Glorifikasi wacana new normal atau kenormalan baru tengah dikritik habis-habisan lantaran relaksasi pembatasan sosial justru berbanding lurus dengan peningkatan kasus. Sejak dilontarkan pada tanggal 15 Mei lalu, skema simulasi kenormalan baru berangsur-angsur dilaksanakan sejak awal bulan Juni dan direncanakan berakhir pada akhir bulan Juli. Persis tanggal 5 Juni, Pemerintah DKI Jakarta pun menangkap pesan penerapan kenormalan baru melalui relaksasi pembatasan sosial yang ditelurkan dalam Peraturan Gubernur Nomor 51 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan PSBB Transisi. Selain itu, terdapat tiga provinsi lainnya, yakni Sumatera Barat, Jawa Barat dan Gorontalo, serta 25 kabupaten/kota yang menerapkan kebijakan ini.
Belum genap seminggu peraturan transisi, yang lebih tepatnya upaya pelonggaran tersebut diterapkan, angka kasus bergerak dinamis bahkan melonjak. Tanggal 9 dan 10 Juni lalu, misalnya. Angka penambahan kasus terkonfirmasi positif Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) harian mencapai 1,042 dan 1,241 kasus. Dari angka tersebut, 239 kasus yang bertambah pada tanggal 9 Juni lalu ialah angka yang berasal dari DKI Jakarta. Jelas saja, hal ini merupakan konsekuensi yang muncul ketika upaya memulihkan ekonomi berarti membuka kembali aktivitas industri, gedung-gedung perkantoran, pusat-pusat perbelanjaan, dan juga moda-moda mobilitas manusia.
Konsekuensi seperti ini pun mengejutkan banyak negara. Tengok Korea Selatan, China, Jerman maupun Italia. Selang beberapa hari ketika wacana kenormalan baru diterapkan di negara-negara tersebut, kenaikan kasus COVID-19 tak bisa dielakkan. Di Korea Selatan, angka kasus harian mencapai 56 kasus baru per tanggal 11 Juni dan puncaknya pernah mencapai 76 kasus per hari pada tanggal 27 Mei. Di Italia, angka kasus harian mencapai 379 kasus per tanggal 11 Juni ketika sehari sebelumnya 202 kasus. Di Jerman tak kalah sama, pada tanggal 11 Juni, angka kasus mencapai 555 kasus ketika sehari sebelumnya mencapai 308 kasus (Kompas, 12/6).
Lonjakan kasus yang berasal dari DKI Jakarta sebenarnya menjadi alarm peringatan. Maksud hati ingin berdamai dengan virus sekalipun menggunakan protokol kesehatan, banyak risiko yang harus dihadapi oleh masyarakat ketika kembali ke kantor maupun pada sektor informal dengan upah harian yang harus beraktivitas di luar rumah. Risiko kerentanan fisik tersebut juga didasarkan pada peta sebaran COVID-19 memasukkan usia 31-59 tahun sebagai kategori usia yang paling rentan terinfeksi oleh virus, serta berbagai kondisi penyerta yang menghinggapi pasien terkonfirmasi positif. Sebab, mereka pun tergolong masuk ke usia produktif yang menjadi salah satu motor pemulihan ekonomi itu sendiri.
Pernyataan Presiden Joko Widodo pada saat pembukaan daerah-daerah yang bersiap menerapkan adaptasi kebiasaan baru pada Rabu lalu (12/6) sebenarnya menjadi tantangan tersendiri. Beliau mengungkapkan bahwa ancaman gelombang kedua penyebaran virus wajib diantisipasi. Sayangnya, pernyataan ini justru banyak dikecam lantaran penanganan COVID-19 masih bolong di sana-sini, bahkan ketika wacana penerapan kenormalan baru terdengar semakin keras. Apalagi, relaksasi yang tengah berjalan masih belum sejalan dengan data faktual tentang kasus dan realitas kesiapan dan ketegasan dalam penerapan protokol kesehatan.
Pemerintah Indonesia juga geger dengan sebuah publikasi dari Deep Knowledge Group (2020), yang menempatkan Indonesia sebagai negara paling tidak aman ke-4 dari 100 negara yang dianalisis dari aspek keamanan dan keselamatan terhadap penyebaran virus dan stabilitas pemulihan jangka panjang. Indikator yang dilihat ialah efisiensi proses karantina, monitoring dan deteksi, kapasitas kesehatan dan efisiensi pada sisi pemerintah. Menanggapi hal tersebut, Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 kekeuh bahwa segala keputusan terkait dengan penanganan COVID-19 sudah berbasis konteks karakteristik daerah-daerah di Indonesia, termasuk penentuan zona-zona maupun penggunaan data. Namun, apakah cukup sampai di situ?
