Perbedaan Pandangan Mengenai Perilaku Bullying
Salah satu faktor penyebab sehingga perilaku bullying cenderung sulit untuk ditangani khususnya di tingkat satuan pendidikan adalah karena terdapat kecenderungan warga sekolah baik itu guru, siswa, kepala sekolah, ataupun tenaga kependidikan memiliki perbedaan pandangan mengenai apa itu bullying perilaku apa yang bisa dikategorikan sebagai perilaku bullying, dan apakah perilaku kekerasan sama dengan perilaku bullying. Perbedaan pandangan mengenai perilaku bullying akan menyebabkan ketidakkonsistenan dan ketidakadilan dalam menangani perilaku bullying di sekolah. Hal ini terjadi karena warga sekolah cenderung memiliki perbedaan persepsi mengenai perilaku bullying tersebut. Maka dari itu, sebelum berbicara mengenai metode atau strategi yang tepat untuk menangani perilaku bullying, semua warga sekolah termasuk orang tua harus memiliki pemahaman yang sama mengenai perilaku bullying.
Apa itu Perilaku Bullying?
Perilaku bullying atau perundungan dapat didefinisikan sebagai sebuah perilaku agresif yang dilakukan dengan sengaja oleh satu orang atau sekelompok orang yang lebih kuat atau berkuasa terhadap orang lain, dengan tujuan untuk menyakiti ataupun mempermalukan orang tersebut. Perilaku bullying tentunya berbeda dengan perilaku kekerasan, karena termasuk dalam kategori perilaku kekerasan, tapi tidak semua perilaku kekerasan termasuk perilaku bullying.
Terdapat tiga indikator yang digunakan untuk mengkategorikan perilaku ini termasuk perilaku bullying atau bukan. Pertama, perilaku tersebut termasuk perilaku agresif, dalam hal ini orang yang melakukan perilaku tersebut secara sengaja melakukan perilaku tersebut dengan niat menyakiti atau mempermalukan orang lain. Kedua, terdapat ketidakseimbangan kekuatan atau kekuasaan, dalam hal ini adalah orang yang melakukan perundungan memiliki kekuatan (power) atau kekuasaan yang lebih tinggi dibandingkan orang yang dibuli. Kekuatan di sini seperti badannya lebih besar, atau dilakukan secara berkelompok, dan bisa juga bersifat lainnya seperti orang yang melakukan bullying memiliki latar belakang keluarga yang memiliki kekuasaan. Indikator ketiga adalah perilaku ini dilakukan berulang-ulang atau berpotensi dilakukan secara berulang-ulang. Ketiga, indikator ini yang sebaiknya dapat dipahami oleh guru dan warga sekolah lainnya sebelum mendesain strategi atau metode penanganan perilaku bullying di sekolah.
Lingkaran Bullying
Berbicara mengenai perilaku bullying, tentunya bukan hanya tentang orang yang melakukan perundungan (pembuli) dan orang yang dirundung. Tapi terdapat berbagai aktor yang terlibat ketika terjadi perilaku perundungan. Hal ini tentunya penting untuk diidentifikasi oleh guru untuk mendesain penanganan yang tepat untuk mengatasi perilaku bullying di sekolah.
Berikut adalah beberapa aktor yang terlibat ketika terjadi perilaku bullying:
- Karakter A: Inisiator dari perilaku bullying (Pembuli)
Karakter dari orang ini adalah siswa yang cenderung menjadi pemimpin di lingkarannya yang menjadi inisiator untuk melakukan perilaku perundungan. - Karakter B: Pengikut
Siswa yang memiliki karakter ini cenderung melakukan perilaku perundungan namun hanya sekedar ikut-ikutan setelah siswa karakter A melakukan bullying. Siswa karakter B ini adalah mereka yang bukan memulai untuk melakukan bullying, namun setelah karakter A membuli, karakter B ini cenderung membesar-besarkan atau mendukung karakter A untuk merundung. - Karakter C: Pembuli Pasif
Siswa yang memiliki karakter ini cenderung tidak melakukan perilaku bullying secara langsung, namun siswa ini cenderung tersenyum atau tertawa ketika melihat perilaku bullying. Tertawa atau tersenyum melihat perilaku bullying berarti kita setuju atau mendukung perilaku bullying tersebut - Karakter D: Penonton (Bystander)Bystander adalah karakter dimana siswa cenderung tidak mau terlibat ketika melihat perilaku bullying. Siswa ini tidak mendukung perilaku bullying tersebut tapi siswa ini juga tidak berusaha untuk membela atau menolong siswa yang dirundung. Siswa ini hanya fokus pada dirinya sendiri.
