Studi Women’s World Banking (WWB) menemukan bahwa norma sosial yang membatasi perempuan merupakan salah satu hambatan bagi inklusi keuangan.
Bulan April menjadi pengingat bahwa kesetaraan bagi perempuan mencakup aspek yang luas. Akses dan kontrol terhadap sumber ekonomi dan keuangan adalah jalan pembuka bagi pemberdayaan dan kemandirian perempuan. Indonesia sendiri telah menetapkan Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI) yang kemudian ditajamkan lagi menjadi SNKI Perempuan untuk mengurai peta jalan menuju keuangan yang inklusif.
Namun, kendati inklusi keuangan terus mengalami peningkatan dengan rata-rata sebesar 3 poin persentase per tahun, perempuan masih tertinggal dibandingkan laki-laki dalam hal akses dan penggunaan layanan keuangan.
Sebagai gambaran, pada 2023, kepemilikan rekening di antara kalangan perempuan tercatat di angka 74,3 persen, sementara laki-laki 78,3 persen. Begitu pula dalam hal penggunaan layanan keuangan, proporsi kelompok perempuan lebih rendah ketimbang laki-laki, yakni 88,1 persen dibanding 89,3 persen.
Padahal, tingkat inklusi keuangan di Indonesia pada tahun 2023 tercatat sebesar 88,7 persen, merangkak naik dari tahun sebelumnya sebesar 85,1 persen. Capaian tersebut juga lebih tinggi sebesar 0,7 poin dari target yang ditetapkan pemerintah untuk tahun 2023, sebesar 88 persen.
Semakin tinggi tingkat inklusi keuangan, semakin besar lingkup akses setiap orang terhadap berbagai produk dan layanan keuangan formal.
Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2023, 6 dari 10 perempuan di Indonesia, atau 68,52 persen penduduk perempuan, berada di usia produktif (15 – 64 tahun). Oleh karenanya, perempuan bisa dikatakan punya peran penting dalam pembangunan ekonomi tanah air.
Deputi Bidang Ekonomi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Amalia Adininggar Widyasanti, menyatakan kalau perempuan juga biasanya berperan dalam mengendalikan belanja rumah, di mana konsumsi rumah tangga menyumbang 53 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. “Artinya, terdapat andil perempuan yang tidak sedikit dalam perekonomian Indonesia, terutama dalam mengatur konsumsi rumah tangga,” katanya.
Pertanyaan utamanya, apa faktor yang menghambat terciptanya inklusi keuangan yang setara? Apa yang sudah dan perlu dilakukan penyedia jasa layanan keuangan dan pemerintah ke depannya?
Norma Sosial dan Kemampuan Finansial Rendah Turut Andil
Gambaran tantangan inklusi keuangan bisa dilihat salah satunya di sektor ekonomi kreatif atau ekraf, di mana perempuan merupakan pekerja dominan di bidang tersebut, dibandingkan dengan sektor ekonomi nasional lainnya.
Women’s World Banking (WWB), dalam risetnya, bertajuk “Memberdayakan Perempuan Pekerja Ekonomi Kreatif: Wawasan Inklusi Keuangan” (2024), menemukan bahwa norma sosial yang membatasi perempuan dan kemampuan finansial yang rendah merupakan hambatan bagi inklusi keuangan.
Norma sosial yang dimaksud mencakup adanya sentimen di masyarakat bahwa perempuan tidak boleh bekerja, serta bahwa perempuan seharusnya mengurus rumah tangga dan memiliki anak, jika sudah menikah. Hal ini berpengaruh terhadap pembagian peran dalam pengelolaan keuangan rumah tangga dan akses terhadap layanan keuangan.
“Inklusi keuangan merupakan prediktor kuat bagi pemberdayaan ekonomi perempuan, khususnya jika digabungkan dengan pendapatan. Kombinasi inklusi keuangan dan pendapatan lebih kuat daripada pendapatan saja sebagai prediktor pemberdayaan ekonomi,” tulis laporan hasil survei dan wawancara tersebut.
