Sebelum bergabung dengan Bank Dunia, saya bekerja sebagai perancang kota dan sering memberi saran agar rencana pembangunan lebih mudah diakses bagi penyandang disabilitas. Sayangnya, banyak pengembang cenderung mengesampingkan kebutuhan mereka karena mengeluarkan biaya tambahan untuk melakukan penambahan desain yang buruk, atau yang lebih parah, membatasi akses untuk orang-orang tertentu.
Kelalaian seperti ini membuat kota menjadi tidak ramah bagi semua lapisan masyarakat termasuk penyandang disabilitas. Bencana dapat memperparah tantangan ini, seperti jalur atau informasi evakuasi yang tidak dapat diakses, tempat penampungan yang tidak sesuai ‑rancangan, hilangnya bantuan, dan terbatasnya kesempatan untuk membangun kembali mata pencaharian.
Sekitar 12% masyarakat Indonesia merupakan penyandang disabilitas dan kemungkinan angka ini akan meningkat. Kebutuhan penduduk Indonesia yang bertambah tua, dengan kemungkinan 15% berusia lebih dari 65 tahun pada tahun 2035, tentunya akan meningkatkan risiko disabilitas. Bertambahnya kerentanan terhadap bencana dan perubahan iklim juga dapat menyebabkan luka dan cacat permanen.
Belakangan ini, banyak kota di Indonesia mengambil langkah yang signifikan dengan melakukan inklusi disabilitas untuk menjawab tantangan ini. Pada tahun 2017, 14 kota menandatangani Piagam Jaringan Walikota Indonesia menuju Kota Inklusif di Indonesia yang berkomitmen menghapus diskriminasi terhadap penyandang disabilitas. Kota Solo, Surabaya, dan Bandung bermaksud mengatasi masalah gender dan disabilitas dalam proses perencanaan dan penganggaran pembangunan lewat Musyawarah Perencanaan Pembangunan tahunan, mengikuti tren internasional yang mensosialisasikan perencanaan pembangunan inklusif, termasuk di negara-negara seperti Australia, Gambia dan Uganda.
Melihat adanya permintaan yang bertambah, dibutuhkan investasi yang lebih besar untuk membangun modal manusia, agar setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berhasil. Bank Dunia berkomitmen untuk memberi investasi lebih besar bagi inklusi disabilitas. Sebagai bagian dari membangun kembali dengan lebih baik pasca bencana , salah satu komitmennya adalah pada tahun 2020, semua fasilitas umum yang didanai Bank Dunia untuk‑proyek rekonstruksi pasca bencana akan ramah penyandang disabilitas – dan untuk Indonesia proyek ini akan didukung melalui hibah GFDRR.
Dengan semakin majunya Indonesia dan negara-negara lain dalam pembangunan inklusif penyandang disabilitas, ada banyak peluang untuk membangun secara lebih inklusif pasca bencana:
1. Manfaatkan data disabilitas yang terpilah untuk intervensi inklusif.
Data bisa membantu memandu rancangan pembangunan dan proyek pemulihan bencana. Saat ini, sedang dikumpulkan data terkait kebutuhan penyandang disabilitas dengan disabilitas yang berbeda pasca bencana di Sulawesi Tengah, dan pemerintah telah melibatkan organisasi penyandang disabilitas dan para penyandang disabilitas sejak awal. Hal ini dapat memberikan banyak manfaat kepada penduduk yang terkena bencana.
2. Mengadopsi pendekatan placemaking dengan prinsip rancangan universal
Menggunakan pendekatan placemaking, penata kota bekerjasama dengan masyarakat termasuk orang-orang baik penyandang disabilitas maupun yang tidak, dari segala gender maupun umur, ketika meracang ruang publik untuk mengakomodasi kebutuhan mereka dan memperkuat hubungan antara berbagai kelompok masyarakat. Kota-kota yang membangun kembali pasca bencana dapat memfasilitasi desain “charrettes” (lokakarya rancangan kolaboratif) bersama kelompok penyandang disabilitas dan kelompok lainnya untuk mensosialisasikan praktik rancangan universal yang inklusif.
3. Meningkatkan kepatuhan pembangunan dengan standar aksesibilitas
Meski Indonesia punya standar dan panduan teknis aksesibilitas, kepatuhan terhadap standar dan panduan teknis masih jadi tantangan. Audit aksesibilitas dan penilaian oleh para penyandang disabilitas dapat disederhanakan dalam proses penerbitan izin bangunan untuk mengidentifikasi solusi desain praktis. Program retrofit seismik, seperti yang didukung oleh Proyek Mitigasi Risiko Seismik dan Proyek Kesiapsiagaan Darurat Istanbul Bank Dunia, menangani standar mitigasi risiko gempa lain termasuk akses untuk keselamatan dan penyandang disabilitas.
4. Mengembangkan sistem kesiapsiagaan masyarakat inklusif.
Sistem peringatan dini dan ramalan cuaca, serta penandaan jalur evakuasi untuk jalan aman dan tempat pengungsian harus memberikan informasi penting dengan format yang berbeda. Ruang darurat dan tempat pengungsian dalam Proyek Rekonstruksi Gempa Bumi dan Pengurangan Risiko Lushan di Tiongkok sedang dirancang untuk mengakomodasi semua orang baik penyandang disabilitas maupun yang tidak. Selain itu, rencana evakuasi di tingkat masyarakat harus mendukung akses cepat untuk alat bantu, misalnya tongkat berjalan atau alat bantu dengar.
5. Mensosialisasikan praktik inklusif disabilitas kepada petugas dan penyedia layanan tanggap darurat.
Beberapa institusi manajemen bencana lokal di Indonesia telah mendirikan unit layanan inklusif disabilitas. Institusi lainnya bisa belajar dari pendekatan ini. Pengembangan kapasitas yang ditujukan bagi petugas tanggap darurat dan penyedia layanan kemanusiaan bisa membantu mengatasi kebutuhan spesifik para penyandang disabilitas dan keluarga mereka selama masa tanggap darurat dan evakuasi.
6. Mengembangkan kerangka perlindungan sosial yang inklusif
Indonesia memberi beberapa program pendampingan sosial untuk keluarga miskin dan rentan. Dengan meningkatnya bencana di Indonesia, maka perlu ada sistem perlindungan sosial yang adaptif untuk yang bisa merespon kejadian tiba-tiba yang dialami dan mengakomodasi kebutuhan penyandang disabilitas. Ini bisa mencakup program bantuan tunai yang tepat sasaran; peluang cash‑for‑work dalam program pemulihan untuk seluruh lapisan masyarakat termasuk penyandang disabilitas; dan kegiatan pembangunan kembali matapencaharian yang inklusif disabilitas.
Dengan merancang kota-kota yang mudah diakses dan sistem manajemen risiko bencana, seluruh lapisan masyarakat berkesempatan memiliki kemampuan untuk membangun ketahanan bencana dan berpartisipasi penuh dalam peluang ekonomi. Manfaat bagi masyarakat jauh lebih besar daripada biaya kecil yang dikeluarkan untuk mempertimbangkan desain yang dapat diakses di awal proses perencanaan pembangunan.