Melawan Tradisi Culik Perempuan di Sumba (Bagian 1)
Penulis : Martha Hebi
  • Foto: Ichsan Djunaed/Yayasan BaKTI
    Foto: Ichsan Djunaed/Yayasan BaKTI

Bawa lari perempuan untuk dijadikan istri cukup dikenal dalam tradisi di Sumba.  Ini adalah jalan pintas untuk memperistri seorang perempuan idaman dengan cara menculiknya. Seorang perempuan lajang dengan beberapa rekannya pergi ke pasar atau menonton keramaian di kampungnya. Tiba-tiba segerombolan laki-laki yang tak dikenal menangkap dan membekapnya, melarikan dia dengan kuda atau kendaraan bermotor yang sudah disiapkan. Zaman dulu prosesi ini disertai sepasukan pengawal berkuda dengan senjata parang dan tombak, siap berperang. Siapa yang diperangi? Pihak yang ingin merebut kembali si perempuan dari tangan mereka.

Perempuan lajang tadi dibawa ke rumah keluarga laki-laki untuk dijadikan istri. Meskipun korban menjerit dan meronta-ronta minta tolong, biasanya tidak ada warga yang memberi bantuan. Sebab, pemandangan tersebut dianggap sebuah kebiasaan. Lazim terjadi sehingga tidak tampak aneh. Orang hanya berkata, “Ada yang bawa lari perempuan.” Kelanjutannya adalah urusan adat. Keluarga lelaki akan mengutus juru bicara (wunang)  menemui keluarga perempuan, memberitahu anak perempuan mereka telah ‘dibawa lari’ dan berada di rumah keluarga laki-laki. Urusan adat digelar sebagai jalan keluar.

Yappa Maradda

Sampai sekarang kebiasaan ‘bawa lari perempuan’ ini masih sering dilakukan di beberapa wilayah di Sumba. Ambil contoh di kalangan masyarakat Anakalang di Kabupaten Sumba Tengah, yang disebut dengan istilah yappa maradda. Cerita di atas digolongkan sebagai yappa maradda. Ada pula palai ngiddi mawini, namun substansinya berbeda. Dapat dikategorikan sebagai “kawin lari” antara sepasang kekasih karena cinta terlarang. Orang tua salah satu pihak, biasanya pihak perempuan, tidak menyetujui hubungan mereka. Jalan pintas diambil. Sang kekasih dibawa ke rumah keluarga laki-laki atas kesepakatan berdua. Biasanya keluarga laki-laki akan mengirim wunang, memberitahukan keberadaan anak perempuan mereka. Urusan adat akan ditempuh.

Tradisi yappa maradda dan palai ngiddi mawini masih menjadi persoalan sosial yang menonjol di Sumba Tengah, meskipun banyak pihak telah menentangnya. Yappa Maradda ditentang karena mengandung kekerasan terhadap perempuan, sementara palai ngiddi mawini mensyaratkan kematangan sosial dan ekonomi kedua sejoli membangun rumah tangga. Kerap terjadi pasangan lebih dipengaruhi oleh emosi dan rasa kasmaran.

Salah satu tokoh penentang yappa maradda adalah Salomi Rambu Iru (64), atau biasa disapa Mama Salomi. Menurut dia, yappa maradda adalah penculikan. Tergolong kriminal karena tindakan menghilangkan kebebasan seseorang dengan paksaan adalah tindak pidana. Karena itu, para pelaku yappa maradda bisa dikenai pasal di dalam KUHP. “Selain tidak etis, yappa maradda juga melanggar Pasal 335 ayat 1 KUHP tentang Perbuatan Tidak Menyenangkan, UU No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Keppres No. 36 Tahun 1990 tentang Konvensi Hak Anak serta UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.  Dalam beberapa kasus, ada anak di bawah umur yang menjadi korban,” jelas Mama Salomi.