Karena itulah, peningkatan pendapatan perempuan, beserta peningkatan akses mereka terhadap layanan keuangan, amat penting. Masalahnya, mayoritas perempuan di sektor ekraf, termasuk sektor desain, kriya, kuliner, musik, dan penerbitan, cenderung menjadi pekerja informal tanpa kontrak kerja dan skema perlindungan sosial yang jelas. Pekerja informal sendiri mencakup individu yang berusaha sendiri, buruh tidak tetap, pekerja bebas, atau pekerja keluarga atau tidak dibayar.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), dalam Statistik Tenaga Kerja Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, pada tahun 2021, sebanyak 68,07 persen perempuan, dibanding 49,77 persen laki-laki, di bidang ekraf, bekerja sebagai pekerja informal. Tak hanya di sektor ekraf, di semua sektor, proporsi perempuan yang bekerja sebagai pekerja informal pun lebih tinggi ketimbang pekerja formal.
Meski secara umum, persentase penduduk Indonesia yang bekerja pada kegiatan informal cenderung turun dari tahun ke tahun, sebenarnya penurunannya tak signifikan.
Selain persoalan status pekerjaan, dari segi pendapatan antara buruh laki-laki dan perempuan juga masih memperlihatkan kesenjangan. Menurut data BPS, kesenjangan upah berdasarkan jenis kelamin (gender wage gap) bahkan mengalami kenaikan, dari 20,39 persen pada periode 2021 menjadi 22,09 persen pada tahun 2022.
Rerata upah buruh laki-laki pada 2022 berada di kisaran 3,33 juta rupiah, sementara buruh perempuan hanya berkisar 2,59 juta rupiah. Riset WWB juga menyebut, perempuan di sektor ekraf cenderung menggunakan rekening atas nama pasangan atau anggota keluarganya. Menurut laporan WWB, hal ini bisa jadi salah satu alasan kenapa angka kepemilikan rekening perempuan ekraf cenderung rendah, yakni 53 persen, dibanding rata-rata kepemilikan rekening secara nasional sebesar 65,4 persen.
Selain itu, perempuan pekerja di bidang ekraf pun memiliki tantangan terkait literasi yang mempengaruhi perilaku keuangan mereka, seperti misalnya dalam menggunakan layanan keuangan digital. Sebanyak 86 persen dari 1.009 responden perempuan di bidang ekraf, dalam survei WWB, mengaku telah memiliki smartphone. Meski begitu, hanya 15 persen yang memanfaatkan ponselnya untuk mengelola keuangan, menerima dan melakukan pembayaran, serta melacak transaksi usaha.
Direktur untuk Kebijakan Asia Tenggara WWB, Vitasari Anggraeni, menilai, hal itu juga jadi pekerjaan rumah bagi penyedia layanan keuangan ketika membuat aplikasi keuangan atau aplikasi bank. “Apakah itu sudah cukup user friendly [ramah penggunaan] untuk perempuan, karena mungkin behaviour-nya berbeda dalam menggunakan HP antara laki-laki dan perempuan,” ujarnya.
Kepemilikan Ponsel Masih Didominasi Laki-Laki
Kendati WWB menemukan bahwa mayoritas perempuan di sektor ekraf telah memiliki ponsel, survei yang dilakukan oleh Global System for Mobile Communication Association (GSMA) menunjukkan kalau masih ada kesenjangan kepemilikan ponsel di antara perempuan dan laki-laki di Indonesia.
Pada 2023, kepemilikan ponsel di kalangan laki-laki dewasa di Indonesia menyentuh 88 persen, sedangkan perempuan dewasa di bawahnya, yakni 77 persen.
Jika dibandingkan dengan negara lain, Pakistan memiliki kesenjangan tertinggi, di mana hanya sekitar separuh perempuan, dibanding 86 persen laki-laki, telah memiliki ponsel. Survei GSMA tersebut dilakukan di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah.
