Widi Sari, PUSKAPA; Harriz Jati, PUSKAPA; Meutia Aulia Rahmi, PUSKAPA, dan Santi Kusumaningrum, PUSKAPA
Tulisan ini merupakan bagian pertama dari serial empat artikel tentang pencatatan sipil dan pengelolaan data penduduk di Indonesia yang berjudul “Data yang Mencatat dan Melindungi Semua”.
Setelah enam tahun menikah, Bunga (bukan nama sebenarnya), 20 tahun, warga sebuah kabupaten di Sulawesi Selatan baru menyadari pentingnya memiliki buku nikah yang membuktikan perkawinannya diakui oleh negara.
Perkawinan Bunga tidak dicatatkan karena dia dinikahkan ketika masih berusia 14 tahun, yang dalam Undang-Undang Perkawinan Indonesia belum diperbolehkan untuk menikah. Oleh karena itu, Bunga dan suaminya harus menikah di bawah tangan dan tidak dicatat oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil.
Tanpa buku nikah, Bunga tidak memiliki Kartu Keluarga (KK), dan suaminya saat ini menghilang. Orang tua Bunga yang miskin juga tidak memiliki KK. Tanpa buku nikah dan KK, anak Bunga yang berusia 2 tahun Rara (bukan nama sebenarnya) belum juga memiliki akta kelahiran. Akibatnya, baik Bunga dan Rara belum bisa mengakses layanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diberikan gratis oleh pemerintah. Mereka juga tidak bisa mengakses bantuan sosial apapun selama pandemi karena belum tercatat.
Keluarga Bunga adalah satu dari empat rumah tangga dengan anak di bawah usia lima tahun di Indonesia yang harus menderita karena belum tercatat dan keberadaannya belum diakui secara hukum oleh pemerintah.
Bisa jadi masalahnya bertumpu pada rendahnya kesadaran masyarakat untuk memiliki dokumen kependudukan.
Namun penelitian kami dari Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA) menunjukkan adanya masalah yang lebih sistematis yang berkaitan dengan sistem administrasi kependudukan pemerintah yang tidak bisa dijangkau oleh orang miskin dan komunitas rentan, seperti orang dengan disabilitas.
Kesenjangan ekonomi
Analisis PUSKAPA terhadap data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2019 menyebutkan bahwa 14% anak usia di bawah 18 tahun yang belum memiliki akta kelahiran. Jumlah proporsinya naik hingga 25% untuk anak-anak berusia di bawah 5 tahun dan 45% untuk anak-anak di bawah 1 tahun (Gambar 1).
Gambar 1. Proporsi kepemilikan akta kelahiran (Analisis PUSKAPA terhadap SUSENAS 2019)
Temuan lainnya menunjukkan jumlah anak di bawah 18 tahun yang tidak memiliki akta kelahiran dari keluarga kaya hanya berkisar 5%, sedangkan untuk kelompok umur yang sama dari keluarga miskin, jumlahnya mencapainya 23%.
Angka tersebut menunjukkan bahwa kesenjangan ekonomi menjadi satu masalah dalam sistem pencatatan kependudukan pemerintah.
Tidak adanya biaya transportasi untuk mencapai kantor pencatatan sipil terdekat menjadi salah satu kendala yang dihadapi keluarga miskin. Penjelasan lebih lanjut mengenai hambatan akses ini akan kami jelaskan lebih lanjut dalam artikel kedua.
Selain itu, kami juga menemukan bahwa angka kepemilikan akta kelahiran berbeda antara wilayah kota dan desa.
Proporsi anak yang tidak memiliki akta kelahiran lebih tinggi di wilayah pedesaan (18%) dibandingkan perkotaan (10%).
Di data terakhir, sekitar 54% anak di Papua ditemukan tidak memiliki akta kelahiran, sementara proporsi anak di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta yang punya akta kelahiran mencapai 98%.
Gambar 2. Proporsi kepemilikan akta kelahiran berdasarkan provinsi (Analisis PUSKAPA terhadap SUSENAS 2019)
Penelitian PUSKAPA tahun 2016 menunjukkan beberapa penduduk Langkat, Sumatra Utara, harus menempuh perjalanan sampai tiga jam sekali jalan untuk mencapai kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil untuk mengurus akta kelahiran.
