Berbagai layanan sosial telah disediakan oleh pemerintah untuk membantu anak dalam pemenuhan hak dasarnya baik itu dalam aspek hak mendapatkan pendidikan dasar, perlindungan, kesehatan, dan beberapa hak dasar lainnya.
Layanan-layanan sosial tersebut diwadahi oleh beberapa dinas di setiap Kabupaten/Kota baik dinas sosial, dinas pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, dinas kesehatan, dan dinas terkait lainnya. Selama Pandemi COVID-19, terdapat berbagai kasus yang dialami oleh anak, seperti korban kekerasan, putus sekolah, anak yang dipekerjakan, gangguan atau tekanan psikologis, dan beberapa kasus lainnya. Namun sayangnya, beberapa orang tua memilih untuk tidak melaporkan kasus tersebut kepada pihak-pihak penyedia layanan, padahal ketika orang tua melaporkan kasus tersebut, para penyedia layanan akan memberikan pendampingan kepada anak dan keluarga untuk mendapatkan hak dasarnya tersebut.
Terdapat kecenderungan mengapa orang tua dan anak memilih tidak melaporkan kasus tersebut kepada lembaga penyedia layanan sosial terkait. Salah satunya yakni mereka kurang memiliki informasi dimana mereka dapat memperoleh pendampingan ketika anak membutuhkan layanan sosial ataupun pendampingan atau sejenisnya. Selain itu, beberapa orang tua mengetahui bahwa terdapat lembaga penyedia layanan sosial, namun karena akses yang terlalu jauh sehingga mereka memilih untuk tidak melaporkan kasus tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka dipandang penting untuk memberdayakan peran sekolah sebagai perantara antara keluarga dan penyedia layanan sosial. Selain itu sekolah juga diharapkan dapat memberikan layanan dasar ketika anak membutuhkan pendampingan khususnya terkait permasalahan psikologis.
Yayasan Indonesia Mengabdi melalui dukungan UNICEF Indonesia dan Japan Government (From the people of Japan) telah mengembangkan sebuah mekanisme penanganan dan rujukan kasus anak berbasis sekolah. Mekanisme ini fokus memberdayakan sekolah sebagai pusat informasi layanan sosial yang tersedia yang dapat diakses oleh anak. Selain itu, pada mekanisme ini, beberapa guru dilatih untuk menjadi guru terlatih yang mempunyai beberapa tugas seperti menerima laporan dari anak dan keluarga, melakukan asesmen kasus anak secara umum mengenai jenis kasus dan potensi penyebab, melakukan asesmen psikologis ketika ketika permasalahan anak mengenai masalah psikologis, memberikan penanganan awal kepada anak yang bersifat non-spesialis, mendampingi dan melakukan rujukan kasus anak kepada layanan sosial yang terkait.
Terdapat beberapa tahap mekanisme penanganan dan rujukan kasus anak berbasis sekolah, diantaranya sebagai berikut.
Tahap pertama: Menerima Laporan
Laporan kasus anak yang masuk di sekolah dapat disampaikan oleh pihak keluarga/orang tua, pihak anak itu sendiri, dan warga sekolah.. Segala laporan yang masuk selanjutnya akan didokumentasikan oleh guru/tenaga kependidikan yang ditugaskan oleh kepala sekolah untuk menangani bagian tersebut.
Tahap kedua: Asesmen
Setelah laporan masuk, anak tersebut akan diasesmen menggunakan Instrumen Potensi Penyebab Kasus untuk mengetahui jenis kasus yang dialami oleh anak dan potensi penyebab dari kasus tersebut. Kasus yang dialami oleh anak pada tahap ini akan diidentifikasi apakah masuk masalah hukum, kesehatan, administratif, atau masalah psikologis.