Meski di Indonesia masih ada ketimpangan dalam hal kepemilikan ponsel, kesadaran akan transaksi finansial menggunakan ponsel (mobile money) tak terpaut jauh di antara laki-laki dan perempuan dewasa. Persentase perempuan yang punya kesadaran tersebut mencapai 48 persen, sementara laki-laki 52 persen.
Ketika perempuan punya rekening mobile money, kemungkinan mereka untuk memakainya dalam 30 hari terakhir hampir sama besar dengan laki-laki.
“Namun, di Kenya, Senegal, dan Indonesia, kesenjangan gender melebar di antara mereka yang telah menggunakan setidaknya tiga layanan mobile money dalam seminggu terakhir,” tulis temuan kunci dari studi GSMA.
Di lain sisi, perempuan juga memiliki tantangan lebih besar dalam hal adopsi layanan keuangan digital, baik dari sisi keterampilan, akses, serta aspek keamananan. Survei GSMA lebih lanjut mencatat lebih banyak perempuan Indonesia (45 persen) dibanding laki-laki (37 persen) yang tidak memahami cara menggunakan mobile money.
Penting, Ketersediaan Data Terpilah Gender
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah maupun penyedia jasa keuangan untuk meningkatkan inklusi keuangan perempuan di Indonesia.
Misalnya, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, atau BRI, telah melakukan inisiatif Mekaar (Membina Perekonomian Keluarga Sejahtera), yang didedikasikan untuk kelompok perempuan dengan pemberian pinjaman, tabungan, dan program pemberdayaan.
Pemerintah juga telah menargetkan 90 persen inklusi keuangan dan 80 persen kepemilikan rekening pada tahun 2024. Angka ini diharapkan naik satu persen setiap tahunnya. Perempuan, masyarakat perdesaan dan kaum muda adalah kelompok sasaran prioritas yang inklusinya perlu ditingkatkan.
Amalia dari Bappenas bilang kalau penyusunan kebijakan dan ekosistem keuangan inklusif, terutama bagi perempuan, membutuhkan dukungan ketersediaan data terpilah gender. Data itu dikatakan krusial untuk memberikan gambaran mengenai pasar perempuan, sekaligus mempermudah penyediaan layanan dan kebijakan yang mendorong inklusivitas keuangan.
“Perlu adanya kolaborasi antara sektor publik dan swasta dalam mengidentifikasi dan menyoroti bidang-bidang yang membutuhkan data terpilah gender, serta mengumpulkan data berbasis gender,” ujarnya.
Ketua Dewan Nasional Inklusif (DNKI), Ferry Irawan, pun menyampaikan hal senada. Menurutnya, peningkatan inklusi keuangan bagi perempuan bisa dicapai salah satunya dengan penguatan basis data berbasis gender. Selain itu, perlu didorong inovasi keuangan yang secara spesifik memenuhi kebutuhan produk atau layanan keuangan perempuan.
“Inklusi keuangan atau kondisi di mana layanan keuangan formal dapat diakses oleh seluruh masyarakat tanpa kecuali adalah prasyarat penting dalam mencapai pendalaman sektor keuangan yang mendukung sistem keuangan yang sehat dan stabil,” kata Ferry. Inklusi keuangan juga disebut Ferry bisa menunjang pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, mengoreksi ketimpangan, dan dalam jangka panjang mengurangi kemiskinan.
Vita selaku Direktur untuk Kebijakan Asia Tenggara WWB menambahkan, untuk mencapai inklusi keuangan setara, perlu ada affirmative actions atau program-program khusus yang dibuat untuk perempuan. “Upaya inklusi keuangan perempuan, tidak berhenti pada upaya affirmative actions atau program-program yang telah diimplementasi, yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana memastikan pengarusutamaan gender dalam kebijakan atau desain produk agar lebih inklusif,” jelasnya.
Sumber: tirto.id