Istilah last mile atau kelompok terakhir pada mulanya dipakai di bidang telekomunikasi. Pada perkembangannya, istilah last mile mulai digunakan pada manajemen rantai suplai. Proses pengangkutan barang melalui jaringan kereta barang maupun kapal kontainer seringkali merupakan cara pengiriman yang paling efisien dan hemat biaya. Namun, ketika barang tiba di stasiun barang atau pelabuhan berkapasitas tinggi, barang tersebut kemudian harus diangkut lagi ke tujuan akhir. Bagian terakhir dari rantai suplai inilah yang sering kurang efisien. Nilainya bisa mencapai 28 persen dari total biaya untuk memindahkan barang. Ini kemudian yang dikenal sebagai ‘masalah last mile’.
Dalam upaya Stop Buang Air Besar Sembarangan (BABS) di Indonesia khususnya di Sulawesi Selatan, masalah kelompok terakhir ditengarai menjadi batu sandungan dalam pencapaian Open Defecation Free (ODF). Adanya kelompok-kelompok warga dalam suatu wilayah yang sulit dijangkau (Gambar 1) dengan pendapatan dan pendidikan yang cukup rendah, serta kondisi rumah yang kurang layak (Gambar 2 dan 3), menjadi pemicu warga tidak memiliki jamban, sehingga menjadikan wilayah tersebut lambat mencapai ODF. Berdasarkan data website STBM pada 30 November 2020 masih terdapat 11 dari 24 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan yang belum mencapai ODF. Kabupaten tersebut yaitu Pangkep, Maros, Jeneponto, Tona Toraja, Luwu Timur, Toraja Utara, Luwu Utara, Bone, Takalar, Bulukumba, dan Kota Makassar. Pada kabupaten yang belum ODF tersebut, pemerintah daerah masing-masing telah mengalokasikan anggaran secara berkelanjutan untuk percepatan akses jamban melalui kegiatan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM), pemicuan Community Led Total Sanitation (CLTS), dan sosialisasi program Lima Pilar STBM pada semua lapisan masyarakat.
Program Pencapaian Akses Jamban
STBM masih menjadi program unggulan untuk mencapai akses jamban di Indonesia. Pendekatan dan paradigma pembangunan sanitasi di Indonesia yang dipakai oleh STBM yaitu mengedepankan pemberdayaan masyarakat dan perubahan perilaku. STBM diadopsi dari hasil uji coba CLTS yang telah sukses dilakukan pada beberapa lokasi proyek sanitasi dan air bersih di negara berkembang. Prinsip kerjanya mendorong kesadaran masyarakat untuk mengubah perilaku BABS menjadi buang air besar di jamban yang memenuhi syarat kesehatan.
Selain STBM, program bantuan fisik dari dana desa menjadi program andalan dalam pencapaian akses jamban. Program Dana Desa yang diluncurkan pemerintah pusat sejak tahun 2015 membawa dampak positif maupun negatif. Jika dana desa dimanfaatkan secara baik sebagai stimulus untuk mengembangkan potensi ekonomi masyarakat desa maupun bantuan sarana prasarana kesehatan, maka ini dapat berdampak positif. Namun jika dilakukan tidak secara partisipatif dan kreatif, maka program bantuan bisa berdampak negatif. Program bantuan dari pemerintah desa kepada beberapa warga juga dapat menimbulkan kecemburuan sosial di masyarakat manakala disalurkan secara tidak tepat sasaran.
Untuk mendukung program percepatan ODF pemerintah kabupaten telah melakukan penciptaan kondisi dengan mengeluarkan kebijakan terkait STBM. Namun pemerintah desa belum sepenuhnya menjadikan regulasi tersebut sebagai pedoman program pencapaian ODF. Kebijakan tersebut kelihatannya lebih banyak digunakan hanya sebagai syarat administrasi untuk mengikuti lomba kabupaten sehat mengingat dalam salah satu variabel penilaian terdapat aspek legalitas terkait ODF. Pemerintah desa melaksanakan program STBM bukan karena adanya Kebijakan Bupati (Perbup ataupun instruksi). Pemerintah desa memberikan bantuan fisik jamban sesuai kebijakan yang tertuang dalam Permendes No. 6 tahun 2015, sebagaimana telah diubah dalam Permendes No. 22 Tahun 2018, kemudian berubah lagi menjadi Permendes No. 11 Tahun 2019. Perubahan terakhir yaitu Permendes No. 6 tahun 2020 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2020.
