Pencemaran perairan di Teluk Buli, Teluk Weda dan perairan Pulau Obi di Maluku Utara, dari aktivitas industri nikel berdampak buruk bagi nelayan. Hasil tangkapan ikan nelayan yang sebelumnya melimpah di perairan pesisir dan laut di wilayah itu kini terus menurun dan jarak makin jauh.
Di Halmahera Timur, misal, yang terkenal dengan nelayan bagan–alat tangkap ikan menggunakan jaring dan lampu– terus menerus berhadapan dengan pencemaran dari aktivitas penambangan. Industri nikel berulang kali mencemari perairan di Teluk Buli dan kawasan Moronopo, membuat nelayan berkurang termasuk hasil tangkapannya.
Nelayan-nelayan di Teluk Weda dan Pulau Obi turut menghadapi situasi serupa. Sejak pertambangan nikel dan kawasan industrinya masuk, nelayan-nelayan mulai kesulitan memperoleh ikan dalam jumlah banyak. Para nelayan yang biasa memancing di depan perkampungan, kini harus melaut lebih jauh untuk memperoleh ikan.
Sanusi, nelayan Desa Kawasi di Pulau Obi yang bertahun-tahun melaut dan menjaring ikan di pesisir pantai, mesti banting setir beralih jadi tukang bangunan. Dia tidak lagi melaut.
Pesisir pantai sudah dicemari limbah dan sungai besar seperti Sungai Toduku di belakang pemukiman sering jebol mengeluarkan lumpur pekat mencemari perairan.
“So susah skali [dapat ikan] disini. Tong pe jaring buang kalao [ke pesisir laut] bukan dapa ikan, tapi dapa lumpur. Jadi so berenti bajaring ikan, cuma bakarja bangunan,” kata Sanusi lewat telepon sambung beberapa waktu lalu.
Penampakan sungai di Kawasi yang tercemar ore nikel tahun lalu. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia
Nelayan-nelayan di Weda juga menghadapi situasi sama berkaitan dengan dampak keberadaan pertambangan dan kawasan industri nikel di sekitar perkampungan mereka.
Mardani Legayelol, warga Kampung Sagea, Weda Utara khawatir mengonsumsi ikan yang ditangkap di perairan Teluk Weda. Dia khawatir itu berbahaya bagi kesehatan. Terlebih, aktivitas tambang dan operasi pabrik nikel mencemari kawasan karst Bokimaruru dan Sungai Sagea, yang menjadi sumber kehidupan warga setempat–kini sering mengalirkan sedimen lumpur ke perairan.
Sebuah riset menunjukkan, terumbu karang dan hutan bakau hilang karena reklamasi di sekitar PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) untuk membangun bandara, area perkantoran, hingga fasilitasi pembangkit listrik tenaga uap. Risikonya, semakin menjauhkan nelayan dengan wilayah tangkap mereka disitu.
Padahal, sebelum IWIP, nelayan bisa mencari ikan di sekitar pinggir pantai hingga jarak satu km dari bibir pantai. Riset itu menyebut, aktivitas reklamasi, pembuangan limbah perusahaan, dan operasional lainnya dari IWIP dan berbagai tenannya menyebabkan populasi ikan di sekitar pantai jauh berkurang.
“Nelayan juga sering diusir kalau memancing di perairan sekitar daerah industri. Termasuk lalu lalang tongkang pengakut nikel di perairan Teluk Weda beberapa kali telah merusak tempat penanda ikan seperti rompong,” kata Mardani yang terlibat advokasi warga terdampak di Weda.
Gurita bisnis industri ekstraktif nikel Harita Group di Pulau Obi pun memaksa nelayan beradu nasib dengan pencemaran limbah. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat, limbah industri nikel perusahaan yang dibuang ke sungai dan mengalir ke laut menyebabkan pesisir dan laut diracuni polusi logam berat.
Kondisi ini, memaksa nelayan juga menghadapi situasi sulit ketika melaut. Jatam menyebutkan, nelayan di sekitar perairan Pulau Obi yang dekat dengan kawasan industri nikel Harita Group terpaksa melaut lebih jauh dan mengonsumsi ikan yang tercemar.
Warga di Pulau Obi mulai ketakutan mengonsumsi ikan yang ditangkap di perairan setempat. Mereka khawatir makan ikan yang diduga terkontaminasi logam beracun. Informasi bahwa biota seperti ikan yang sehari-hari mereka konsumsi tercemar mereka tahu dari berita-berita yang beredar.
Fikri Taslim, Kabid Pengawasan dan Pencegahan Dampak Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Malut mengatakan, untuk kewenangan pengawasan air laut beserta anggarannya ada di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. “Daerah hanya mengawasi air sungai,” katanya.
Situasi pelik yang dihadapi para nelayan di wilayah sekitar tambang dan kawasan industri nikel menghadapi pola yang sama. Para nelayan tidak berdaya menyaksikan perairan laut mereka tercemar aktivitas industri nikel.
Sebagian besar nelayan khawatir dampak jangka panjangnya. Hilangnya ruang hidup sebagai nelayan akan mengancam ekonomi perikanan bagi anak cucu mereka di masa depan.
Teluk Buli, tak jauh dari Gunung Wato-wato, yang akan jadi sasaran tambang nikel. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia
Pemerintah mengklaim industri nikel memberikan manfaat ekonomi yang signifikan. Presiden Joko Widodo, mengaitkan peningkatan ekspor nikel yang meningkat sebagai pencapaian ekonomi yang positif. Di Maluku Utara, pertumbuhan ekonomi pernah melejit 27% pada 2022 dan itu dikaitkan oleh Jokowi dengan proses hilirisasi nikel yang sedang berlangsung.