- Karakter E: Pembela Potensial
Siswa yang memiliki karakter ini cenderung tidak suka dengan perilaku bullying, namun siswa ini juga cenderung takut untuk membela temannya yang dirundung dan atau takut untuk melaporkan perilaku bullying tersebut ke guru atau orang dewasa lainnya. - Karakter F: Pembela Aktif
Pembela aktif adalah siswa yang dengan berani membela temannya atau siswa lain yang dirundung atau berani melaporkan ke guru ketika melihat perilaku bullying di sekolah - Karakter G: Orang yang dirundung (dibuli)
Siswa yang memiliki karakter ini adalah siswa yang cenderung sering dibully oleh teman-temannya di sekolah
Mengapa Penting Memahami Lingkaran Bullying?
Lingkaran bullying penting untuk dipahami karena hal ini akan berkaitan dengan strategi penanganan yang akan dilakukan oleh guru atau pihak sekolah. Dalam menangani perilaku bullying, banyak guru cenderung hanya fokus pada siswa karakter A (Inisiator dari perilaku bullying), karakter B (Pengikut), dan karakter G (orang yang dirundung). Padahal banyak aktor lain yang juga harus diberikan penanganan dan pendekatan untuk dapat menangani dan menghentikan perilaku bullying yang terjadi.
Salah satu contoh sederhananya adalah ketika dalam satu kelas terjadi perilaku bullying, ada 2 siswa yang membuli seorang siswa, dan 30 siswa lainnya tertawa melihat perilaku tersebut. Terkadang, guru hanya fokus menghentikan 2 siswa yang membuli ini, namun tidak memberikan penegasan kepada 30 siswa yang tertawa ini. Siswa yang tertawa ini akan menganggap bahwa tertawa melihat perilaku bullying adalah hal wajar yang bisa dilakukan, karena guru tidak pernah memberikan penegasan atau menjelaskan bahwa perilaku tersebut tidak boleh dilakukan karena perilaku tersebut secara otomatis mendukung perilaku bullying. Maka dari itu, strategi yang dapat dilakukan guru adalah memastikan tidak ada siswa yang tersenyum dan tertawa ketika melihat perilaku bullying, sebaliknya guru dapat mendukung siswa agar mereka berani melaporkan perilaku bullying.
Selain itu, ketika terdapat siswa yang Karakter E dan F (pembela potensial dan pembela) yang telah memberanikan diri melaporkan perilaku bullying, banyak guru cenderung tidak memberikan reward atau penghargaan kepada siswa tersebut. Guru cenderung hanya fokus pada perilaku negatif siswa, namun ketika ada siswa melakukan perilaku positif, tidak ada reward atau penghargaan yang diberikan kepada siswa tersebut. Padahal yang diinginkan sebenarnya adalah memperbanyak atau mendukung siswa di sekolah untuk melaporkan ketika melihat perilaku bullying.
Salah satu teori yang berkaitan kasus ini adalah Penguatan positif (reinforcement Theory). Skinner (2016) menjelaskan bahwa untuk mempertahankan ataupun meningkatkan perilaku positif siswa, maka perlu diberikan stimulus berupa penguatan positif. Penguatan positif adalah pemberian tanggapan positif ketika seorang individu menunjukkan perilaku positif yang dibutuhkan. Tanggapan positif dalam hal ini bisa dilakukan dalam bentuk ucapan terima kasih, mengatakan kamu hebat telah berani melaporkan perilaku bullying, atau berupa penghargaan lainnya. Maka dari itu, salah satu bentuk strategi untuk mengurangi ataupun menghentikan perilaku bullying di sekolah adalah dengan pemberian penguatan positif pada siswa yang Karakter E dan F, agar lebih banyak lagi siswa yang berani melaporkan ketika melihat perilaku bullying.
