Meningkatkan kesejahteraan guru telah menjadi fokus prioritas upaya-upaya Pemerintah Indonesia untuk memperkuat sektor pendidikan dan mengurangi kemiskinan dan ketidaksetaraan. Pemerintah pusat dan daerah telah mengalokasikan 20 persen anggaran mereka untuk meningkatkan akses dan kualitas pendidikan.
Namun studi baru-baru ini menunjukkan bahwa peningkatan kesejahteraan guru tidak mengarah pada hasil belajar murid yang lebih baik, dan angka ketidakhadiran guru di daerah sangat tertinggal tetap tinggi.
Untuk meningkatkan kehadiran guru, program rintisan KIAT Guru (Kinerja dan Akuntabilitas Guru) memberdayakan komunitas untuk meminta pertanggungjawaban guru lewat Komite Pengguna Layanan (KPL).
Program ini merupakan kolaborasi antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), dan lima Pemerintah Kabupaten yang masuk kategori daerah tertinggal. Yayasan BaKTI mengelola implementasi program, dengan dukungan teknis dari World Bank dan pendanaan dari Pemerintah Australia dan USAID.
Proses Kerja KPL
Para guru diminta pertanggungjawabannya melalui kesepakatan yang disebut janji layanan antara KPL dan guru. Janji layanan ini memprioritaskan indikator-indikator layanan dari bawah untuk meningkatkan kondisi belajar siswa.
Di beberapa sekolah rintisan, KIAT Guru memberlakukan mekanisme pembayaran Tunjangan Khusus berdasarkan kinerja guru. Pembayaran berdasarkan kinerja ini didasarkan pada verifikasi KPL terhadap kehadiran guru, atau skor kinerja layanan guru yang dinilai oleh KPL.
KPL dipilih oleh guru dan anggota masyarakat. Komite ini terdiri dari sembilan anggota, yakni enam perwakilan orang tua dan tiga tokoh masyarakat. Untuk memastikan keseimbangan gender, setidaknya setengah dari anggota KPL harus perempuan.
Banyak anggota KPL yang hanya lulusan sekolah dasar, beberapa bahkan tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Hal ini membuat sebagian orang tua anggota KPL di Desa Kumpang Tengah (Kabupaten Landak di Provinsi Kalimantan Barat) tidak percaya diri saat ditugasi mengevaluasi guru dan menguji murid.
“Awalnya mereka mengatakan, ‘Bagaimana kita melakukannya? Saya tidak berpendidikan. SD saja tidak tamat. Saya hanya bisa membaca. Bagaimana mengetes murid dan mengevaluasi guru?’” ujar Bagas Suharjo, Fasilitator Masyarakat di Landak.
Temuan-temuan awal rintisan ini menunjuk-kan bahwa tingkat kesadaran yang baik, pengembangan kapasitas, instrumen pengawasan, dan dukungan peraturan dapat memberdayakan masyarakat untuk meminta pertanggungjawaban guru.
“Pemberdayaan masyarakat berdampak pada kualitas layanan guru dan hasil belajar murid,” ujar Marliyanti, Community Development Officer dariTNP2K. “Namun mekanisme ini memerlukan kapasitas cukup dari fasilitator masyarakat dan masyarakat sendiri, juga komitmen semua pemangku kepentingan dari tingkat desa sampai tingkat nasional untuk mendukung melalui regulasi dan sumber-sumber daya finansial,” tambah Marliyanti.
Respon Komunitas-Dampak Program Rintisan KIAT Guru
Masyarakat desa di Kabupaten Landak mengatakan rintisan itu membantu mereka menyadari rendahnya kualitas pendidikan di wilayah mereka. “Saya tidak paham bagaimana murid-murid Kelas V dan VI masih seperti Kelas I. Mereka tidak tahu abjad, tidak bisa membaca. Saya bersyukur atas aktivitas-aktivitas KIAT Guru. Saya kira kita harus bekerja sekeras mungkin karena tidak ada yang bisa melakukannya kecuali kita,” ujar Yohannes Amtas, ketua KPL di Desa Wana Bakti.
Martius, Kepala Desa Kumpang Tengah, mengatakan KIAT Guru membantu warga memahami bahwa dukungan masyarakat berperan penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan.“Masyarakatlah yang memilih KPL, bukan sekolah. Warga memilih sendiri perwakilan mereka untuk menilai kinerja guru,” ujarnya.
Orang tua juga semakin sadar peran mereka dalam memperbaiki kualitas pendidikan anak mereka. “Sebelumnya, orang tua di rumah tidak memberi perhatian pada bagaimana anak belajar di rumah. Orang tua tidak mau susah menyediakan perlengkapan belajar, seperti meja tulis atau kamar belajar.
Setelah KIAT Guru, semua orang tua sekarang memperhatikan proses belajar anak-anak mereka. Mereka menandatangani pekerjaan rumah yang dilakukan anak-anak mereka,” ujar Novi, anggota KPL di Desa Wana Bakti.
Sebuah penelitian dari UNICEF pada tahun 2012 menunjukkan bahwa kurangnya pengawasan di wilayah-wilayah ini menyebabkan tingkat ketidakhadiran guru yang lebih tinggi Studi mengenai ketidakhadiran guru oleh Analytical and Capacity Development Partnership (ACDP) pada tahun 2014 menemukan bahwa satu dari lima guru absen dari sekolah-sekolah di daerah terpencil, atau dua kali lipat tingkat nasional.