Setiap tanggal 8 Maret, kita merayakan Hari Perempuan Internasional dan tahun ini mengangkat tema #BreakTheBias. Laporan terbaru PBB menemukan sedikitnya 90% orang – laki-laki dan perempuan – memiliki semacam bias terhadap perempuan. #BreakTheBias dipilih sebagai tema kampanye Hari Perempuan Internasional 2022 karena adanya bias yang mengakar di masyarakat di mana membuat perempuan sulit untuk maju. Tema kampanye ini berusaha mengajak dunia untuk mematahkan semua bias yang ada di lingkungan sekitar, seperti di tempat kerja, sekolah, perguruan tinggi maupun komunitas, sehingga upaya kesetaraan terhadap perempuan dapat tercapai dan dunia menjadi lebih beragam, adil, inklusif, dan bebas dari bias, stereotip, maupun diskriminasi.
Dalam semangat peringatan Hari Perempuan Internasional, Yayasan BaKTI kembali menggelar Diskusi Inspirasi BaKTI Virtual pada 24 Maret 2022 dengan topik “Mematahkan Bias, Hadirkan Perubahan”. Acara yang dikemas dalam bentuk talkshow dimoderatori oleh Lusia Palulungan, seorang aktivis dan pejuang kesetaraan gender.
Hadir sebagai narasumber empat orang anak muda keren yakni Nurul Amaliah seorang petugas pendamping korban UPT PPA Provinsi Sulawesi Selatan, Nabila May Sweetha yang bekerja sebagai Manager Produksi Pengetahuan pada Yayasan PerDIK Sulawesi Selatan, Olyvia Jasso seorang pendiri The Mulung Ambon, dan Githa Anasthasia, CEO Arborek Dive Center Sustainable Tourism Consultant.
Nurul Amaliah, Petugas Pendamping Korban UPT PPA (Unit Pelaksana Teknis Perlindungan Perempuan dan Anak) Provinsi Sulawesi Selatan. Sehari-hari berhadapan dengan berbagai jenis korban kekerasan terhadap perempuan dan anak di UPT PPA Sulawesi Selatan. Nurul memiliki peran penting dalam kegiatan pendampingan maupun pemulihan korban: menerima keluhan atau masalah yang dialami korban, serta mendampingi korban dalam penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan pengadilan dan pelayanan psikologis.
Bekerja sebagai pendamping korban kekerasan sejak tahun 2013, banyak hal yang telah dialami Nurul. Pengalaman yang paling berkesan adalah ketika Nurul mendampingi seorang korban bernama Mawar (bukan nama sebenarnya) yang masih berusia 16 tahun.
Selama dua tahun Mawar menjadi korban kekerasan seksual oleh bapak kandungnya sendiri, hingga hamil dan melahirkan. Ketika tiba saat Mawar akan melahirkan, Nurul diminta oleh petugas rumah sakit untuk menghubungi keluarga Mawar karena kondisi Mawar yang harus menjalani operasi. Nurul kemudian mengontak meminta persetujuan keluarga Mawar termasuk ibunya. Namun sangat disayangkan pada waktu itu tidak ada satu pun keluarga Mawar yang bersedia menandatangani surat persetujuan operasi.
Nurul akhirnya mengambil tanggung jawab itu. Ia menandatangani surat persetujuan operasi untuk menyelamatkan Mawar dan bayinya. Sebagai petugas pendamping, Nurul sadar bahwa ia telah mengambil tanggung jawab besar. “Sebelum Mawar masuk ruang operasi, saya hanya bisa menyampaikan kepada Mawar bahwa ia adalah anak yang hebat, anak yang kuat. Mawar akan melahirkan anak dan ini bukan aib.” Kenang Nurul.
Nurul merasa bangga sekaligus haru ketika beberapa tahun kemudian ia bertemu kembali dengan Mawar. Kondisi Mawar kala itu telah kembali pulih dan bangkit melanjutkan hidup dengan semangat yang baru.
Masih banyak pekerjaan rumah yang akan dikerjakan oleh Nurul dan teman-teman pendamping lainnya, seiring dengan meningkatnya jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Sulawesi Selatan. Nurul berencana lebih gencar lagi melakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah bagaimana bentuk-bentuk kekerasan dan bagaimana merespons jika terjadi kekerasan di sekitar mereka.
Nabila May Sweetha, Manager Produksi Pengetahuan Yayasan Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan (PerDIK) Sulawesi Selatan. Di tahun 2014, Nabila mengalami kebutaan yang disebabkan oleh TORCH plasma.
Kebutaan tak menghentikan semangat Nabila untuk mengukir prestasi, khususnya dalam bidang kepenulisan. Nabila menulis sejumlah novel dan pada pertengahan tahun 2018 dia terlibat dalam kegiatan Social Justice Youth Camp (SJYC) yang diadakan oleh Indonesia Social Justice Network (ISJN) bekerja sama dengan PerDIK, sebuah lembaga di mana Nabila tini bekerja sebagai Manager Produksi Pengetahuan. Hingga sekarang, Nabila masih aktif bekerja dan menulis tentang kerentanan perempuan khususnya penyandang disabilitas yang menjadi korban kekerasan atau pelecehan seksual.
Nabila menceritakan perjuangan dan tantangan yang dialaminya saat mengakses pendidikan reguler. Kerap kali tantangan itu justru datang dari keluarga sendiri. “Kehidupan seorang difabel sangat lah rentan. Apalagi ketika ia adalah perempuan yang hidup di lingkungan patriarki,” ungkap Nabila.