Selain beberapa karakter tersebut, guru juga harus fokus pada karakter A (Inisiator dari perilaku bullying). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa siswa yang memiliki karakter A (Inisiator dari perilaku bullying) cenderung memiliki permasalahan di lingkungan keluarganya atau di lingkungan masyarakat, bahkan siswa ini cenderung merupakan korban perilaku bullying atau perilaku agresif lainnya di lingkungan rumahnya atau di lingkungan masyarakatnya. Salah satu penelitian tersebut dilakukan oleh Choi & Park (2018) yang menunjukkan bahwa orang yang melakukan perundungan cenderung merupakan korban dari perilaku bullying di lingkungan sebelumnya atau di lingkungan lainnya. Perilaku bullying yang dilakukan di sekolah sebagai wujud pelampiasan, balas dendam, atau untuk mencari perhatian. Hal yang bisa dipelajari dalam hal ini adalah siswa karakter A sesungguhnya membutuhkan dukungan dan bantuan dari guru. Maka dari itu, penting untuk mengidentifikasi permasalahan yang berpotensi dialami oleh siswa baik itu di lingkungan rumahnya maupun di lingkungan sosial maupun masyarakat, sehingga guru dapat memberikan penanganan yang tepat sesuai dengan masalah yang dialami oleh siswa.
Program ROOTS Indonesia sebagai Program Pencegahan Perilaku Bullying yang bersifat Komprehensif
Program Roots Indonesia adalah program pencegahan perilaku bullying yang fokus memberdayakan peran siswa sebagai agen perubahan dalam menyebarkan dan mempengaruhi siswa lain untuk berperilaku positif. Salah satu fokus dalam program Roots adalah dengan membiasakan dan memperbanyak perilaku positif, maka akan menghasilkan iklim budaya positif di sekolah dan hal tersebut dapat berpotensi mengurangi terjadinya perilaku bullying di sekolah.
Agen perubahan dalam hal ini tidaklah dipilih oleh guru atau kepala sekolah, tapi dinominasikan oleh siswa lain di sekolah tersebut. Setiap siswa di sekolah akan menominasikan 10 temannya yang paling sering berinteraksi dengan mereka atau yang paling sering menghabiskan waktu dengannya. 30-40 siswa yang paling banyak dinominasikan oleh temannya yang nantinya akan menjadi agen perubahan di sekolahnya. Model ini yang disebut sebagai teori jejaring sosial (Paluck dkk., 2016).
Siswa agen perubahan ini nantinya akan mengikuti 10-15 kali pertemuan dengan guru terlatih dengan menggunakan modul Roots yang telah diadaptasi dan dikembangkan oleh UNICEF Indonesia dan mitranya. Fokus pertemuan ini adalah bagaimana meningkatkan kepercayaan agen perubahan, meningkatkan kemampuan komunikasi dan kepemimpinan agen perubahan, memberikan pemahaman yang mendalam mengenai perilaku Bullying.
Serta bagaimana mengidentifikasi dan mengimplementasikan perilaku-perilaku positif yang dapat dilakukan di sekolah, serta bagaimana memengaruhi siswa lain untuk berperilaku positif. Program Roots Indonesia boleh dikatakan sebagai sebuah strategi pencegahan perilaku bullying yang menjawab ataupun sesuai dengan beberapa permasalahan yang telah dijelaskan di bagian sebelumnya.
Program Roots Indonesia fokus memberikan pemahaman kepada siswa yang bertugas sebagai agen perubahan di awal pertemuan mengenai perilaku Bullying. Hal itu dilakukan agar siswa memiliki pemahaman yang sama mengenai perilaku bullying sebelum mendesain strategi yang dapat dilakukan untuk mengurangi ataupun menghentikan perilaku bullying di sekolah. Pemahaman inilah yang nantinya juga akan disampaikan oleh agen perubahan kepada siswa lain di sekolah tersebut.
Program Roots Indonesia bersifat komprehensif dalam artian pendekatan yang dilakukan bukan hanya fokus kepada orang yang dibully atau orang yang membully tapi fokus kepada berbagai aktor yang telah dijelaskan di bagian lingkaran bullying. Hal inilah yang menjadi salah satu perbedaan dan keunggulan dari Program Roots dibandingkan dengan program lainnya. Program ini berusaha memberdayakan dan mendukung seluruh siswa untuk menjadi karakter pembela yang berani melaporkan perilaku bullying dan berusaha menghentikan ketika terjadi perilaku bullying di sekolah.
Program ini juga sangat terkait dengan salah satu teori perubahan perilaku yakni penguatan positif (positive reinforcement) yang telah dijelaskan sebelumnya. Siswa yang berperilaku positif yang terkait dengan interaksi siswa akan mendapatkan reward atau penghargaan dari guru, dari agen perubahan, ataupun dari siswa lainnya. Hal inilah yang juga menjadi kunci sehingga program Roots dianggap sebagai program yang tepat dalam mengubah perilaku siswa.
Penulis ada Program Analyst, Yayasan Indonesia Mengabdi dan dapat dihubungi melalui email yusri@unm.ac.id