Pembangunan KTI Butuh Peta Jalan Restoratif
Penulis : A.M. Sallatu
  • Pembangunan infrastruktur jalan yang menghubungkan berbagai desa di daerah pelosok di KTI. Kajian tentang pembangunan infrastruktur ternyata tidak banyak memberikan limpahan bagi kehidupan ekonomi masyarakat di sekitarnya <br> Foto: Abdurrahman/KIAT Guru
    Pembangunan infrastruktur jalan yang menghubungkan berbagai desa di daerah pelosok di KTI. Kajian tentang pembangunan infrastruktur ternyata tidak banyak memberikan limpahan bagi kehidupan ekonomi masyarakat di sekitarnya
    Foto: Abdurrahman/KIAT Guru

Pemilihan Presiden 2019 sebentar lagi, setelah itu Keputusan Presiden tentang RPJMN akan ditetapkan. Pemihakan Presiden RI, 2019-2024, melalui Kepresnya itu nanti, betapapun, akan menjadi niscaya bagi kemajuan dan perkembangan pembangunan di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Peran Kepala Negara dan fungsi pemerintahan yang dipimpinnya diharapkan mewujudkan pembaruan baik dalam kebijakan maupun strategi pembangunan yang akan diimplementasikannya. Setuju atau tidak setuju, posisi relatif KTI nyaris tidak banyak berkembang sejak dari era Orde Baru sampai dengan era Orde Reformasi sekarang ini. Secara konsepsional pembangunan, apakah memang menutup celah ketimpangan yang demikian lebar selama ini antara KBI dan KTI adalah sesuatu yang utopis? Di masa lalu, dari tahapan Pelita ke Pelita dan dari tahapan RPJMN ke RPJMN yang sudah dalam bilangan beberapa dekade, nampaknya KTI sering kali mendapatkan harapan semu. Kinerja pembangunan nasional yang dihasilkan selama tahapan tersebut tetap meninggalkan KTI jauh tertinggal. Apakah memang menjadi takdir kawasan ini untuk selamanya tertinggal?

Atau memang KTI berikut sumberdaya manusia, sumberdaya alam, dan sumberdaya buatan yang dimiliki dan tersedia tidak mampu didorong dan digerakkan untuk memburu ketertinggalannya? Karena itu, harus dikembalikan lagi bahwa sejatinya ada persoalan mis-manajemen pembangunan di KTI. Artinya, bukan persoalan kebijakan dan strategi dalam pembangunan nasional. Kalau ada benarnya, maka mis-management ini juga sepatutnya diangkat ke permukaan permasalahan pembangunan nasional. Tetapi mungkin patut disadari bahwa wawasan pembangunan KTI seyogyanya tidak didasarkan pada perspektif ‘gelas setengah kosong’, melainkan sejatinya ‘gelas setengah penuh’. Maksudnya, sangat tidak cerdas dan tidak arif  bila hanya melihat sisi kurang (setengah kosong) kondisi obyektif yang ada di KTI, sehingga yang selalu dipikirkan adalah bagaimana mengisi yang kosong itu. Menemu-kenali kekosongan untuk upaya pengisiannya. Justru, akan lebih cerdas dan lebih arif untuk mencermati bagaimana memperpesar kapasitas air yang sudah setengah penuh itu. KTI sejatinya membutuhkan wawasan kebijakan dan strategi pembangunan nasional yang bersifat apresiatif.

Bagi KTI, kinerja pembangunan yang dibutuhkan adalah bukan dalam bentuk pengisian (baca: pemberian), apalagi belas kasihan, melainkan kinerja dari serangkaian fasilitasi yang mampu membentuk ‘panggung’ pembangunan di KTI. Sedemikian rupa sehingga segenap pelaku pembangunan di KTI sendiri mampu melantunkan lagu simfoni pembangunan sesuai dengan kapasitasnya secara bermartabat dan bermakna. Simfoni membutuhkan diregent dan itulah peran dan fungsi pembangunan nasional yang sangat dinantikan dari kehadirannya melalui RPJMN nantinya. Apakah perspektif seperti ini juga sebuah utopis? Atau, hanya indah kedengaran-nya dan hanya ilusi teoritikal?

