Perjuangan mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender makin terbuka, meluas, dan masif. Berdasarkan pengalaman Program MAMPU (Kemitraan Australia Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan) yang dilaksanakan BaKTI, ada 3 hal yang menjadi faktor pendorong dan penentu yaitu kebijakan, komitmen pelaku pembangunan, dan sinergi/kolaborasi stakeholders pembangunan.
Pertama, adanya kebijakan nasional dalam bentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, dan peraturan lainnya, baik di level nasional maupun daerah menjadi salah faktor pendorong. Kedua, kebijakan ini kemudian ditanggapi dan dikelola oleh para stakeholders pembangunan sebagai komitmen, peran, tanggung jawab, dan tugas pokok/fungsi untuk direalisasikan dan diimplementasikan secara riil. Ketiga, selain didorong oleh kebijakan dan komitmen, faktor penentu lainnya adalah kolaborasi strategis para stakeholders juga sangat menentukan untuk realisasi, implementasi dan kemanfaatannya bagi masyarakat termasuk kelompok rentan dan marjinal.
Prinsip Good Governance
Ketiga hal tersebut, saling terkait satu sama lain dan akan sangat efektif kemanfaatannya jika dilakukan secara strategis dengan prinsip pemerintahan yang baik. Menurut UNDP, prinsip good governance atau pemerintahan yang baik, yaitu:
- Partisipasi yaitu peran serta masyarakat dalam proses pembuatan keputusan juga kebebasan berkumpul dan berserikat.
- Aturan hukum yaitu hukum harus adil, tanpa perbedaan, ditegakkan dan dipatuhi, terutama tentang HAM (Hak Asasi Manusia).
- Transparan yaitu adanya kebebasan informasi dalam berbagai lembaga sehingga gampang diketahui oleh masyarakat.
- Daya tanggap yaitu proses yang dilakukan oleh setiap lembaga harus diarahkan ke upaya untuk melayani pihak yang membutuhkan.
- Berorientasi konsensus yaitu berperan sebagai penengah untuk mencapai usaha bersama.
- Berkeadilan yaitu memberi kesempatan yang sama kepada laki-laki maupun perempuan dalam usaha untuk meningkatkan kualitas hidup.
- Efektivitas dan efisiensi yaitu segala proses dan lembaga yang diarahkan untuk menghasilkan sesuatu benar-benar dibutuhkan dan sesuai dengan sumber daya yang dimiliki.
- Akuntabilitas yaitu pengambil keputusan harus bertanggung jawab kepada masyarakat umum sesuai dengan keputusan yang sudah disepakati.
- Bervisi strategis yaitu pemimpin dan masyarakat punya usaha yang luas dan berjangka panjang dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan manusia dengan cara memahami berbagai aspek yang ada dalam kehidupan rakyat.
- Saling terkait, yaitu adanya kebijakan yang saling memperkuat dan terkait dan tidak dapat berdiri sendiri.
Pengalaman BaKTI mendampingi APP/APL (Anggota Parlemen Perempuan/Laki-laki), DPPPA (Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), Bappeda (Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah), media dan LSM Lokal (YLP2EM) di Kota Parepare dan Kabupaten Maros sebagai stakeholders kunci dalam pembangunan menunjukkan hasil yang menggembirakan yang berujung pada terwujudkan pemenuhan hak-hak masyarakat khususnya perempuan, anak, dan kelompok rentan/marjinal.
Di Kota Parepare telah ditetapkan Peraturan Daerah (Perda) Kota Parepare No. 5 Tahun 2015 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Daerah dan Perda Kota Parepare No. 12 Tahun 2015 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak. Sedangkan di Kabupaten Maros telah ditetapkan Perda Kabupaten Maros No. 14 Tahun 2016 tentang Sistem Penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini, Perda No. 8 Tahun 2017 tentang Kabupaten Layak Anak di Kota Maros, dan Perda No. 1 Tahun 2018 tentang Pengarusutamaan Gender.
Sejumlah Perda yang telah ditetapkan di kedua daerah tersebut, diusulkan oleh pemerintah daerah khususnya DPPPA dan juga oleh DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah), oleh komisi terkait yang diinisiasi oleh APP/APL, yang telah memiliki komitmen/perspektif tentang isu gender, perempuan, anak, disabilitas, kemiskinan dan isu sosial lainnya.
Partisipasi masyarakat untuk dapat menyuarakan berbagai isu dan kepentingan, diorganisir oleh LSM yang telah melakukan kerja pendampingan dan pemberdayaan sehingga masyarakat khususnya perempuan, anak dan kelompok rentan/marginal dapat menyatakan eksistensinya. Kerja kolaborasi ini kemudian diwacanakan oleh media melalui pemberitaan positif, sebagai fungsi edukasi masyarakat dan untuk mengikat komitmen stakeholders pembangunan, agar kebijakan dapat ditetapkan, termasuk mengawal implementasi kebijakan tersebut.
