Sejak 1990-an, diskursus mengenai pembangunan di Indonesia tidak lagi berkutat pada pertumbuhan ekonomi, konsumsi, dan pemerataan. Tetapi mulai bergeser pada isu pemberdayaan, akses, partisipasi, kesetaraan, keadilan, hak asasi, dan sebagainya. Isu pembangunan tidak lagi terbatas pada memberi makan penduduk dan mengurangi jumlah masyarakat miskin, tetapi juga mencakup pemenuhan hak asasi, membebaskan manusia, dan memanusiakan manusia.
Pergeseran diskursus terjadi karena pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan untuk mencapai kesejahteraan sosial, ternyata menimbulkan sejumlah permasalahan serius, seperti marjinalisasi dan kekerasan terhadap kelompok rentan dan minoritas, hilangnya pengetahuan dan budaya lokal, hilangnya sumber-sumber pangan lokal, kerusakan lingkungan, dan sebagainya.
Paradigma pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan dikritik karena memarjinalisasi dan mendiskriminasi kelompok-kelompok sosial di dalam masyarakat, bahkan dicap dan dianggap sebagai beban pembangunan. Perempuan, disabilitas, anak, suku minoritas, dan kelompok minoritas lainnya, merupakan kelompok yang mengalami kekerasan dan diskriminasi, bahkan atas nama pembangunan.
Sejak dari Istilah
Diskriminasi dan kekerasan terhadap berbagai kelompok terjadi secara sistematis dilakukan oleh negara dan masyarakat, baik melalui instrumen kebijakan maupun melalui aparatur negara. Kekerasan dilanggengkan di dalam istilah dan percakapan yang kemudian diterima sebagai sesuatu yang dianggap benar dan pantas.
Istilah-istilah yang dilekatkan kepada perempuan menempatkan perempuan sebagai objek dan subordinatif, sekalipun perempuan sebagai seorang pekerja produktif. Istilah pembantu dan ibu rumah tangga mengaburkan peran perempuan di dalam ekonomi produktif, sehingga diupah lebih rendah dari pekerja laki-laki. Perempuan petani, nelayan, peternak dan sejumlah pekerjaan lainnya tidak diakui karena perempuan dianggap hanya membantu pekerjaan suaminya.
Di sisi lain, kekerasan terhadap perempuan terus berlangsung, bahkan dilegitimasi oleh berbagai institusi sosial dan keagamaan, karena perempuan dianggap sebagai kelompok yang perlu diatur dan dikendalikan untuk kebaikan masyarakat. Istilah perempuan nakal, perempuan tidak baik, dan seterusnya sering digunakan sebagai pembenar untuk melakukan kekerasan terhadap perempuan.
Disabilitas atau penyandang disabilitas adalah kelompok yang selama ini mengalami diskriminasi dalam kehidupan sosial. Istilah yang sampai ini masih digunakan untuk menyebut disabilitas atau penyandang disabilitas adalah penyandang cacat atau orang cacat. Istilah ini tidak hanya menyebabkan orang-orang dengan disabilitas mengalami diskriminasi dan kekerasan, tetapi juga dianggap sebagai beban pembangunan.
Suku atau etnis minoritas yang bermukim di berbagai wilayah pedalaman dan kepulauan Indonesia disebut sebagai suku terasing. Mereka mengalami stigma sebagai suku yang hidup tidak berperadaban, sehingga tidak jarang mengalami kekerasan atas nama pembangunan dan kehidupan yang beradab.
Sementara itu para penganut kepercayaan dan agama nenek moyang yang telah hidup ribuan tahun sebelum kedatangan agama-agama besar dan mayoritas sering dicap sebagai kelompok penganut animisme, dinamisme, tidak bertuhan, dan sesat sehingga mengalami diskriminasi dan kekerasan atas nama Tuhan, agama, dan pembangunan. Kelompok minoritas yang lain seperti LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) juga mengalami diskriminasi dan kekerasan atas nama agama dan pembangunan.
Anak bukanlah kelompok minoritas, tetapi anak belum dewasa dan hidup bergantung pada orang-orang dewasa. Karenanya anak juga mengalami diskriminasi dan kekerasan atas nama agama, pendidikan, dan sebagainya. Istilah anak nakal, anak durhaka, dan anak kurang ajar adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak-anak yang sulit diatur dan dianggap sebagai bukan anak baik.
Komitmen Internasional
Pembangunan dianggap sebagai cara terbaik manusia untuk mendatangkan kesejahteraan hidup. Namun, pembangunan tidak selalu ramah terhadap semua kelompok sosial. Ketidakramahan pembangunan terhadap kelompok tertentu bahkan mendapat legitimasi dalam penafsiran agama, hukum, dan budaya yang dianggap lebih “tinggi”, lebih “bermoral” dan lebih “beradab”.
Para pemikir dan penganjur kehidupan yang lebih adil dan mengedepankan kemanusiaan telah menyerukan dan menggalang kekuatan untuk menghapus praktik-praktik pembangunan yang mengabaikan kemanusiaan. Lahirnya sejumlah komitmen dan perjanjian internasional diharapkan mengikat umat manusia untuk memperlakukan manusia sama dan setara dalam kehidupan, diharapkan menjadi panduan dalam pembangunan.
Melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejumlah instrumen dasar dan universal dilahirkan untuk menjadi panduan dan kerja sama. Sejumlah instrumen penting di antaranya Dekalarasi Universal Hak Asasi Manusia (The Universal Declaration on Human Rights), Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights-ICCPR) 1966, Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Sosial, and Cultural Rights-ICESCR) 1966, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women, CEDAW) 1979, Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child, CRC) 1989, dan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Persons with Disabilities, CRPD) 2006.
Instrumen-instrumen tersebut adalah kesepakatan internasional yang mengikat secara hukum dan politik bagi negara-negara yang ikut serta, untuk membangun dan memenuhi hak-hak semua kelompok sosial tanpa diskriminasi.
Sebagai bagian dari masyarakat internasional, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi kovenan dan konvensi yang ada. Sejumlah undang-undang juga dibuat untuk mengupayakan pemenuhan hak-hak asasi manusia tanpa diskriminasi berdasarkan apa pun. Sejumlah instrumen nasional yang cukup maju di antaranya Undang-Undang Hak Asasi Manusia (UU No. 39/1999), Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU No. 23/2004), Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 23/2002, diubah dengan UU No. 35/2014, diubah lagi dengan UU No 17/2016), dan Undang-Undang Penyandang Disabilitas (UU No. 8/2016).
Masyarakat Inklusif
Berbagai instrumen yang ada dianggap cukup memadai untuk menggerakkan berbagai pihak dalam mendorong pembangunan yang melibatkan semua pihak sebagai subjek, tanpa diskriminasi. Komitmen global dan kerja sama internasional diharapkan menjadi kekuatan sekaligus tekanan moral untuk para pihak yang berada pada pusaran penentu kebijakan, sehingga dapat mengubah dan mengarahkan kebijakan lebih inklusif.
Tahun 2015 anggota PBB mencanangkan kesepakatan baru yang disebut Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals, SDGs) dalam dokumen Transforming Our World: The 2030 Agenda for Sustainable Development. Meski tidak mengikat secara hukum, kesepakatan tersebut akan mengikat secara sosial dan konvensional. Warga negara akan menagih, media massa akan melaporkan, dan PBB setiap tahun akan meminta laporan pertanggungjawaban setiap negara yang menandatanganinya (accountability) (Bahagijo, 2016).
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) dianggap sebagai kesepakatan global yang lebih inklusif karena memerlukan fokus untuk merangkul mereka yang terpinggir dan terjauh. Pada Tujuan 16 sangat jelas hendak mengawinkan keadilan substansi (substantive justice) dan keadilan prosedural (procedural justice). Pada aspek itu pula penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia dan martabat manusia menjadi sebuah kewajiban dan keharusan. Pemerintah wajib memperlakukan setiap warga negara apapun latar belakangnya dengan equal concern dan equal respect (Bahagijo, 2016). TPB mendorong pelibatan, partisipasi, dan akses yang sama untuk semua warga negara. Tidak ada satupun yang ditinggalkan (no one left behind) dalam pembangunan.
Pembangunan inklusif adalah pembangunan yang melibatkan semua warga tanpa diskriminasi berdasarkan apa pun. Ruang harus dibuka dan menyertakan semua pihak untuk ikut mewujudkan kesejahteraannya, berdasarkan semua peluang dan instrumen yang ada di dalam masyarakat dan negara. Sementara negara sebagai pemegang obligasi (state obligation) dan mempunyai perangkat dan aparat harus menjaga dan memastikan agar kelompok-kelompok rentan dan minoritas mempunyai akses tanpa diskriminasi.
Program INKLUSI (Kemitraan Australia Indonesia Menuju Masyarakat Inklusif), sebuah program pembangunan yang menekankan pada pemberdayaan, kesetaraan, kesamaan, dan akses diharapkan dapat berkontribusi pada pembangunan yang inklusif untuk menuju masyarakat yang inklusif.
Yayasan BaKTI sebagai salah satu mitra Program INKLUSI bekerja di Kabupaten Maros, Kota Parepare, Kabupaten Tana Toraja (Sulawesi Selatan), Kota Kendari (Sulawesi Tenggara), Kota Ambon (Maluku), Kabupaten Lombok Timur (Nusa Tenggara Barat), dan Kabupaten Kupang (Nusa Tenggara Timur). Di wilayah-wilayah tersebut, Program INKLUSI-BaKTI diharapkan dapat mendorong kebijakan dan perencanaan, serta pemberdayaan masyarakat yang inklusif.
Perempuan, anak, disabilitas, dan kelompok minoritas lainnya adalah kelompok-kelompok yang harus dirangkul dan menjadi subyek dalam pembangunan. Pembangunan yang inklusif dan masyarakat yang inklusif adalah menempatkan semua manusia sebagai manusia, yang Romo YB. Manguwijaya selalu menyebut pembangunan adalah memanusiakan manusia, sedangkan Soetjamoko menyebut pembangunan adalah pembebasan manusia.[]