Kegelisahan Mama Salomi terjadi sejak ia masih duduk di bangku Sekolah Pendidikan Guru (SPG) pada tahun 1975. Sahabatnya menjadi korban yappa maradda. Hati kecilnya memberontak terhadap situasi tersebut. Tapi, apa daya? Adat-istiadat yang mengagungkan dominasi laki-laki masih sangat kental di Sumba. Bahkan sampai saat ini.  “Saya sedih, juga Kegelisahan ini terus menghantuinya setiap kali ada perempuan dan anak perempuan yang menjadi korban yappa maradda. Kelompok perempuan gereja maupun kelompok tani yang ia ikuti belum menemukan solusi. Bahkan menurut Mama Salomi, sebagian kaum perempuan sendiri merasa hal itu bukan masalah. Yappa maradda tidak dianggap sebagai tindakan kekerasan terhadap perempuan.

Mama Salomi sendiri adalah ‘korban’ tradisi. Meskipun bukan korban yappa. Dirinya menikah dengan anak tantenya atas dasar keinginan orang tuanya. Dia dibelis sejak bayi. Lulus dari SPG, Mama Salomi bekerja di kantor Pemda Sumba Barat. Namun pada tahun 1976, karena harus menikah dengan anak tantenya, Mama Salomi meninggalkan pekerjaannya. Padahal, ia sudah diangkat sebagai pegawai Pemda. “Dulu ada anggapan bahwa perempuan tidak bisa jadi ‘tuan’, dia hanya di dapur saja. Akhirnya saya pulang ke kampung untuk urus rumah tangga,” ungkapnya pelan. Mama Salomi mengabdikan diri sebagai guru Sekolah Minggu juga pengurus PKK di kampungnya.

Pokja Perempuan

Tahun 1992, Yayasan Wahana Komunikasi Wanita (YWKW) terbentuk di Waihibur. Mama Salomi diundang untuk membangun diskusi tentang isu perempuan. Dalam yayasan ini ada kelompok kerja (pokja) yang khusus mengidentifikasi isu kekerasan terhadap perempuan dan mencari solusinya. Semangat Mama Salomi kembali bergelora. “Saya senang sekali ada wadah di mana kita bisa bicarakan hal-hal yang dianggap biasa oleh masyarakat, tapi sebenarnya bukan hal biasa karena menyangkut kekerasan terhadap perempuan,” ujar Mama Salomi.

Perempuan kelahiran 6 Maret 1955 ini mulai menyampaikan isu-isu tentang tradisi yang masih melanggengkan kekerasan terhadap perempuan, namun dianggap hal biasa di masyarakat. Hanya saja, menurutnya, belum ada tanggapan serius. Mama Salomi tidak tinggal diam. Dia terus membawa isu itu dalam perbincangan sehari-hari dengan rekan perempuan, tokoh gereja atau siapa saja yang dia rasa bisa diajak berdiskusi. Lama-kelamaan satu-dua orang mulai mendengar dan mendukungnya. Kepada mereka ini Mama Salomi terus membangun diskusi dan memberi penguatan. Tak peduli ia dicap aneh karena melawan arus.

Tahun 1998, Pokja Perempuan  Yayasan WKW dikukuhkan menjadi  Forum Perempuan Sumba (Foremba) yang mempunyai kekuatan hukum. Mama Salomi dipilih menjadi direktur. Geraknya mulai lebih leluasa karena ada lembaga yang menaunginya secara resmi. Ia giat membangun jejaring. Tidak hanya di Waihibur, tetapi sedaratan Pulau Sumba. Sosialisasi tentang penghentian kekerasan terhadap perempuan dan anak semakin gencar dilakukan.

Foremba menarik perhatian masyarakat. Kesadaran warga mulai terbuka. Sebagai komunitas yang secara khusus berkecimpung dengan isu perempuan, informasi mulai mengalir ke Foremba. Terutama warga melaporkan tentang KDRT dan yappa maradda. Meskipun akhirnya diselesaikan secara kekeluargaan, kehadiran Foremba sudah memberikan dampak positif.  “Orang mulai mempersoalkan yappa maradda. Juga kekerasan dalam rumah. Meskipun diselesaikan secara kekeluargaan, tetapi ini sudah langkah maju buat Foremba,” kata Mama Salomi.

