Yang Menolak Tunduk Pada Tradisi
Chatty Hari Sabakodi (30 tahun ) lulus sarjana dari salah satu perguruan tinggi di Kupang, Ibukota Provinsi NTT. Dia bertugas sebagai pendamping kelompok Program Anggaran untuk Rakyat Menuju Sejahtera (Anggur Merah) di salah satu desa di Kabupaten Sumba Tengah. Program ini berupa bantuan tunai kepada setiap desa untuk pengembangan ekonomi produksi yang diluncurkan pada masa Gubernur Frans Lebu Raya memerintah. Ia tidak menduga sama sekali akan menjadi korban yappa maradda. “Kejadiannya tanggal 10 Januari 2017. Sebelum itu ada telepon dari desa, katanya akan ada pemeriksaan dari inspektorat. Mereka mau periksa keuangan di Koperasi Anggur Merah. Jadi saya ke desa tanpa curiga sama sekali,” kenang Chatty.
Seperti biasa Chatty naik sepeda motor.Di jalan ia berpapasan dengan kepala desa. Dalam hati ia bertanya, kenapa kepala desa malah meninggalkan kantor desa? Bukankah ada pemeriksaan dari inspektorat? “Beliau bilang ada keperluan di kantor kecamatan,” ujar Chatty. Karena itu Chatty langsung mengarahkan motornya ke rumah bendahara desa. Belakangan baru Chatty tahu bahwa sang kepala desa menghindar karena tidak mau peristiwa yappa terjadi di rumahnya. Sementara bendahara desa, kata Chatty, tidak tahu sama sekali tentang rencana jahat itu.
Di rumah bendahara sudah hadir seorang staf dari inspektorat. Ia memakai seragam dinas. Mereka berdiskusi. Chatty melaporkan detail pengeluaran keuangan serta bukti print dari buku rekening. Hanya saja dirinya agak curiga, staf inspektorat hanya mencatat di atas selembar kertas. Biasanya mereka mencatat di atas kertas dengan format standar. “Setelah pemeriksaan, staf inspektorat tanya-tanya sama saya. Dia tanya asal saya dari mana, jadi saya bilang dari Malinjak. Saya juga heran, padahal kami sudah saling kenal, kenapa tanya asal-usul segala? Lalu di akhir obrolan, dia bilang ‘wah berarti ini ana loka (anak om)’. Saya diamkan saja. Saya hanya ambil foto kegiatan dan share ke group pendamping Anggur Merah. Ada kawan yang tanya, kenapa pemeriksaan hanya di desa saya saja?” ujar perempuan muda ini.
Selesai pemeriksaan, staf inspektorat mengajaknya ke kantor desa untuk menandatangani dokumen hasil pemeriksaan. Namun karena membawa sepeda motor, Chatty memutuskan untuk naik motor saja. Saat akan menghidupkan motor itulah, tiba-tiba sekelompok laki-laki meringkus dan membawanya masuk ke dalam mobil yang sudah disiapkan. Helm masih di kepalanya. “Ada lima laki-laki yang tangkap saya. Mereka pegang saya punya kaki, tangan dan kepala, lalu mereka muat dengan paksa ke mobil. Saya menangis berteriak dan meronta. Saya langsung sadar, ‘oh ini sudah yang namanya yappa’. Tidak lama kemudian, kami sudah tiba di Kampung Anajiaka. Orang sudah banyak yang berkumpul,” cerita Chatty.
Chatty diturunkan dari mobil. Helmnya dibuka. Dia sempat memberontak dan menggigit tangan seorang laki-laki yang menahannya. Ia menusukkan kunci motornya ke dahi laki-laki yang lain sampai berdarah. Ia ditarik masuk ke pintu rumah adat keluarga besar pelaku yappa. Beberapa orang sudah menanti dan memercikkan air ke dahinya. Chatty menghindar. “Saya ingat orangtua dulu cerita, kalau kena air itu, kita hilang kesadaran dan bisa mengatakan iya atau setuju dengan keinginan keluarga yang yappa. Katanya ada jampi-jampi dalam air. Untung tidak kena di testa (dahi) saya,” kisah Chatty yang ketika peristiwa itu terjadi, dua hari lagi akan dipinang kekasihnya
Chatty menangis sejadinya. Ia marah dan berteriak dari atas rumah adat keluarga besar laki-laki itu. Dia ingat bahwa lelaki pelaku yappa adalah sepupu dari staf inspektorat tadi. Lelaki itu adalah mantan pacarnya saat masih SMA hingga tahun pertama mereka kuliah di Kupang. “Kami dulu pacaran memang, tapi sudah putus. Sekitar 8 tahun lalu. Dari segi adat, dia pantas untuk ‘ambil’ saya jadi istri karena dia anak tante saya. Tapi, saya tidak suka dengan caranya dia. Kenapa tidak omong baik-baik? Dia juga orang mengerti. Lulus sarjana juga,” kata Chatty.
Beruntung, Chatty sempat mengirim pesan pendek (SMS) kepada orang tua dan tunangannya sebelum HPnya disita. Ia bilang kepada mereka, sudah terkena yappa, minta dibebaskan. “Saya bilang, bagaimana pun caranya tolong bebaskan saya. Saya tidak mau diperistri dengan cara yappa. Apalagi saya tidak cinta sama itu laki-laki,” ujarnya. Pesan yang sama ia kirim juga ke Dinas Pemberdayaan Perempuan Kabupaten Sumba Tengah, dengan maksud agar mereka turun tangan menyelamatkannya. Namun, dinas tidak merespons sama sekali sampai dia bebas.
