Menjadi salah satu peserta program Indonesian Young Leaders Programme (INSPIRASI) tahun 2019 di New Zealand adalah suatu kebanggaan tersendiri yang dirasakan oleh Zulkhaidir Purwanto yang akrab disapa Zul. Selama 6 bulan berada disana, banyak pengetahuan dan hal baru yang diperoleh dan tentunya memberi faedah baginya maupun organisasi dimana ia bergiat, WastEducation Makassar. Salah satunya yakni kesempatan kunjungan belajar ke Sustainability Center of Waiheke Resource Trust (WRT) yang berlokasi di Waiheke Island, New Zealand.
WRT sendiri adalah sebuah lembaga non-profit yang bekerja untuk memulihkan lingkungan, melindungi sumber daya alam dan membangun ketahanan dalam masyarakat untuk masa depan yang berkelanjutan. WRT mengerjakan berbagai proyek dengan tujuan untuk membangun komunitas yang tangguh dan berkelanjutan dan bekerja dengan individu, rumah tangga, bisnis, sekolah, dan kelompok masyarakat. Proyek tersebut diantaranya Compost Collective yakni mengurangi sampah ke TPA dan membangun tanah yang sehat dengan menawarkan pendidikan dan sarana pengomposan rumah gratis; dan The Compost Co., mengumpulkan sisa makanan dan kemasan dari bisnis lokal dan mengubahnya menjadi kompos bernutrisi untuk tanah dan produktif untuk lahan bercocok tanam.
Dalam kesempatan tersebut, Zul mengunjungi WRT sebanyak 2 kali, bersama grup peserta INSPIRASI dan kunjungan secara individu. Ketika kunjungan individu inilah muncul ide untuk mengembangkan sebuah proyek terapan mengenai pengelolaan sampah setelah kembali ke Indonesia. Disana ia bertemu seorang mentor, Kristin Busher dan banyak belajar tentang proses pengomposan (composting) bahkan ikut bekerja mengaduk dan mereduksi ukuran sampah bongkahan menjadi ukuran yang lebih kecil.
Proposal proyek terapannya lalu disiapkan dengan bantuan teknis para mentor di New Zealand. Ketika melakukan review literatur untuk proposalnya, Zul menemukan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Februari 2019 bahwa 60% sampah yang masuk ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Indonesia adalah sampah organik. Kondisi ini sangat berbeda bila dibandingkan dengan Selandia Baru dimana sebagian besar adalah sampah konstruksi. Inilah yang menjadi ide awal proyeknya yang berfokus pada pengelolaan sampah organik dengan sistem thermal composting/anaerobic composting. Anaerobic composting adalah suatu sistem pengomposan sampah organik yang disimpan dalam suatu wadah kedap udara. Cara bekerja anaerobic composting cukup sederhana dengan menguraikan sampah tanpa oksigen dimana bahan organik ditumpuk dan terurai secara alami. Proses ini tidak memerlukan jenis perawatan apapun. Proyek terapannya ini bertujuan untuk mengurangi jumlah sampah organik yang dibuang ke TPA dengan melatih masyarakat lokal dalam pengomposan organik dan mengembangkan dasar untuk usaha sosial pengomposan.
Rencana awal yang akan dibuat adalah community composting di salah satu Universitas di Makassar dan melibatkan mahasiswa Fakultas Pertanian sebagai relawan. Tetapi ide ini kemudian berganti dengan composting berbasis rumah tangga karena situasi pandemi COVID-19 sehingga perlu beradaptasi dengan kondisi yang sulit untuk mengumpulkan orang.
Untuk lebih memperkuat hasil tinjauan pustaka mengenai sampah organik dan mengetahui bagaimana pengolahan sampah yang dilakukan oleh setiap rumah tangga dan pendekatan apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut, Zul mengumpulkan pendapat masyarakat/ibu rumah tangga melalui proses co-design yang ia pelajari saat belajar di program INSPIRASI di Auckland, New Zealand. Proses co-design ini dimulai dengan mengidentifikasi 10 orang perempuan dari berbagai latar belakang seperti dosen, pegiat usaha katering, karyawan, dan ibu rumah tangga untuk diwawancarai sebagai responden. Wawancaranya sendiri dilakukan oleh seorang ibu rumah tangga yang menjadi relawan. Ada enam pertanyaan yang ditanyakan yakni diantaranya berapa banyak sampah yang dihasilkan dalam seminggu, apakah pernah melakukan pengomposan sebelumnya, bagaimana cara mengelola sampah organik tersebut, dan apakah mereka tertarik untuk mencoba pengomposan di rumah.
Ibu Nani, pegiat usaha catering makanan mengungkapkan “Saya menghasilkan minimal 5 ember atau satu ember 60 liter sampah organik dan 1 ember sampah anorganik dalam seminggu. saya ingin melakukan pengomposan tetapi tidak tahu bagaimana melakukannya. Biasanya sampah disimpan dalam ember tertutup rapat dan dibuang ke truk sampah setiap 2 hari”.
Adapun responden lain, seorang ibu rumah tangga mengatakan bahwa ia menghasilkan sampah 2-3 ember dalam seminggu. Ia tidak pernah melakukan pengomposan namun tertarik melakukannya tetapi tidak tahu caranya. Sebagian besar sampah adalah sisa sayuran, buah-buahan, dan daun kering yang tidak terpakai karena ia memiliki tanaman rambutan di halaman rumahnya. Selama ini sampah organik hanya ditaruh di tempat sampah dan diangkut oleh truk sampah. Ia menanam sayuran di rumahnya tetapi tidak menggunakan pupuk kompos.