Laporan tidak hanya datang dari sekitar desanya di Sumba Tengah, namun juga dari Kodi (di Kabupaten Sumba Barat Daya), Lamboya (Sumba Barat) dan Sumba Timur. “Kami pernah kasih turun perempuan yang dibawa lari ke Desa Mangganipi di Kodi. Ada juga peristiwa perempuan dari Loli, di yappa oleh orang Lamboya. Kami kasih turun juga. Kalau di Sumba Timur, kasus KDRT. Kami bangun hubungan baik dengan pihak kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Saya juga bersyukur ada undang-undang dan aturan lainnya. Jadi, kami bisa bilang ke pelaku bahwa dia sedang melawan hukum,” kata perempuan tiga anak ini.

Korban Masih Berjatuhan

Meskipun telah ada beberapa undang-undang, namun korban masih terus berjatuhan. Perempuan dan anak perempuan masih menjadi korban. “Ini terjadi karena semua pihak belum bergerak seiring-sejalan. Seringkali perempuan dan anak perempuan masih diperlakukan sebagai komoditi. Ada saja pihak-pihak yang mengambil keuntungan secara ekonomi. Ambil contoh para pelaku yappa yang dibayar sesuai perjanjian yang sudah disetujui oleh pihak laki-laki. Jadi ini bisnis sudah,” kata dia.

Tahun 1999 disahkan Undang-Undang Nomor 39  tentang Hak Asasi Manusia. Mama Salomi seperti mendapatkan tambahan amunisi. Dia terus bersosialisasi tentang penghentian kekerasan terhadap perempuan dan anak. Ia menggandeng tokoh agama,  tokoh masyarakat dan warga untuk melindungi perempuan dan anak. Ia mengedukasi warga untuk membuat laporan secara resmi ke Foremba jika menemukan kekerasan terhadap perempuan di tengah masyarakat.

Langkah Mama Salomi tidak mulus. Ia seringkali disindir, mendapat umpatan, bahkan diancam. Apalagi jika pelaku dan keluarganya ia kenal. “Yang berat itu kalau ternyata pelaku adalah keluarga sendiri. Saya dicap melawan mereka. Kita orang Sumba ini di mana-mana ada keluarga. Ditambah lagi karena hubungan kawin-mawin, maka bisa saja kita kenal itu orang yang bikin masalah,” ujar Mama Salomi.

Menurut Mama Salomi, kasus yappa maradda menjadi rumit ketika adat sudah masuk ke dalamnya. Mediasi dan intervensi hukum sering tidak diindahkan. “Kalau seorang perempuan korban yappa maradda sudah masuk ke rumah adat keluarga laki-laki pelaku, dan si korban sudah  disambut dengan ritual adat, urusannya menjadi sulit. Ada berbagai aturan adat yang masih dipegang teguh oleh masyarakat di sini,” ujarnya.

“Tahun 2017 juga, saya pernah bantu kasus yappa maradda. Korbannya sarjana, pelakunya juga sarjana. Ini nona dorang sudah dikasih naik ke rumah. Sudah pukul gong. Karena nona dan orang tua tidak setuju, ada keluarga yang beri tahu saya. Kita koordinasi dengan aparat keamanan dan pemerintah. Akhirnya nona bisa pulang kembali ke orang tua,” cerita Mama Salomi.

Pada beberapa kasus yappa maradda yang ia selesaikan, ada surat pernyataan yang ditandatangani kedua belah pihak, disaksikan aparat keamanan. Isinya adalah tidak melanjutkan urusan adat dan perempuan dikembalikan kepada keluarganya. Mama Salomi sendiri merasa heran meski sudah begitu banyak kebijakan perlindungan perempuan dan anak, namun tetap saja yappa berulang.  “Saya tidak tahu persis kenapa orang tetap nekat buat ini. Padahal, ada hukumnya bisa masuk penjara,” kata dia. Berlakunya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang  Penghapusan  Kekerasan  dalam Rumah Tangga dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak  (serta perubahannya Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014) dan sejumlah kebijakan lainnya tentang perlindungan perempuan dan anak,  tidak menjamin kasus yappa ini berhenti. Hingga tahun 2018 masih ada beberapa peristiwa yappa maradda.