Utopisnya pembangunan KTI ternyata, bila kerangka pikirnya didasarkan pada pemikiran arus utama (main stream) pembangunan, yang sejatinya berbasis pada apa yang disebut ‘warranted growth’. Mendorong dan me-rekomendasikan pilihan ‘leading sector’ untuk memacu perkembangan, kemudian diderivasi-kan pada kegiatan-kegiatan ekonomi unggulan. Disitulah titik berat arah investasi pembangunan ingin diletakkan. Kerangka pikir seperti ini, disadari atau tidak, membutuhkan dan menggunakan sejumlah asumsi yang kondisinya justru sangat tidak ideal di KTI. Secara umum, KTI memiliki ‘social setting’-nya sendiri, yang memang berbeda dengan KBI. Itu berarti, KTI membutuhkan apa yang dikenal sebagai ‘Local Social Development’, yang sejak diawalnya meletakkan manusia, dan bukannya kapital, sebagai tumpuan pembangunannya. Bahkan mungkin tidak membutuhkan investasi sebesar yang diperlukan pada pemikiran arus utama.

Suka atau tidak suka, terdapat kekeliruan dalam berperspektif pembangunan untuk KTI selama ini. Sialnya, karena wilayah-wilayah di KTI termaasuk penentu kebijakannya juga kebanyakan sudah terbius oleh pemikiran arus utama yang dicekokkan selama ini. Ukuran-ukuran kemajuan dan perkembangan yang ada di KBI ataupun yang berlaku secara universal dalam perspektif pemikiraan arus utama, yang disodorkan untuk digunakan di KTI. Padahal sejatinya, setidaknya sebagian besar wilayah dan juga manusia di KTI kurang membutuhkan perspektif pembangunan yang sophisticated. Skala dan tingkat kehidupan masyarakat luas di KTI masih dalam makna kesederhanaan, yang lebih alamiah saja. Mereka masih mampu bahagia dengan kesederhanaannya. Pada dasarnya KTI lebih membutuhkan apa yang disebut ‘natural growth’, bukan percepatan pertumbuhan berbasis target.

Hampir di seluruh pelosok KTI, sampai detik ini, kita bisa menjumpai ungkapan yang seragam maknanya. Petani, pekebun, nelayan dan peternak sama semua ungkapannya. Bahwa dari hasil kegiatan pokoknya itulah digunakan untuk membeli pakaian, menyekolahkan anak-anak mereka, melengkapi kebutuhan hidup lain yang diperlukannya. Dalam kehidupan mereka, kehidupan komunitas hadir dan tetap harmonis berkembang. Mengukuhkan modal sosial yang telah menjadi warisan nenek moyang mereka. Memang tabungan mereka, kalaupun ada kelebihan nilai moneter hasil kegiatan produktifnya, lebih banyak disimpan di bawah kasur untuk motif berjaga-jaga. Karena nyaris sama sekali tidak terpancing untuk memikirkan daya saing. Yang penting mereka meyakini realitas kemandirian dalam keseharian kehidupannya. Mereka tidak butuh atau  memimpikan keunggulan melalui persaingan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka lebih membutuhkan kehidupan yang harmonis dengan sesamanya dan dengan lingkungan kehidupannya. Apakah kehidupan seperti ini menjadi ciri ketertinggalan dan tidak modern?

saha kecil masyarakat di KTI. Jikapun ada kelebihan nilai moneter dari hasil kegiatan produktifnya, lebih banyak disimpan untuk motif berjaga-jaga, karena nyaris sama sekali tidak terpancing untuk memikirkan daya saing. Foto : Hariandi Hafid/Yayasan BaKTI
Usaha kecil masyarakat di KTI. Jikapun ada kelebihan nilai moneter dari hasil kegiatan produktifnya, lebih banyak disimpan untuk motif berjaga-jaga, karena nyaris sama sekali tidak terpancing untuk memikirkan daya saing.
Foto: Hariandi Hafid/Yayasan BaKTI