Kerja kolaborasi dan strategi tersebut, dijabarkan lagi oleh DPPPA dan DPRD melalui program dan kegiatan yang dialokasikan melalui APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) kabupaten/kota. Di Parepare, perlindungan perempuan dan anak melalui pemenuhan hak dan akses terhadap layanan kesehatan kemudian menjadi lebih responsif. Salah satunya adalah layanan kesehatan melalui Call Center Pelayanan Kesehatan 112 (mobil ambulans 15 menit sampai di tempat tujuan), yang menjangkau pelayanan sampai ke rumah masyarakat. Dimana awalnya layanannya bersifat umum. Namun dengan adanya aspirasi masyarakat yang menyuarakan bahwa perlunya layanan bagi ibu hamil dan anak-anak, maka ketika ada permintaan layanan maka dokter kandungan juga disertakan dalam layanan tersebut. Begitu pula peralatan bantuan pernapasan, yang sebelumnya hanya berupa peralatan untuk orang dewasa, kini juga telah disediakan peralatan bantuan pernapasan bagi anak-anak.
Demikian pula di Maros, dimana aspirasi masyarakat yang menyuarakan kesulitan orang tua menyekolahkan anaknya ke sekolah dasar, yang mensyaratkan lulusan TK (Taman Kanak-Kanak). Maka APP/APL kemudian mengusulkan pengaturan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) Holistik Integratif (HI) di setiap desa, dimana pengadaan PAUD ini dapat mengatasi kesulitan masyarakat untuk menyekolahkan anaknya ke TK karena jauh maupun karena kesulitan biaya. Sehingga PAUD Holistik Integratif selain menyelesaikan masalah kesulitan akses pendidikan di TK juga menyelesaikan permasalahan kesehatan dan sosial lainnya, karena di PAUD HI, juga dilakukan pemeriksaan kesehatan, pemberian makanan tambahan, dan kegiatan lainnya untuk kepentingan anak balita dan ibunya.
He for She – They for All
Dalam pengalaman pendampingan BaKTI, pembuatan dan implementasi peraturan daerah tidak hanya ditentukan oleh komitmen dan posisi masing-masing pihak dalam kelembagaan. Namun kebijakan yang responsif gender dan pro poor dapat diwujudkan sampai dipastikan masyarakat dan kelompok marjinal/ rentan/miskin dapat merasakan manfaatnya jika disertai dengan program dan kegiatan yang yang anggarannya teralokasi di dalam APBD. Untuk sampai di situ, maka penyusunan program dan kegiatan di OPD (Organisasi Perangkat Daerah) tidak serta merta dapat mendukung hal tersebut jika tidak dibarengi dengan komitmen dan kapasitas anggota parlemen untuk memahami program dan kegiatan yang diusulkan oleh SKPD. Sehingga dalam proses pembahasan RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah) di legislatif, dapat diperjuangkan dan disetujui oleh DPRD.
Sedangkan usulan SKPD juga didasarkan pada keaktifan masyarakat khususnya perempuan dan kelompok marginal lainnya dalam proses perencanaan dari tingkat bawah melalui musyawarah tingkat dusun/desa maupun kelurahan. Pada sisi lain, APP/APL yang memiliki hubungan dan komunikasi yang baik dengan masyarakat sebagai konstituen tentu saja mengetahui dengan baik kebutuhan masyarakat untuk mengatasi permasalahan mendasar yang dihadapi di lapangan. Selain itu keaktifan masyarakat sebagai konstituen dalam menghadiri Reses anggota DPRD memegang peranan penting untuk menyuarakan kebutuhan berdasarkan permasalahannya.
Berbagai stakeholders pembangunan yang terlibat dan berperan dalam mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender bukan hanya dilakukan oleh perempuan, namun juga dilakukan oleh laki-laki dalam posisi dan kapasitasnya sebagai kepala dinas, anggota parlemen, jurnalis, pimpinan/staf LSM dan individu lainnya yang memiliki komitmen dan perspektif gender/inklusif. Sehingga kolaborasi ini bukan hanya perempuan untuk perempuan sebagaimana mandat utama keterwakilan perempuan (SHE For SHE) tapi juga dilakukan oleh laki-laki (HE For SHE) bahkan perempuan dan laki-laki (THEY For ALL).
Olehnya itu dibutuhkan komitmen, perspektif dan sinergi yang baik diantara stakeholders pembangunan untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender melalui kebijakan (peraturan dan anggaran) yang disusun secara partisipatif dan diimplementasikan secara transparan dan akuntabel. Dengan demikian, pemenuhan hak-hak masyarakat sipil dapat dipenuhi oleh negara sebagai pemegang mandat.