Bergerak Bersama

Dalam menyelesaikan kasus-kasus perempuan dan anak, tidak jarang Mama Salomi harus menggunakan dana sendiri. Baginya ini adalah bagian dari cita-cita pribadinya agar semakin sedikit perempuan yang menjadi korban ketidakadilan. Mama Salomi optimis akan semakin banyak orang yang berdiri bersama para korban. “Banyak yang peduli sekarang. Ada pihak pemerintah, ada LSM, gereja, ada pribadi. Ya saya harap peduli bukan hanya jatuh hati tapi ada bukti misalnya kebijakan, kampanye bersama, sepakat bersama ada perubahan dalam tatanan adat kita,” kata perempuan yang sehari-hari bertani sayur ini.

Hal lain yang sedang diperjuangkan Mama Salomi adalah hak waris  tanah bagi anak perempuan di Sumba Tengah. Dalam tradisi Sumba, seorang anak perempuan dianggap sebagai pihak yang ‘keluar’ dari keluarga sehingga tidak mendapatkan warisan.

Baku Atur dalam Yappa

Ruke Dedu, tokoh adat dan wunang  (juru bicara) dari Desa Malinjak, Sumba Tengah  mengatakan yappa tidak sembarang dilakukan. Harus ada hubungan kekerabatan antar keluarga laki-laki dan keluarga perempuan, yakni pihak perempuan dalam adat setempat merupakan pihak yang pantas untuk dinikahi. Misalnya ayah dari perempuan  bersaudara atau  memiliki hubungan keluarga dengan ibu dari keluarga laki-laki (pelaku). Istilahnya, anak om (paman) dari pelaku. Dalam adat Sumba secara umum, memperistri anak om adalah perkawinan yang diharapkan.

Reku menambahkan bahwa dalam tradisi di Sumba Tengah, yappa marada bisa dibagi dua. Pertama, orang tua kedua belah pihak telah bersepakat menikahkan anak-anak mereka. Namun rencana tersebut tidak diketahui anak perempuan dan sama sekali tidak berhubungan dengan si laki-laki. Kedua, anak perempuan dan kedua orang tuanya tidak tahu tentang niat ini. Hanya keinginan sepihak dari keluarga laki-laki.

Jika korban sudah berada di rumah keluarga laki-laki, wunang diutus memberi tahu keluarga perempuan bahwa anak mereka telah dibawa ke kampung pihak laki-laki. Wunang biasanya membawa seekor kuda dan sebilah parang untuk diserahkan kepada orang tua perempuan.  Kuda dan parang bermakna pemberitahuan bahwa anak perempuan ada di keluarga laki-laki yang akan dipinang menjadi istri. “Ini apabila proses yappa  dilakukan di jalan, bukan di rumah korban,” terang Reku Dedu.

Namun jika yappa dilakukan di rumah perempuan, maka keluarga laki-laki akan mengikat seekor kuda di tiang rumah. Bila ada keluarga perempuan yang “mengejar” para pelaku yappa, maka mereka akan diberi sebilah parang oleh pihak lelaki. Jadi menurut Reku Dedu, perlu persiapan matang untuk yappa perempuan. Selain persiapan adat, pembagian tugas sudah dilakukan dengan matang: Siapa yang akan menangkap, memuat, kendaraan mobil atau kuda, kapan dilakukan, dan di mana?  “Keluarga laki-laki harus siap baik-baik. Memang ada orang yang biasa dipakai untuk tukang yappa. Kalau keluarga perempuan kejar, dia sudah yang tugas menghadapi mereka,” terangnya.

Biasanya saat akan naik ke rumah adat keluarga laki-laki, perempuan akan diperciki dengan air. Tujuannya agar rumah tangga yang akan dibangun terberkati.  Meskipun juga ada yang menafsirkan air tersebut mempunyai kekuatan magis agar si perempuan luluh dan mengiyakan seluruh keinginan keluarga laki-laki. “Kalau sudah pukul gong, tidak bisa kasih turun sudah. Satu kampung sudah kumpul, tikam babi. Makan dan minum  sama-sama. Jadi dianggap sah sudah. Memang sekarang sudah ada yang dikasih turun kembali. Ada aparat yang bantu keluarga perempuan,” kata Reku Dedu. (Bersambung)

Penulis, dari Komunitas Solidaritas Perempuan dan Anak (SOPAN)  Sumba, dan tinggal di  Waingapu Sumba Timur. Artikel ini bersumber dari https://pgi.or.id/melawan-tradisi-culik-perempuan-di-sumba

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.