Ukuran mandiri mereka sangat sederhana, yaitu dengan self-assessment setelah terkait dan terhubung dengan manusia lainnya. Kemandirian bagi mereka adalah yang berbasis pada kesadaran diri, termasuk kesadaran bahwa mereka tidak bisa berdiri sendiri terlepas dari komunitasnya. Mungkin perlu terbuka untuk dikemukakan bahwa justru realitas kehidupan kemandirian seperti ini telah dirusak oleh perspektif pemikiran arus utama. Bahkan telah mendorong mereka untuk aktif mengeksploitasi lingkungan hidup disekitarnya, demi untuk memacu tingkat kehidupan ekonomi yang pesat. Agar mereka bisa menabung dan selanjutnya berinvestasi lebih lanjut dalam kegiatan ekonomi produktifnya. Mereka, melalui permikiran arus utama, terpacu dan dipacu mengekstensifkan kegiatan produktifnya. Tetapi lalu tampil bagaikan orang haus yang hanya meminum air asin. Dengan begitu dahaga kehidupan ekonominya terbentuk bagai tiada akhir. Hasil akhirnya, menyeruaklah manusia-manusia KTI yang telah keluar dari akar lingkungan kehidupan dasarnya.

Peta jalan pembangunan KTI benar-benar butuh yang restoratif. Bukan yang didasarkan pada ukuran dan indikator kemajuan yang bersifat modernitas sebagaimana pemikiran arus utama pembangunan yang digunakan selama ini. Mungkin sampai batas tertentu ada juga diperlukan, tetapi jangan dimutlakkan. Kajian tentang investasi besar-besaran di KTI yang telah digiatkan selama ini, lebih banyak menghasilkan kantong-kantong kemiskinan. Kajian tentang pembangunan infrastruktur ternyata tidak banyak memberikan limpahan bagi kehidupan ekonomi masyarakat di sekitarnya. Alokasi anggaran negara ke KTI terlalu banyak yang menguap dan salah sasaran. Bangunlah KTI untuk manusia dan wilayah KTI sendiri, bukan untuk dipasarkan  pada  perekonomian  global.

Keterkaitan sosial dalam kehidupan masyarakat kecil di pedesaan begitu kental. Mereka tidak bisa berdiri sendiri terlepas dari komunitasnya, realitas kehidupan kemandirian seperti ini telah dirusak oleh perspektif pemikiran arus utama.  Foto: Yusuf Ahmad/Yayasan BaKTI
Keterkaitan sosial dalam kehidupan masyarakat kecil di pedesaan begitu kental. Mereka tidak bisa berdiri sendiri terlepas dari komunitasnya, realitas kehidupan kemandirian seperti ini telah dirusak oleh perspektif pemikiran arus utama.
Foto: Yusuf Ahmad/Yayasan BaKTI


Tantangan pokok dan utama dalam pembangunan KTI saat ini dan ke depan adalah pembangunan pemerintahan pada setiap wilayah di kawasan ini. Inilah sejatinya yang patut menjadi lokomotif pembangunan KTI. Memang dibutuhkan gerbong panjang yang perlu dihela: pendidikan yang memanusiakan manusia-manusia KTI, kesehatan yang mampu membuat manusia-manusia KTI semakin produktif secara fisik, infrastruktur yang memfasilitasi kegiatan produktif masyarakat KTI, investasi yang mampu memperluas peluang dan kesempatan masyarakat KTI untuk tetap dalam kemandirian awalnya, teknologi yang mampu tetap mengakrabkan hubungan kemanusian masyarakat KTI.
RPJMN yang akan datang seyogyanya benar-benar mampu menjadi payung besar pembangunan bangsa, menciptakan panggung agar masyarakat KTI juga bisa turut memberi kontribusi sesuai dengan kapasitas lokalnya. RPJMN sepatutnya mampu menjadi kerangka  delegasi kewenangan bagi semua daerah, termasuk KTI, agar mampu mengembangkan kapasitas keotonomian yang memang sudah ada selama ini, bukan RPJMN  yang akan mencabut masyarakat KTI dari akar kehidupannya yang hakiki. Itulah makna peta jalan pembangunan restoratif yang dibutuhkan.

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.