“Dulu itu teman-teman tuna netra, baik yang perempuan maupun laki-laki selalu beranggapan kalau dirinya akan bersekolah di SLB dan kelak menjadi tukang pijat dan menjual kripik. Apalagi di mana-mana di Indonesia kita dengan mudah bisa menemukan papan bertuliskan “Panti Pijat Tuna Netra" atau “Tukang Jahit Daksa”.
Teman-teman difabel dikelompokkan ke sekolah khusus oleh para pemangku kebijakan berdasarkan apa yang bisa dikerjakannya. Teman-teman difabel tidak bebas memiliki cita-cita karena sejak kecil mereka sudah diberitahukan akan jadi apa mereka kelak. Contohnya teman tuna daksa diajar menjahit dan tuna netra diajar memijat.
Karena itu Nabila aktif menyuarakan agar teman-teman difabel juga bisa bersekolah di sekolah umum dan bisa kuliah di luar jurusan pendidikan luar biasa. Syukurlah di Makassar sudah banyak teman difabel yang bebas memilih program studi di bangku perguruan tinggi. dan berupaya mencapai mencapai cita-cita mereka.
Pada tahun 2021, ada empat difabel buta perempuan teman Nabila yang lulus SBMPTN. “Saya terus meyakinkan junior-junior saya bahwa kita bisa. Saya perempuan, saya difabel tapi saya bisa belajar dan saya mau mereka yakin bahwa mereka juga bisa,” ujar Nabila.
Lain lagi kisah Olyvia Jasso, Founder The Mulung Ambon. The Mulung adalah sebuah gerakan kebersihan lingkungan yang berangkat dari kekuatiran atas semakin maraknya kerusakan lingkungan karena sampah plastik.
Sebagai sosok yang sejak kecil dekat dengan alam, Olyvia merasa menjaga dan merawat alam adalah sebuah kewajiban baginya. Olyvia bersama teman-teman di the Mulung aktif memungut sampah di Kota Ambon. Olyvia sadar bahwa masalah sampah itu menjadi masalah yang paling utama untuk penyelamatan lingkungan, Olyvia akhirnya memutuskan untuk menjadi tenaga pengajar di sekolah alam untuk anak-anak pemulung dan masuk ke komunitas-komunitas lingkungan dan bersama teman-teman memiliki keberanian untuk melakukan aksi bersih-bersih pantai setiap minggunya, dan semakin hari semakin banyak orang yang tertarik bergabung. Menurut Olyvia, masyarakat sebenarnya banyak yang telah memiliki kesadaran, tapi karena keterbatasan infrastruktur seperti Tempat Pembuangan Akhir (TPA) ataupun pengolahan sampah yang baik, akhirnya mereka langsung membuang sampahnya ke laut.
Seiring berjalannya waktu, saat ini The Mulung telah memiliki 150 orang volunteer, dan hampir 90% itu anak muda. Volunteer ini kemudian dibekali dengan pengetahuan lingkungan serta kemampuan public speaking. “Lingkungan ini bukan hanya milik teman-teman yang bergerak di bidang lingkungan tapi menjadi tanggung jawab kita semua” pungkas Olyvia.
Olyvia pun tak lepas dari stereotip masyarakat tempat ia bertumbuh yang melihat anak muda mesti fokus untuk bekerja dan kuliah, bukan memungut sampah. Stigma tersebut tidak menghalangi Olyvia untuk tetap bergerak. Ia memilih menyelesaikan keresahannya atas menggunungnya sampah dan tercemarnya alam. Ia pun berharap The Mulung bisa membawa perubahan bagi banyak orang agar lebih bijak menggunakan plastik dan selalu membuang sampah pada tempatnya.
Saat ini Olyvia juga aktif menjadi content creator di Kota Ambon yang mengkampanyekan pentingnya menjaga dan merawat lingkungan. Olyvia memiliki ambisi besar untuk mengubah semua anak muda di Maluku agar lebih peduli dengan lingkungan dan ia yakin akan berhasil.
Dari Arborek, Raja Ampat, ada Githa Anasthasia, CEO Arborek Dive Center Sustainable Tourism Consultant. Hobi menyelam tidak hanya membawa Githa menyusuri keindahan bawah laut Arborek saja, tetapi juga mengantarkan Githa mendirikan Arborek Dive Shop.
Arborek Dive Shop selain menyediakan program wisata menyelam, juga memasarkan produk kerajinan tangan karya warga Arborek. Produk kerajinan tangan tersebut antara lain berupa topi dan juga tas yang otentik dari Raja Ampat. Arborek Dive Center kemudian mempromosikan anyaman ini kepada tamu-tamu, media sosial dan website, mengedukasi masyarakat agar memodifikasi produk. Selain itu juga Arborek Dive Center mendukung beberapa kegiatan, di antaranya mengajak teman-teman khususnya wisatawan yang datang untuk berbagi keterampilannya kepada masyarakat lokal. Selain itu, mengajarkan bahasa Inggris, setidaknya mereka dapat berkomunikasi dalam bahasa Inggris.
Di Arborek Dive Shop, Githa memasukkan prinsip-prinsip community based tourism sebagai acuan dalam mengaplikasikan program diving yang ditawarkan kepada wisatawan. Githa bersama timnya juga mengadakan berbagai pelatihan dan sosialisasi bagi perempuan dan anak-anak di Arborek. Sosialisasi maupun pelatihan tersebut ini bertujuan meningkatkan keterampilan dan pengetahuan perempuan dan anak-anak dalam bidang pariwisata.
Dari cerita keempat perempuan muda inspiratif ini, diharapkan mampu menyadarkan dan mendorong semua orang untuk mematahkan bias gender yang dialami perempuan di berbagai ranah maupun lingkungan sekitar.