Tetapi, menurut studi CREA dan CELIOS berjudul Membantah Mitos Nilai Tambah, Menilik Ulang Industri Hilirisasi Nikel (2024) klaim pertumbuhan ekonomi itu tidak mempertimbangkan berbagai faktor, misal, dampaknya terhadap sektor pertanian dan perikanan, biaya kesehatan, dan aspek keberlanjutan.
Pertumbuhan ekspor nikel dari permintaan global memang meningkat tajam selama lima tahun terakhir. Pertumbuhan tahunannya sekitar 10% dari 2,44 juta ton pada 2019 menjadi 3,61 juta ton pada 2023. Masalahnya, industri ekstraktif justru tidak memiliki dampak positif dalam jangka panjang.
Di wilayah operasi industri pengelolaan seperti di Maluku Utara, misal, hanya menghasilkan produk domestik bruto (PDB) pada tahap konstruksi, kemudian disebut menurun setelah dampak lingkungan hidup dan kesehatan mulai memperlihatkan efek negatifnya terhadap output perekonomian.
Masih pada riset sama, dampak pertambangan terhadap sektor pertanian dan perikanan di Maluku Utara juga cenderung negatif, baik dalam hal nilai tambah ekonomi maupun pendapatan petani dan nelayan. Tidak hanya pertambahan nilai tak terjadi, tetapi industri nikel dapat menyebabkan kerugian.
Ki Bagus Hadikusuma, peneliti Tambang dan Energi Yayasan Auriga Nusantara mengatakan, pencemaran dan kerusakan ekosistem ini diduga berkaitan erat dengan aktivitas industri nikel di kawasan itu. Dari hasil riset di Maluku Utara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara, memperlihatkan terjadi pencemaran dan kerusakan ekosistem kawasan pesisir dan perairan di sekitar kawasan industri.
Situasi di Maluku Utara, pencemaran terjadi di tiga titik, di Teluk Buli, Teluk Weda, dan Pulau Obi yang merupakan sentra tambang dan industri pengolahan nikel.
Meski diikuti permintaan nikel global yang terus meningkat, tetapi masalahnya, di Indonesia, tidak ada regulasi kuat terkait standar, Environmental Social Governance (ESG) di Indonesia. Kondisi ini, ktanya, akan mendorong pencemaran perairan lebih masif.
“Pemerintah selama ini hanya memunculkan narasi terkait peningkatan investasi dan pertumbuhan ekonomi dari proyek hilirisasi nikel, seolah-olah mengabaikan permasalahan kerusakan dan pencemaran lingkungan, pelanggaran hak asasi manusia, hingga pemiskinan masyarakat akibat industri nikel,” kata Bagus.
Faisal Ratuela, Direktur Walhi Maluku Utara mengatakan, tingginya permintaan global terhadap nikel sangat berdampak besar terhadap lingkungan, terutama pesisir laut dan pulau-pulau kecil di Maluku Utara. Ketika permintaan tinggi, eksplorasi dan eksploitasi nikel juga menjadi makin tinggi.
Dalam konteks Maluku Utara, kata Faisal, walau ada atau tidaknya smelter nikel untuk proyek hilirisasi, hal itu tidak menurunkan dampak pencemaran. Sebagai contoh, penambangan nikel di Halmahera Timur yang nikel dikirim ke kawasan industri di Sulawesi saja, pencemaran kandungan logam beratnya juga tinggi.
“Penambangan saja sudah berdampak, ketika industri pengolahan nikel muncul, bertambah beban dan mempercepat kehancuran ekologi di pesisir laut dan pulau-pulau kecil di Maluku Utara.”
Faisal menerangkan, kasus pencemaran di Teluk Buli bisa jadi berbeda dengan pencemaran di Teluk Weda dan Pulau Obi yang memiliki smelter nikel. Selain pencemaran logam berat, masalah bertambah karena perusahaan menyediakan infrastruktur smelter, PLTU batubara, dan fasilitas lain yang banyak merusak ruang hidup dan sosio-kultur masyarakat setempat.
Makin parah, masyarakat yang hidup di wilayah-wilayah sekitar tambang, atas nama proyek strategis nasional, direlokasi dari ruang hidup mereka.
“Justru kami menduga besar upaya saat ini untuk merelokasi warga itu untuk menghindari atau menutupi proses kehancuran tata sistem ekologi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, yang telah tercemar,” kata Faisal.
Menurut Julfikar Sangaji, Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Foshal, penambangan nikel sampai pada proses pengolahan menjadi bahan baku, termasuk untuk baterai kendaraan listrik yang digadang-gadang sebagai proyek transisi energi, menyebabkan tinggi karbon, dan tinggi korban.
Dia menerangkan, proses penambangan bijih nikel di Maluku Utara berlangsung dengan membongkar daratan dan bukit-bukit, dan tanah dikeruk sedalam puluhan meter. Sungai dan kebun-kebun sebagai sumber produksi ekonomi warga pun ikut tergilas.
Penambangan juga menghancurkan wilayah-wilayah esensial yang merupakan zona penyangga bagi kampung-kampung di pesisir. “Setelah dihabisi daratnya, dicemari lautnya, warga lalu diteror dan dihajar bencana ekologi.”
Sumber: mongabay.co.id