Keluarga pelaku sudah mengirim wunang untuk menemui orang tua kandung Chatty. Sesuai adat setempat, mereka membawa kuda. Tapi, kedua orang tua Chatty tidak menerima. Artinya mereka menolak keinginan keluarga laki-laki. Keluarga besar pelaku mulai melancarkan rayuan. Chatty dinasehati agar mau menerima ‘lamaran’ yappa ini. Bagaimana pun, kata para perayu, mereka masih keluarga dekat. Chatty menolak dengan tegas. Selama dua setengah hari, Chatty menolak makanan dan minuman yang disajikan oleh keluarga besar di kampung Anajiaka.
Di halaman rumah telah menyeruak keramaian layaknya pesta perkawinan besar. Gong dan tambur ditabuh kencang. Babi-babi disembelih untuk menjamu kerabat dan warga yang berkumpul. Ratusan orang berbincang ramai. Chatty kalap. Ia kembali berteriak-teriak minta dibebaskan. Akhirnya, di batas kesabarannya ia menyakiti dirinya. Ia mencabuti rambutnya. Menikamkan kunci motor ke tubuhnya. Kepalanya ia benturkan ke tiang rumah sampai benjol besar. “Pilihan saya adalah bebas atau saya mati. Itu saja!” cetus Chatty. Ia bersikukuh menolak!
Pada hari ketiga, ada tradisi purung tana. Artinya Chatty dianggap telah sah menjadi bagian dari keluarga besar lelaki itu. Urusan adat bisa dilanjutkan dan ia boleh keluar dari rumah meskipun masih dikawal ketat. Kampung Anajiaka masih riuh dengan gong dan tambur, dan babi-babi terus disembelih. Pesta belum usai. “Waktu itu ada ibadah, yang pimpin Ibu Pendeta Fin Fanggidae. Saya heran kenapa gereja seperti setuju. Tapi, Ibu pendeta bicara empat mata dengan saya. Dia minta maaf. Dia bilang awalnya dia menolak pimpin ibadah karena tidak setuju dengan adat ini. Namun tidak ada aturan yang melarangnya, dan ini merupakan wilayah pelayannya. Ibu pendeta janji akan bicarakan ini dengan pemerintah agar ada peraturan desa (yang melarang yappa),” kata Chatty.
Di sisi lain kasus Chatty di-yappa menjadi trending topic di media sosial. Pro dan kontra terjadi. Pihak yang pro dengan tradisi ini mengobrak-abrik kehidupan pribadi Chatty. Pada hari ketiga, Chatty bertemu langsung dengan si pelaku. Chatty marah dengan tindakannya. Kata Chatty, pelaku hanya bilang, “mau bagaimana lagi, kalau omong baik-baik kau tidak mau.” Padahal, kata Chatty, pelaku dan dirinya tidak pernah lagi berbicara tentang hubungan mereka sejak putus dahulu. Atas persetujuan orang tuanya, keluarga Chatty melaporkan kasus ini ke Mama Salomi, Foremba. “Om pergi lapor ke Foremba. Terus Mama, Bapa sama-sama dengan Mama Salomi pergi lapor ke polisi. Waktu itu Kepala Desa Wailawa, Pak Alex juga bantu kami untuk negosiasi dengan keluarga Anajiaka,” jelas Chatty.
Pada hari ketiga keluarga Chatty mengirimkan utusan ke Anajiaka untuk menyampaikan bahwa mereka tidak setuju dengan yappa. Keluarga Chatty menyampaikan bahwa Chatty mengancam akan bunuh diri kalau keluarga menyetujui dia diperistri oleh pelaku. Keluarga tidak mau mengorbankan Chatty.
Selama lima hari di Kampung Anajiaka, Chatty dijaga ketat. Untunglah dia boleh menerima kunjungan dari kawan kerja, kawan SMA dan keluarga. Malam hari delapan orang lelaki menjaganya. Bahkan hingga ke kamar kecil, ia dikawal. Pada malam keenam, orang tua Chatty, pihak kepolisian, Foremba dan keluarga besarnya datang ke Kampung Anajiaka untuk menjemput anak mereka. Chatty diminta untuk menyampaikan isi hatinya apakah dia mau atau tidak. Chatty dengan tegas menyatakan tidak mau diperistri oleh pelaku. Dirinya mau pulang ke rumah orang tuanya. Malam itu juga Chatty pulang bersama keluarganya, meskipun keluarga pelaku minta untuk menunda kepulangannya esok hari, karena sudah malam.
Pasca peristiwa itu, Chatty masih bertemu dan menyapa staf inspektorat yang “menjebak”nya di atas tapi tidak direspons. Ketika bertemu keluarga pelaku, Chatty tetap menyapa mereka dengan sopan. “Saya rasa bagaimana e…, kami kan masih berkeluarga. Jadi saya tetap bangun hubungan baik. Mungkin mereka juga korban dari sistem sosial yang ada. Apa yang menimpa saya ini terjadi juga pada perempuan lain, hanya saja mereka tak berdaya untuk menolak,” ujar Chatty.
Sekembalinya ke rumah, orang tua Chatty bersama keluarga besar menyelenggarakan syukuran atau dalam tradisi Sumba disebut balingu hamaghu (mengembalikan jiwa yang hilang). Peristiwa itu dianggap sebuah malapetaka dan Chatty lolos dari sana.
Pada tahun yang sama ketika Chatty di-yappa, ada dua perempuan lain yang ditimpa kasus serupa. Keduanya juga lolos. Mereka menolak tunduk pada tradisi ini. Chatty kini sudah menikah dengan tunangannya. Mereka tinggal Sumba Barat Daya. Seorang anak telah menyempurnakan kebahagiaan mereka. (Selesai)
Artikel juga dimuat di: https://pgi.or.id/melawan-tradisi-culik-perempuan-di-sumba