Memberantas Kemiskinan Ekstrem: Konvergensi Program Berbasis Sasaran (Bagian 1)
Penulis : Agussalim

Merebaknya kemiskinan ekstrem saat ini akibat efek pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang berkepanjangan dan melonjaknya harga pangan. Pandemi Covid-19, meski mulai melemah, namun belum sepenuhnya berakhir dan masih menimbulkan ketidakpastian. Pada saat yang sama, terganggunya rantai pasok pangan global akibat perang Rusia dengan Ukraina telah menyebabkan terjadinya krisis pangan yang memicu harga pangan ke level tertinggi sedikitnya dalam satu dekade terakhir. Inflasi pangan memiliki dampak yang sangat buruk pada keluarga miskin. Orang miskin di negara-negara berpenghasilan rendah menghabiskan sekitar dua pertiga dari sumber daya mereka untuk makanan, sehingga kenaikan harga pangan akan memicu kemiskinan yang lebih dalam.

Memburuknya situasi saat ini telah menyebabkan populasi kemiskinan ekstrem terus membengkak. Populasi penduduk yang benar-benar melarat semakin bertambah. Laporan terbaru Bank Dunia (2022) memperkirakan jumlah orang miskin ekstrem bertambah sekitar 75 juta hingga 95 juta orang di berbagai belahan dunia seiring dengan meningkatnya harga pangan dan energi. Pada akhir tahun 2022, diperkirakan sebanyak 685 juta orang atau sekitar 9 persen dari populasi global, hidup dalam kondisi kemiskinan ekstrem.

Hasil studi terbaru United Nations Development Programme (UNDP) (2022) juga mengungkapkan bahwa 71 juta orang terdorong masuk ke dalam kemiskinan ekstrem sebagai akibat dari melonjaknya harga makanan dan energi. Studi ini melihat terjadinya krisis biaya hidup di negara-negara berkembang dan Sub-Sahara Afrika sebagai pusat krisis. Mereka ini tinggal di perumahan yang buruk dan berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar diri mereka sendiri dan keluarga mereka. Laporan ini menyebutkan bahwa krisis biaya hidup saat ini mungkin yang terbesar setidaknya dalam satu generasi, dan itu terjadi karena negara memiliki kapasitas yang semakin terbatas untuk mengatasinya.

Meluasnya kemiskinan ekstrem, termasuk di Indonesia, telah memaksa pemerintah untuk melakukan mitigasi dengan memberi perhatian serius. Sebagai langkah awal, di pertengahan tahun 2022, pemerintah telah menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2022 tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem. Instruksi Presiden ini telah memberi mandat kepada semua pihak terkait, termasuk 22 kementerian, enam lembaga, dan pemerintah daerah (Gubernur/Bupati/ Walikota), untuk terlibat dalam penanganan kemiskinan ekstrem. Instruksi Presiden ini menekankan pada ketepatan sasaran dan integrasi program para pihak dengan berfokus pada tiga strategi utama, yaitu penurunan beban pengeluaran masyarakat, peningkatan pendapatan masyarakat, dan penurunan jumlah kantong-kantong kemiskinan.
Menghadapi situasi ini, penting untuk merumuskan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan ekstrem yang dapat memandu upaya penanggulangan kemiskinan ekstrem secara terstruktur dan sistematis di tengah lingkungan sosial ekonomi yang berubah dengan cepat dan seringkali tak terduga. Jika ini tidak dilakukan, jutaan orang akan terus hidup dalam kemelaratan.

Secara sederhana, kemiskinan ekstrem adalah mereka yang paling miskin di antara orang miskin (the poorest of the poor). Oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), kemiskinan ekstrem dipandang sebagai bentuk kemiskinan yang paling buruk, yaitu suatu kondisi yang ditandai dengan kekurangan parah kebutuhan dasar manusia, seperti makanan, air minum, sanitasi, kesehatan, tempat tinggal, pendidikan, dan informasi. Kondisi ini tidak hanya bergantung pada pendapatan tetapi juga pada akses ke layanan publik. Secara terukur, Bank Dunia mengidentifikasi seseorang mengalami kemiskinan ekstrem saat seseorang tersebut hidup dengan pendapatan/pengeluaran kurang dari USD 1,90 per hari berdasarkan ukuran varitas daya beli (purchasing power parity). Sejak September 2022, Bank Dunia menaikkan standar tersebut menjadi USD 2,15 per hari guna menyesuaikan dengan efek inflasi.