Dari hasil wawancara menggunakan metode co-design ini, Zul dan tim menyimpulkan bahwa hampir semua responden tidak mengetahui bagaimana cara mengolah sampah organik sendiri sehingga ide pengomposan layak untuk dilakukan. Selain itu, ide ini cukup inovatif karena belum ada yang melakukannya di Makassar untuk skala rumah tangga.
Zul juga terinspirasi dari komposter milik keluarga tempat ia tinggal selama menjalani program di Auckland, dan akhirnya membuat Prototipe komposter yang mirip dan disesuaikan dengan alat yang tersedia di tempat tinggalnya. Komposter termal ini menggunakan drum bekas dengan kapasitas 160 liter. Berbekal pengetahuan yang diperoleh dari New Zealand dan bantuan dari youtube akhirnya komposter selesai dikerjakan pada akhir bulan Mei 2021.
Tanggal 27 Juli 2021 lalu, BaKTI melakukan kunjungan observasi untuk melihat prototype komposter tersebut dan sejauh mana proyek ini berjalan. Hasil observasi, komposter tersebut bekerja dengan baik dan sudah terisi penuh dengan sampah organik. Bahkan sudah menghasilkan pupuk cair. Sedangkan pupuk kompos padat baru akan dipanen pada akhir Agustus. Dibutuhkan kurang lebih 3 bulan untuk dapat menghasilkan pupuk kompos padat ini. Berbicara mengenai komposisi, sampah yang baik untuk komposter jenis ini idealnya berisi 70% sampah ‘hijau’ misalnya ampas kopi dan sayuran/kulit buah yang tidak terpakai, dan 30% berisi sampah ‘coklat’ seperti ampas gergaji dan daun kering yang mengandung karbon dan berguna mengurangi bau dari sampah organik sehingga kualitas kompos juga baik.
Dukungan dan partisipasi masyarakat
Selain membuat prototype komposter, Zul juga berharap akan partisipasi dan dukungan masyarakat terhadap kegiatan pengomposan ini khususnya dalam pengumpulan sampah organic. Setelah proses wawancara selesai, ada beberapa rumah tangga yang membantu proses pengumpulan sampah tersebut. Sayangnya volume sampah dari rumah tangga sangat kecil.
Untuk mengatasi masalah volume ini dan proses pengomposan bisa lebih cepat selain dari rumah tangga, Zul melakukan pendekatan ke enam pegiat usaha dalam kegiatan pengomposan ini sebagai mitra. Dua produsen furnitur untuk mendapatkan ampas gergajinya yang terbuang percuma karena mereka tidak mengetahui cara memanfaatkannya, dua Cafe untuk mengambil sisa ampas kopi, satu penjual pisang molen untuk mendapatkan kulit pisang dan satu penjual coto untuk sampah kulit jeruk nipis dan bungkus ketupat.
Cukup mudah baginya untuk mendekati dan mengumpulkan sampah tersebut karena ia menjadi salah satu pelanggan mereka. Menurutnya, akan terasa sulit bekerja sama dengan orang yang benar-benar baru karena mereka enggan menanggapi dan banyak bertanya. Selain itu, rasanya seperti menambah pekerjaan mereka dengan memilah sampah. Selama ini sampah-sampah sisa tersebut ditumpuk dalam satu ember atau kantong sampah dan
langsung dibuang ke truk sampah
Tantangan dan rencana ke depan
Memulai proyek ini tentu saja ada tantangan yang dihadapi. Salah satunya adalah pegiat usaha yang menjadi mitranya ogah-ogahan untuk memilah sampah organiknya. Untuk menyiasati hal ini, atas masukan dari BaKTI, Zul memberikan apresiasi kepada mereka berupa pupuk cair dari hasil proses pengomposan. Strategi ini cukup berhasil. Walau sederhana, Ibu pegiat usaha pisang molen yang menerima apresiasi kecil ini sangat senang dan bersemangat untuk mengumpulkan dan memilah sampah organiknya.
Tantangan lain adalah terbatasnya personil di lembaga Wasteducation sehingga berdampak pada pengumpulan sampah yang memakan waktu lama. Terpikirkan kembali olehnya untuk mendekati Universitas yang sama dan mengajak lagi mahasiswanya terlibat apabila kondisi sudah membaik dari Covid-19.
Bagaimana keberlanjutannya proyek ini? Zul berharap kegiatan composting ini bisa berlanjut menjadi sebuah usaha sosial, khususnya untuk pembuatan peralatan komposter skala rumah tangga. Dengan target pasar adalah sekolah, ia berencana untuk mendekati Dinas Pendidikan dan Dinas Lingkungan Hidup Kota Makassar untuk diajak bekerjasama. Selain itu, ia ingin menyasar hotel-hotel dan kafe-kafe besar di Makassar yang ingin mengelola sampah organiknya sendiri. Semoga apa yang sudah dikerjakan Zul untuk pengelolaan sampah organik berkelanjutan melalui pengomposan anaerob ini, sekecil apapun itu, sudah menyelamatkan lingkungan kita!