Jaminan sosial ketenagakerjaan yang responsif gender penting untuk mengurangi risiko kemiskinan dan kerentanan. Langkah awal untuk mengembangkan kebijakan jaminan sosial ketenagakerjaan yang responsif gender melalui pengakuan terhadap kerja perawatan, baik yang di bayar atau tidak. Beban kerja perawatan yang tidak dibayar membatasi perempuan untuk berpartisipasi dalam pasar kerja, bekerja secara layak, dan mengakses jaminan sosial ketenagakerjaan.
---
Dalam konsep kerja perawatan, ILO (2018) mengelompokkan kerja perawatan menjadi dua tipe, yaitu perawatan langsung dan perawatan tidak langsung. Perawatan langsung dilakukan secara tatap muka dan bersifat pribadi, seperti memberi makan bayi, merawat pasangan yang sakit, mengurus lanjut usia (lansia), atau membantu anak belajar. Adapun perawatan tidak langsung mencakup kegiatan membersihkan rumah, memasak, atau mencuci pakaian. Kedua tipe kerja perawatan tersebut tidak dapat dipisahkan kendati keduanya kerap tumpang tindih.
Kerja perawatan ada yang berbayar (paid care work) dan yang tak berbayar (unpaid care work). Kerja perawatan tak berbayar umumnya terjadi di tingkat rumah tangga dan acap dikerjakan oleh perempuan. Norma gender pada masyarakat Indonesia “menuntut” perempuan mengutamakan unpaid care work di rumah tangga. Hal ini kemudian memengaruhi kesenjangan gender dalam tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK). Sementara itu, paid care work masih banyak yang berupah rendah dan tanpa jaminan sosial sama sekali, misalnya pekerja rumah tangga (PRT).
Kelompok pekerja tak berbayar memiliki posisi yang lemah dalam program jaminan sosial ketenagakerjaan. Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan peraturan turunannya, pekerja didefinisikan sebagai “setiap orang yang bekerja dengan menerima upah, gaji, atau imbalan dalam bentuk lain.” Sedangkan peserta progam jaminan sosial ketenagakerjaan adalah “setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran.”
Di Indonesia, kerja perawatan tak berbayar belum dikategorikan sebagai kegiatan produktif karena tidak mendatangkan pendapatan (upah/gaji/imbalan). Mengacu pada konsepsi tersebut, perempuan yang berhenti bekerja untuk melakukan kegiatan perawatan di rumah tangga menjadi tidak memenuhi syarat untuk menjadi peserta program jaminan sosial ketenagakerjaan. Data BPJS Ketenagakerjaan tahun 2020 menunjukkan rendahnya tingkat kepesertaan perempuan yang hanya mencapai 35 persen atau setara 7,8 juta peserta dari total peserta aktif program jaminan sosial ketenagakerjaan.
Ketimpangan beban perawatan antargender, kepala rumah tangga perempuan yang memiliki dependen usia lanjut dan penyandang disabilitas lebih besar dibanding laki-laki, terutama di perdesaan. Kepala rumah tangga perempuan dengan dependen usia lanjut (65 tahun ke atas) di perdesaan mencapai 4,5 persen dibanding kepala rumah tangga laki-laki yang sebesar 3,2 persen. Demikian pula kepala rumah tangga perempuan dengan dependen penyandang disabilitas di perdesaan sebesar 12,5 persen atau jauh lebih besar dibanding kepala rumah tangga laki-laki yang 9,8 persen. Beban kerja perawatan tidak dibayar tertinggi ada di antara perempuan yang memiliki anak usia kurang dari 5 tahun, sementara beban terendah terdapat di antara perempuan dengan tanggungan penyandang disabilitas.
Sementara itu, terkait program jaminan sosial ketenagakerjaan pekerja penyandang disabilitas, hanya 4,8 persen yang sudah dicakup oleh setidaknya program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian. Adapun kepesertaan perempuan memiliki proporsi yang lebih rendah dibanding laki-laki, yaitu 4,0 persen berbanding 5,4 persen. Terkait ketimpangan gender dan kerentanan di masa lanjut usia, persentase perempuan lansia yang bekerja lebih tinggi dibanding laki-laki. Hal ini mengindikasikan lebih rentannya lansia perempuan.
Penguatan Kebijakan Responsif Gender
Berdasarkan hasil analisis dan pemetaan kebutuhan jaminan sosial ketenagakerjaan yang responsif gender, dibutuhkan hal-hal sebagai berikut. Untuk TPAK perempuan yang lebih rendah dari laki-laki, diperlukan dukungan layanan penitipan anak, termasuk anak dengan disabilitas, baik bagi pekerja formal maupun informal; cuti melahirkan (ayah dan ibu) menjadi bagian sistem jaminan sosial ketenagakerjaan; memasukkan kerja perawatan tak berbayar ke dalam skema jaminan sosial.
Adapun mengenai perempuan yang terkonsentrasi pada pekerjaan informal, dibutuhkan rancangan program jaminan sosial ketenagakerjaan yang mengakomodir pekerjaan dan upah yang tidak tetap. Bisa juga dengan memperluas cakupan program jaminan sosial ketenagakerjaan bagi pekerja informal, termasuk pekerja yang terlibat dalam kerja perawatan tak berbayar.
Beban kerja perawatan yang tidak dibayar tinggi pada perempuan dengan balita, selain memerlukan dukungan layanan penitipan anak, juga perlu didorong lingkungan yang mendukung laki-laki untuk terlibat dalam kerja perawatan serta mengakui kerja perawatan tak berbayar sebagai kerja produktif.
Sementara untuk penyandang disabilitas dan lansia, baik perempuan dan laki-laki yang terkonsentrasi di sektor informal dan berupah rendah, bisa diatasi dengan mendorong lingkungan kerja yang ramah bagi pekerja penyandang disabilitas; memperluas cakupan Jaminan Hari Tua dan Jaminan Pensiun bagi pekerja informal; serta menambah cakupan usia peserta jaminan sosial ketenagakerjaan.
Untuk memenuhi beragam kebutuhan tersebut di atas, perlu didorong diskusi mengenai kebijakan dan jaminan sosial ketenagakerjaan (bagian dari perlindungan sosial) yang responsif gender dengan memperhitungkan kerja perawatan dan perbedaan kebutuhan antargender. Selain itu, perlu didorong pelaksanaan survei penggunaan waktu (time use survey) berkala di Indonesia untuk mengetahui besaran pekerjaan tidak dibayar dalam rumah tangga yang dilakukan oleh perempuan maupun laki-laki.
Sumber: https://www.tnp2k.go.id/articles/promoting-recognition-of-care-work-in-indonesia