Perempuan (di) Makassar melakukan sebuah survei terhadap 112 responden di kota Makassar tentang kekerasan terhadap perempuan pada November 2019 lalu. Hasil survei menemukan bahwa hanya 51,6 persen dari total responden yang mengetahui apa itu kekerasan berbasis gender dalam bentuk fisik, psikologis, dan seksual. Sebagian besar responden juga belum memahami apa saja penyebab kekerasan berbasis gender dan bagaimana menyikapinya.
Perempuan (di) Makassar adalah sebuah komunitas yang dibentuk oleh beberapa perempuan alumni program leadership YSEALI yang mendapat kesempatan belajar tentang pemberdayaan ekonomi, isu-isu perempuan, disabilitas, pendidikan, dan lingkungan di beberapa institusi dan kampus di Amerika Serikat.
Menyikapi hasil survei tersebut di atas, sebuah diskusi bertajuk Mengakhiri Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak diinisiasi oleh Perempuan (di) Makassar bekerja sama dengan Yayasan BaKTI. Diskusi yang diadakan pada 7 Desember 2019 diselenggarakan sebagai upaya memberi pemahaman tentang beragam bentuk kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dan anak serta langkah preventif untuk mencegahnya.
Tak kurang dari 50 peserta yang sebagian besar adalah perempuan memadati ruang pertemuan sore itu. Mereka yang hadir saat itu adalah ibu rumah tangga, mahasiswa, dosen, staf pemerintah, dan perwakilan dari beberapa lembaga lokal.
Diskusi diawali dengan pemaparan hasil survei dilanjutkan dengan diskusi kelompok yang membahas lebih mendalam tentang kategori kekerasan. Seluruh peserta tampak antusias membahas defenisi kekerasan serta contoh-contoh kekerasan yang dialami dan ditemui di sekitar mereka.
Dalam diskusi, tercermin sejauh mana pengetahuan peserta tentang kekerasan, jenis-jenis kekerasan, tindakan pencegahan dan pemulihan korban adalah hal yang perlu dipahami oleh semua orang. Semua peserta diskusi sependapat bahwa kekerasan dapat dilakukan oleh siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Dalam hal ini, perempuan dan anak menjadi kelompok yang paling rentan. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak utamanya kekerasan fisik dan seksual yang tidak jarang dilakukan oleh orang terdekat. Kasus-kasus seperti ini pada umumnya tidak dilaporkan atau diselesaikan dengan langkah damai.
Pertanyaan menarik yang muncul dalam diskusi adalah jika kebanyakan pelaku adalah orang terdekat, lantas di mana tempat yang aman bagi perempuan?
Ibu Lusi Palulungan, Program Manager MAMPU-BaKTI mengawali diskusi dengan pertanyaan tentang mengapa kekerasan terhadap perempuan paling banyak dibicarakan? Bukankah laki-laki juga mengalami kekerasan? Beliau mengungkapkan bahwa dalam kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, kekerasan dalam rumah tangga misalnya ada keengganan dan pertimbangan panjang oleh perempuan untuk melaporkan kekerasan yang dialami, apalagi jika pelaku kekerasan adalah suami yang menjadi pencari nafkah keluarga. Hal tersebut dapat diperparah dengan anggapan dan label negatif dari keluarga dan sekitar.
Tindakan pencegahan adalah langkah terbaik yang perlu di lakukan untuk mengakhiri kekerasan. Ketika kekerasan terjadi, ada banyak masalah yang kemudian muncul setelahnya. Kekerasan tidak seketika berakhir saat pelaku ditangkap dan dipenjara, akan tetapi ada proses pemulihan yang membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit untuk membantu korban kembali menjalani hidup dengan baik.
Perempuan korban kekerasan seksual misalnya, harus melewati beberapa fase pemulihan yang tidak mudah. Dimulai dari pemulihan fisik, trauma psikis,hingga tahap penerimaan terhadap diri sendiri dan lingkungan. Tidak ada korban yang dapat benar-benar sembuh. Prosesnya tidak semudah itu. Terkadang korban justru mengalami ketidakadilan seperti pengucilan di masyarakat dan pemberian label-label negatif.
Hal senada juga diungkapkan aktivis perempuan yang juga Presidium Nasional Koalisi Perempuan Indonesia, Ibu Husaema Husain. Beliau mengatakan bahwa negara wajib hadir melindungi perempuan dari tindak kekerasan. Tidak ada satu pun perempuan yang boleh menerima kekerasan. Seringkali kekerasan yang terjadi pada perempuan dan anak utamanya kekerasan dalam rumah tangga dianggap sebagai hal yang lumrah dan merupakan persoalan pribadi. Hal tersebut yang kerap kali membatasi korban untuk melaporkan kasus kekerasan yang dialami dan memilih mendiamkan kekerasan yang dialami.
Diskusi diakhiri dengan komitmen untuk bergerak bersama, tidak tinggal diam dan melaporkan kekerasan yang terjadi di sekitar. Ada beberapa organisasi yang menyediakan layanan pengaduan dan pendampingan untuk korban kekerasan serta fasilitas Shelter Warga yang dapat menjadi tempat penanganan dan perlindungan awal untuk persoalan kekerasan yang menimpa perempuan dan anak.
Selain itu, mengupayakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi perempuan dan anak sangat diperlukan. Memberikan dukungan dan tidak menyalahkan serta menyudutkan korban juga salah satu upaya yang dapat membantu korban keluar dari lingkaran kekerasan.
Hal yang tidak kalah penting adalah pembekalan pengetahuan sejak dini melalui pola pengasuhan di keluarga. Perlunya pemahaman awal tentang kekerasan akan berdampak terhadap pengurangan jumlah kasus kekerasan.
Dengan langkah bersama dan komitmen dalam upaya mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak, kita membantu perempuan dan anak mendapatkan hidup yang lebih baik.