktur Yayasan BaKTI sewaktu membuka pelatihan Bengkel Komunikasi di Lombok Timur, 30 September 2022 lalu.
Selama dua hari pelaksanaan pelatihan Bengkel Komunikasi, peserta dibekali dengan pengetahuan dan kemampuan menulis berita yang kreatif dan inklusif serta bagaimana mendokumentasikannya melalui foto yang menguatkan tulisan maupun berita. Pelatihan ini akan membantu mitra untuk dapat menghasilkan berita yang berkualitas, materi untuk memahami struktur penulisan berita yang menarik tanpa mengabaikan fakta, apalagi di zaman yang semakin canggih di mana platform digital untuk mengakses informasi tersedia begitu luas.
Tak hanya mendapatkan informasi atau berita, masyarakat, yang bukan pekerja media pun dapat mewartakan sebuah peristiwa. Seperti yang kita lihat beberapa di beberapa media sosial, tak sedikit dari pengguna media sosial menginformasikan tentang suatu peristiwa yang tengah terjadi di sekitarnya dan kemudian digunakan oleh media konvensional untuk mewartakannya.
Jurnalisme yang Inklusif
Munculnya fenomena tersebut dikenal dengan istilah yang cukup populer yaitu citizen journalism atau jurnalisme warga. Masyarakat dapat melakukan kegiatan pengumpulan, pelaporan, analisis serta penyampaian informasi. Setelah jurnalisme warga cukup populer, kini berkembang istilah yang lain yaitu jurnalisme yang inklusif. Penting untuk kita memahami jurnalisme dan inklusif.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), jurnalisme adalah pekerjaan mengumpulkan serta menulis berita di media massa cetak atau elektronik; kewartawanan. Kata lainnya, jurnalisme adalah seluruh kegiatan yang berkaitan dengan penyampaian berita, mulai dari pengumpulan fakta, penulisan, hingga proses penyuntingan berita. Jika dikaitkan dengan isu inklusif, fakta -khususnya pemaparan permasalahan, harus ditulis dan dilengkapi dengan apa yang seharusnya masih perlu dilakukan baik, institusi maupun pihak lainnya yang terkait dengan isu difabel. Dengan pemberitaan seperti demikian, akan lebih mudah mengikat pembaca untuk memperhatikan isu yang diberitakan. Tidak menutup kemungkinan pembaca akan bersedia dengan senang hati menyebarluaskannya di media sosial maupun jejaring mereka untuk menarik perhatian lebih banyak orang.
Sementara istilah inklusi bermakna ikut diperhitungkan atau dilibatkan. Namun, istilah inklusi atau inklusif ini lebih sering terdengar dan menempel pada aspek kehidupan difabel. Undang-Undang Penyandang Disabilitas (UU No. 8 Tahun 2016) adalah istilah yang diterima secara nasional, tetapi istilah tersebut sangat bias, diskriminatif, dan menimbulkan stigma, karena menggunakan pendekatan medis, yang menganggap disabilitas adalah penyakit.
Sebutan lain yang melekat dengan disabilitas selain penyandang cacat adalah kelompok berkebutuhan khusus dan penyandang ketunaan. Istilah ketunaan berasal dari kata dasar tuna yang berarti luka, rusak, tanpa atau tidak memiliki. Istilah tuna kemudian dilekatkan dengan ragam disabilitas, misalnya tuna rungu, tuna daksa, tuna netra, tunagrahita. Istilah tuna mirip dengan istilah cacat dan kecacatan, yang menimbulkan pandangan yang menimbulkan stigma, bahwa mereka yang disebut disabilitas adalah orang-orang yang luka atau rusak.
Di sinilah jurnalisme yang inklusif berperan penting mendorong perubahan persepsi masyarakat terhadap berbagai stigma untuk teman difabel. Melalui pemberitaan yang inklusif, masyarakat diharapkan bisa mengubah persepsinya tentang keberadaan difabel yang dianggap kutukan, kecacatan maupun perlu dikasihani dan selalu membutuhkan bantuan.