Hambatan Capaian 100 Persen Akses Jamban
Edukasi PHBS termasuk Stop BABS oleh tenaga kesehatan dan upaya penciptaan kondisi melalui kebijakan pemerintah daerah telah dilakukan. Penciptaan kondisi dan pemberian edukasi baik bentuk pemicuan maupun bentuk door to door dalam berbagai kesempatan belum sepenuhnya dapat mengubah perilaku last mile dari BABS menjadi perilaku sehat.
Hasil kajian Unicef-BaKTI memetakan kelompok last mile dalam dua klasifikasi status ekonomi, yaitu upper-lower dan lower-lower. Kelas upper-lower merupakan warga dengan pendapatan satu hingga dua juta rupiah, sedangkan kelas lower-lower kurang dari satu juta rupiah per bulan. Kedua kelompok last mile tersebut masih mempraktekkan BABS disebabkan berbagai faktor.
Faktor penyebab BABS pada kelompok last mile dibedakan dalam tiga kelompok, yaitu: faktor predisposisi (predisposing factors), faktor penguat (reinforcing factors) dan faktor pemungkin (enabling factors).
Faktor predisposisi merupakan faktor penyebab lambatnya akses jamban dari internal kelompok last mile. Kelompok last mile belum menjadikan jamban sebagai skala prioritas (kebutuhan primer) baik bagi kelas upper-lower maupun lower-lower. Skala prioritas kelas lower-lower lebih mengutamakan kebutuhan pokok (primer) untuk menyambung hidup sehari-hari, seperti: makan, minum dan kebutuhan pokok lainnya. Sedangkan kelas upper-lower lebih mengutamakan kebutuhan sekunder dan tersier, seperti: kepemilikan kendaraan bermotor, renovasi rumah, kebutuhan pesta bahkan sampai pada perjalanan umrah.
Pengabaian kebutuhan jamban semakin kuat apabila warga last mile menempati lahan yang bukan milik sendiri. Sebagian last mile menempati rumah yang dibangun di atas lahan milik orang lain. Skala prioritas juga diperparah dengan adanya persepsi terhadap pembangunan jamban yang mahal.
Sementara itu, faktor penguat berasal dari eksternal kelompok last mile. Sinergi lintas sektor khususnya antara puskesmas dengan pemerintah desa dalam upaya pencapaian akses jamban belum optimal. Pemerintah desa cenderung mengharapkan kinerja lebih pada pihak puskesmas. Menurutnya hal itu menjadi tanggungjawab pihak puskesmas karena berkaitan dengan program kesehatan. Pada sisi lain, pihak puskesmas juga sangat berharap kepada pemerintah desa agar menggunakan kewenangannya dalam pencapaian ODF.
Adapun faktor pemungkin berupa faktor lingkungan, seperti akses air bersih yang rendah, akses jalan/transportasi yang sulit, luas lahan, dekat pesisir, dan keberadaan sungai. Namun kondisi ini bisa teratasi jika terjadi sinergitas yang baik antara pihak puskesmas dengan pihak pemerintah desa.
Praktik baik dari sinergi pihak terkait dalam menjangkau kelompok last mile BABS dapat dilihat di Dusun Belaka Desa Gentung Kabupaten Pangkep. Wilayah tersebut sulit mengakses air bersih dan kondisi jalan hanya pematang empang, namun dusun tersebut bisa ODF. Tercapainya ODF Dusun Belaka Desa Gentung disebabkan adanya program bantuan bak air tahun 2017 dan bantuan jamban tahun 2018. Terlaksananya program ini atas kerjasama antara pihak Puskesmas Labakkang dengan Pemerintah Desa Gentung.
Untuk percepatan ODF, maka disarankan kepada pihak pemerintah desa/kelurahan agar program bantuan pembangunan sarana sanitasi dan air bersih difokuskan kepada kelas lower-lower yang pendataannya dikoordinasikan dengan pihak puskesmas. Pemberian bantuan sarana sanitasi kepada kelas lower-lower perlu dilanjutkan dengan bantuan padat karya yang lebih produktif. Bantuan padat karya disesuaikan dengan teknologi dan potensi sumber daya lokal, untuk menambah pendapatan kelas lower-lower guna keberlanjutan penggunaan sarana sanitasi yang sudah dibangun.
Pihak puskesmas diharapkan agar mengoptimalkan pemberian edukasi mengenai PHBS (Stop BABS), baik melalui pemicuan maupun secara door to door kepada warga utamanya kelas upper-lower dengan bekerjasama pihak pemerintah desa. Dibutuhkan sinergi antara camat, kepala desa/lurah, Babinsa, sanitarian, petugas Promkes, petugas PIS-PK, fasilitator STBM, BPMD, dan OPD terkait dalam setiap kegiatan yang berkaitan dengan program pencapaian akses jamban.