Meskipun pemerintah sudah berupaya untuk menyederhanakan dan mendekatkan layanan pencatatan sipil ke penduduk, pelaksanaannya tetap tidak mudah karena belum optimalnya kapasitas, infrastruktur, dan fasilitas pendukung. Misalnya, masih ditemukan masalah kurangnya blangko KTP elektronik dan ketiadaan komputer atau alat cetak di lokasi layanan kependudukan dan pencatatan sipil.
Tidak peka terhadap kelompok rentan
Tidak hanya penduduk miskin, penduduk rentan lainnya juga terancam tidak tercatat.
Studi PUSKAPA bersama kemitraan antara Indonesia dan Australia untuk program-program yang mendukung nilai-nilai keadilan (AIPJ) tahun 2014 mengungkapkan anak-anak dengan orang tua atau pengasuh tanpa disabilitas fisik memiliki kemungkinan 5 kali lebih besar memiliki akta kelahiran dibanding yang orangtua atau pengasuhnya punya disabilitas.
Lokasi pengurusan yang tidak ramah pada penyandang disabilitas serta proses pengurusan yang rumit menjadi hambatan bagi orang dengan disabilitas untuk mengurus dokumen kependudukan.
Pada tahun 2016, PUSKAPA bersama Kolaborasi Masyarakat dan Pelayanan untuk Kesejahteraan KOMPAK) melakukan studi serupa di wilayah berbeda juga menemukan bahwa kemungkinan kepemilikan akta kelahiran lebih besar seiring dengan semakin tingginya tingkat pendidikan terakhir pendaftar.
Mereka yang berpendidikan tinggi diasumsikan memiliki kesadaran yang yang lebih tinggi terhadap pentingnya dokumen kependudukan untuk memastikan anak mereka bersekolah.
Dampaknya pada hak warga
Saat ini, ada sekitar 17 layanan publik yang mengharuskan adanya dokumen identitas hukum sebelum penduduk bisa mengaksesnya. Selain sekolah, asuransi kesehatan, layanan peradilan, layanan perbankan, transportasi, air bersih, dan listrik juga mengharuskan pendaftar untuk menunjukkan dokumen-dokumen tersebut.
Studi kami tahun 2016 menunjukkan bagaimana ketiadaan satu dokumen mempengaruhi absennya dokumen identitas hukum yang lain, sama seperti yang dialami Bunga.
Tidak hanya dalam situasi biasa, pencatatan sipil juga menjadi acuan mutlak penerima bantuan saat dan paska-bencana.
Penyaluran bantuan tunai pemerintah untuk membantu korban gempa Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat dan Sigi, Sulawesi Tengah, beberapa waktu yang lalu terhambat karena tidak semua penduduk memiliki Nomor Induk Kependudukan yang diterbitkan bersamaan dengan KK dan Akta Kelahiran.
Pembenahan sistem administrasi kependudukan, termasuk di dalamnya pencatatan sipil dan pengelolaan data penduduk adalah pondasi penting dalam mendukung terlaksananya berbagai program pemerintah secara adil dan tepat.
Belum tercatatnya penduduk dalam sistem bisa membuat program mengalokasikan anggaran dan merencanakan layanan dengan kurang tepat. Ketiadaan dokumen identitas hukum bisa membuat penduduk sulit membuktikan siapa mereka dan apa yang berhak mereka dapatkan.
Sampai pemerintah menjamin pencatatan setiap penduduknya, Bunga dan penduduk rentan lainnya belum terlindungi hak-haknya secara menyeluruh.
Studi-studi dan program yang berkaitan dengan artikel ini terselenggara atas kerja sama PUSKAPA dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan dukungan Pemerintah Australia lewat program KOMPAK (Kolaborasi Masyarakat dan Pelayanan untuk Kesejahteraan). Sebelumnya, studi terkait juga didukung oleh AIPJ (Kemitraan Indonesia-Australia untuk Keadilan)
Widi Sari, Lead for Research, Monitoring and Evaluation, PUSKAPA; Harriz Jati, Knowledge Manager, PUSKAPA; Meutia Aulia Rahmi, Research and Advocacy Associate, PUSKAPA, dan Santi Kusumaningrum, Director, Center on Child Protection and Wellbeing (Pusat Kajian & Advokasi Perlindungan & Kualitas Hidup Anak), PUSKAPA
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.