Tahap ketiga: Rujukan ke Penyedia Layanan Sosial
Setelah asesmen tahap pertama, anak-anak yang mengalami kasus di bidang hukum, kesehatan, dan administratif akan langsung dirujuk kepada lembaga penyedia layanan sosial baik itu Dinas Sosial, PKSAI, UPTD PPA, Puskesman, ataupun polsek.
Tahap keempat: Asesmen Tahap Kedua
Ketika kasus yang dialami oleh anak terkait masalah psikologis, maka akan dilakukan asesmen tahap kedua menggunakan instrumen SDQ (Strength and Difficulties Questionnaire).
Tahap kelima: Perencanaan dan Pelaksanaan Intervensi
Hasil dari instrumen SDQ akan mengkategorikan masalah psikologis yang dialami oleh anak ke dalam 3 tingkatan (normal/rendah, sedang, dan tinggi). Anak yang berada pada kategori normal/rendah bisa saja langsung diarahkan ke tahap terminasi (penutupan kasus) karena dianggap masalah yang dialami oleh anak tidak membutuhkan intervensi dari sekolah. Namun meskipun berada pada kategori normal/rendah, ketika guru merasa anak tersebut membutuhkan intervensi, maka anak kasus anak tersebut akan masuk pada tahap perencanaan dan pelaksanaan intervensi. Selain itu, kasus anak yang berada pada kategori sedang juga akan langsung diarahkan ke tahap perencanaan dan pelaksanaan intervensi. Jenis intervensi yang diberikan oleh sekolah tentunya bergantung jenis kasus yang dialami oleh anak. Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan di bagian berikutnya mengenai jenis layanan intervensi yang dapat diberikan oleh sekolah
Tahap keenam: Rujukan ke Penyedia Layanan Sosial
Ketika anak mengalami masalah psikologis tingkatan tinggi atau sedang mengarah ke tinggi, maka anak tersebut langsung akan dirujuk kepada penyedia layanan sosial seperti PKSAI/Dinsos atau UPTD PPA untuk mendapatkan pendampingan dan layanan ke profesional seperti konselor, psikolog, psikiater, dan lain-lainnya.
Tahap ketujuh: Monitoring Pelaksanaan Intervensi
Untuk mengetahui keberhasilan jenis intervensi yang dilakukan oleh pihak sekolah, maka akan dilakukan monitoring dan evaluasi intervensi. Monitoring ini dilakukan dalam bentuk observasi dan wawancara kepada anak, teman anak, keluarga, dan warga sekolah lainnya yang dianggap dapat memberikan informasi. Hasil dari monitoring, kasus anak tersebut bisa diarahkan ke tahap terminasi (penutupan kasus) karena dianggap intervensinya sudah cukup, bisa juga kasusnya dikembalikan ke tahap perencanaan intervensi untuk diberikan intervensi lanjutan, ketika pihak sekolah merasa anak tersebut masih membutuhkan intervensi lanjutan dari sekolah, atau bisa juga kasus tersebut dirujuk kepada penyedia layanan sosial seperti Dinsos/PKSAI atau UPTD PPA, ketika sekolah menganggap kasus anak tersebut perlu mendapatkan pendampingan dari tenaga profesional.
Tahap kedelapan: Terminasi
Tahap terminasi atau penutupan kasus dilakukan ketika proses intervensi yang diberikan kepada anak dirasa cukup dan masalah yang dihadapi oleh anak dianggap sudah dapat diselesaikan dengan baik.
Melalui mekanisme penanganan dan rujukan kasus anak berbasis sekolah ini maka diharapkan agar dapat membantu anak dan pihak keluarga untuk mendapatkan pendampingan dan akses layanan sosial yang tersedia. Selain itu, mekanisme ini juga secara langsung dapat membantu para penyedia layanan sosial untuk mempromosikan berbagai bentuk layanan sosial yang tersedia kepada pihak orang tua siswa.
Penulis adalah Program Analyst pada Yayasan Indonesia Mengabdi. Penulis dapat diemail yusri@unm.ac.id