Kompleksitas dan Karakteristik Kemiskinan Ekstrem
Dampak buruk terhadap kemiskinan ekstrem bermula dari munculnya wabah COVID-19. Sebagian pekerja terpaksa harus dirumahkan dan sebagian lainnya harus rela kehilangan pekerjaan. Pembatasan sosial telah menyebabkan aktivitas produksi, perdagangan, dan konsumsi menurun secara drastis, sehingga sebagian orang harus kehilangan pendapatan. Akibat situasi ini, diperkirakan kelompok rentan (mereka yang berada sedikit di atas garis kemiskinan) akan kembali terperangkap ke dalam jeratan kemiskinan. Sedangkan mereka yang sudah miskin, terjerembab ke dalam lubang kemiskinan yang lebih dalam.

Dalam catatan BPS, COVID-19 telah mendorong angka kemiskinan ke level yang lebih tinggi dan memunculkan orang miskin baru. Jumlah penduduk miskin bertambah sebanyak 2,76 juta jiwa selama periode September 2019 (sebelum munculnya COVID- 19) ke September 2020 (setelah wabah COVID-19 merebak). Tingkat kemiskinan bergeser ke atas dari 9,22 persen menjadi 10,19 persen pada periode yang sama, atau kembali ke level yang hampir sama dengan lima tahun lalu. Semua upaya penanggulangan kemiskinan dalam lima tahun terakhir seolah-olah tidak meninggalkan bekas.

Saat pandemi COVID-19 mulai mereda dan perekonomian mulai menunjukkan tanda- tanda pemulihan, muncul konflik Rusia – Ukrania yang merubah tatanan ekonomi global dan menyebabkan situasi yang mulai membaik kembali memburuk. Ini bentuk pukulan beruntun yang menjerumuskan ekonomi global ke dalam lubang krisis. Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa dampak krisis saat ini hampir pasti akan dirasakan di sebagian besar negara hingga tahun 2030. Dengan kondisi ini, tujuan untuk menurunkan tingkat kemiskinan absolut global menjadi kurang dari tiga persen pada tahun 2030, yang sudah berisiko sebelum pandemi, sekarang di luar jangkauan, kecuali negara-negara mengambil tindakan kebijakan yang cepat, signifikan, dan substansial (World Bank, 2022).

Krisis ekonomi global, yang salah satunya ditandai dengan naiknya harga-harga kebutuhan pokok, telah menyebabkan mereka yang hidup di bottom level dalam hierarkhi distribusi pendapatan, benar-benar mengalami kesulitan. Inflasi yang berbasis luas dan cenderung persisten mengakibatkan kerawanan pangan meningkat secara signifikan. Begitu pula jumlah orang yang menderita kekurangan gizi menjadi bertambah. Masalah ketahanan pangan dan nutrisi tampaknya telah menjadi masalah serius saat ini.

Bagi mereka yang sudah miskin sebelum datangnya hantaman pandemi COVID-19 dan krisis ekonomi global, mengalami kondisi kemiskinan yang semakin parah. Berdasarkan rilis data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan ekstrem di Indonesia telah mencapai 4 persen atau 10,86 juta jiwa pada tahun 2021. Angka ini diperkirakan merambat naik di tahun 2022 seiring dengan melonjaknya harga kebutuhan pokok dan bahan bakar minyak. Memerangi kemiskinan ekstrem menjadi semakin menantang, bukan hanya karena harus menangani yang termiskin dari yang miskin, tetapi juga target pemerintah untuk mencapai 0 persen kemiskinan ekstrem di 2024 menjadi tampak mustahil.

Sesungguhnya pemerintah dapat mengurangi dampak kenaikan inflasi pangan pada keluarga miskin melalui kebijakan perlindungan sosial. Namun, agak berbeda dengan periode inflasi pangan yang tinggi pada periode sebelumnya, keuangan pemerintah terkuras akibat berbagai langkah fiskal yang dilakukan selama merebaknya pandemi COVID-19. Pemerintah terpaksa harus melakukan refocusing dan realokasi anggaran untuk memitigasi dampak pandemi COVID-19. Untuk ekonomi yang masih belum pulih dari pandemi, inflasi tinggi benar-benar memberi tekanan berat bagi pemerintah. 

Pada tahun 2021, tingkat kemiskinan ekstrem di Indonesia telah mencapai 10,86 juta jiwa atau 4 persen dari total populasi. Angka ini diperkirakan merambat naik di tahun 2022 seiring dengan melonjaknya harga kebutuhan pokok dan bahan bakar minyak. Wilayah perdesaan, pesisir dan pulau-pulau kecil, serta kawasan kumuh perkotaan menjadi kantong-kantong kemiskinan ekstrem. (Bersambung)

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.