Melalui pemberitaan yang benar, sesuai fakta, berkualitas, tervalidasi, serta berimbang dan penggunaan istilah-istilah tepat pada teman difabel, pembaca secara perlahan akan memahami dengan baik konsep atau persepsi difabel. Pada poin ini, peserta Bengkel Komunikasi diharapkan memiliki dorongan untuk mengenal dan memahami difabel sebelum menulis tentang teman difabel sehingga tulisan yang dihasilkan dapat berperspektif inklusif. Tanpa memahami dengan baik dan benar, bisa menimbulkan multi interpretasi dan pesan yang ingin disampaikan penulis gagal dipahami pembaca. Pelatihan diawali dengan memberikan pemahaman tentang dasar-dasar dan teknis menyusun tulisan berita, prinsip-prinsip inklusif dalam pemberitaan serta teknik penulisan berita yang ramah difabel.
“Berita yang baik harus terstruktur yaitu terdiri dari judul berita, waktu berita (dateline), dan teras berita (lead), hal ini bertujuan untuk memudahkan pembaca memahami pesan yang ingin disampaikan. Liputan berita pun harus mengandung unsur 5W+1H”. Ucap Ita Ibnu, staf Komunikasi Yayasan BaKTI dalam pelatihan Bengkel Komunikasi.
Menyampaikan Pesan dengan Foto
“A picture is worth a thousand words. Ungkapan itu sudah sering kita dengar. Ada pesan tersembunyi dibalik foto, dan masing-masing orang memiliki interpretasi yang berbeda tentang pesan atau makna dalam sebuah foto”. Ucap Ichsan Djunaid, mengawali presentasi tentang fotografi pada pelatihan Bengkel Komunikasi.
Foto adalah salah satu medium yang digunakan untuk memberitakan suatu peristiwa, sekaligus menjadi bagian penting dalam sebuah berita. Foto mampu membuat pembaca lebih memahami berita yang disajikan. Pada pelatihan ini, peserta diperkenalkan dengan beberapa fitur kamera yang tersedia di gawai cerdas. Produsen gawai saat ini telah menyediakan fitur canggih untuk menjawab kebutuhan konsumen menghasilkan foto yang bagus, bagaimana konsumen mengetahui dan mengoptimalkan fitur tersebut, inilah yang diperkenalkan kepada peserta Bengkel Komunikasi. Walaupun dari berbagai latar belakang pekerjaan, pendidikan dan usia peserta dibekali dengan kemampuan dasar fotografi.
Selain itu peserta dibekali dengan tips-tips dalam memotret gambar suatu kegiatan. Pertama yaitu hindari foto bersama yang terlihat kaku, hal ini bertujuan untuk membuat foto terlihat lebih hidup dan berbicara. Kemudian yang kedua, fotografer harus peka terhadap ornamen-ornamen pendukung di lingkungan tempat yang akan dipotret. Serta yang terakhir, harus kreatif dan melihat dari berbagai referensi.
“Foto yang baik tercipta bukan hanya dari kamera yang dipakai melainkan dari insting yang digunakan oleh fotografer, untuk mengasah insting tersebut kita harus terus berlatih memotret apapun dengan menggunakan seluruh panca indra kita” jelas Ichsan.
Ichsan mengingatkan peserta di akhir pelatihan, dalam memotret ada etika yang selalu dijunjung tinggi, ada pesan dan berita yang ingin disampaikan, ada batasan batasan yang tidak boleh dilanggar, dan ada momentum yang harus ditampilkan dalam sebuah foto.
Nah, untuk mendapatkan foto sedemikian itu tentunya diperlukan keahlian yang cukup, dengan terus berlatih mempraktikkan pengetahuan dan keterampilan yang telah diberikan selama Bengkel Komunikasi berlangsung, peserta dapat menghasilkan foto yang kuat.
Setelah pelatihan Bengkel Komunikasi, peserta mampu menulis berita dan foto yang berperspektif inklusif, menjadi jembatan penghubung yang kuat membangun persepsi masyarakat menuju pembangunan yang inklusif.