Dilema Mengharap Kenormalan Baru
Saat ini, dipastikan sebagian besar masyarakat kembali beraktivitas untuk mengais pendapatan mereka setelah kurang lebih tiga bulan menjalani pembatasan sosial skala besar. DKI Jakarta, tetap sebagai permisalan. Kantor-kantor beroperasi kembali dan ruang-ruang kerja dipenuhi lagi dengan “janji” anjuran untuk menerapkan protokol kesehatan di sana-sini. Di berbagai daerah, zona-zona hijau dan kuning pun dipublikasikan untuk menyiratkan bahwa semua tengah bersiap-siap untuk benar-benar berdamai dengan COVID-19 dan beraktivitas kembali.
Namun, kritik tetap tak bisa dinihilkan. Masalahnya, pertimbangan untuk memulai wacana ini masih berbenturan dengan berbagai prasyarat yang ditetapkan secara kesehatan. Pertama, tren kelandaian kasus di Indonesia belum dapat terlihat. Hal ini tentu sangat berbeda dengan negara-negara yang sudah memulai kenormalan baru seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Perhitungan tentang berbagai zona hijau dan kuning yang dilihat dengan adanya penurunan maupun nol kasus pun belum disertai dengan tes COVID-19 yang memadai. Perlu dicatat, per tanggal 12 Juni, angka rapid test di Indonesia masih berkisar 1,752 tes per 1 juta orang dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta penduduk saat ini.
Belum lagi soal kapasitas kesehatan maupun sistem kesehatan. Di Jakarta dan Surabaya, yang sebenarnya lebih siap secara kapasitas kesehatan, tetap kewalahan dalam segi penanganan. Dilansir dari Inge Dhamanti (2020) yang ditulis di The Conversation, lonjakan kasus mengakibatkan fasilitas kesehatan babak belur menyediakan sarana dan prasarana dan manajemen pelayanan kepada pasien. Lagi-lagi, perbedaan tingkat kesiapan rumah sakit, fasilitas kesehatan dan sumber daya kesehatan lainnya, serta pengetahuan tenaga kesehatan mengenai protokol COVID-19 yang berbeda-beda di setiap daerah juga menantang kesiapan untuk menanggung lebih banyak risiko munculnya kasus baru pada situasi kenormalan baru.
Pertimbangan signifikan lainnya adalah upaya minimalisir kasus dan pencegahan. Pertama, berbasis catatan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), upaya mengurangi risiko penyebaran dapat dilakukan di wilayah-wilayah padat penduduk, rumah lansia maupun fasilitas kesehatan mental. Dengan adanya relaksasi bertahap saat ini, upaya penanganan virus tentunya akan lebih sulit dilakukan karena risiko penyebaran telah terurai bersamaan dengan tingginya tingkat mobilitas manusia sekaligus rendahnya upaya pencegahan di wilayah-wilayah dengan kerentanan tinggi.
Kedua, upaya pencegahan di tempat kerja. Kebijakan PSBB transisi di DKI Jakarta dapat dilihat sebagai gambaran apakah protokol kesehatan yang terang benderang yang menyebutkan aturan kapasitas maksimal karyawan yang bekerja di kantor dan pergantian jam kerja, telah diterapkan oleh perusahaan maupun institusi terkait. Padahal, pengawasan ketat pada ketentuan ini juga dapat membantu untuk menekan kepadatan mobilitas manusia saat relaksasi diberlakukan.
Terakhir, menyoal kesadaran masyarakat untuk berkomitmen pada protokol kesehatan. Tantangan di sini, perbedaan konteks kelompok masyarakat tentu akan memengaruhi bagaimana penerimaan mereka terhadap anjuran mengenai protokol kesehatan. Di sisi lainnya, melihat konteks tersebut juga berarti melihat situasi ketimpangan risiko di masyarakat. Realitasnya, sebagian besar masyarakat harus pelan-pelan menghidupi diri dan pada saat yang sama, tetap harus berjaga diri atas kemungkinan risiko-risiko yang menghampiri. Hal ini sungguh membutuhkan upaya yang tak sedikit, apalagi ketika semua mau tak mau menanggung risiko untuk produktif kembali.
Penulis adalah Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research.
Artikel ini bersumber dari https://www.theindonesianinstitute.com/mengharap-kenormalan-baru-dan-kerentanan-di-masyarakat/