Rahmi Marlinda serius mencatat beberapa temuannya. Ada sisa-sisa tumbuhan dan kotoran hewan sebagai bahan dasar pembuatan pupuk. Ada pula kombinasi rempah-rempah untuk mengusir hama.
Rahmi adalah satu dari 33 petani alami dari berbagai daerah yang mengikuti Pendidikan Pertanian Alami Dasar di Desa Ciasihan, Kabupaten Bogor yang diadakan Yayasan Bina Desa. Pada 22-25 Mei 2024, mereka jadikan Rumah Belajar Pertanian Alami sebagai laboratorium ilmiah. Di sana, para petani mengumpulkan beberapa tanaman untuk mengetahui jenis dan karakteristik hama, serta bagian tanaman yang diserang. Juga, saling berbagi pengetahuan tentang nutrisi, kondisi dan siklus pertumbuhan tanaman, hingga struktur dan ekologi tanah.
Hasil identifikasi itu mereka catat dalam beberapa kertas plano, yang kemudian ditempelkan pada dinding-dinding ruangan. “Sumber daya alam di sekitar bisa dimanfaatkan untuk bahan dasar pertanian, baik itu sisa-sisa tumbuhan maupun kotoran hewan.” kata Rahmi, belum lama ini.
Rahmi adalah perwakilan petani perempuan dari Serikat Ingong Meutani Aceh Barat (SIMAB). Sejak 2014, dia dan perempuan petani SIMAB menerapkan pertanian alami. Mereka terbiasa meramu bahan-bahan alam untuk membuat pupuk.
Perempuan petani SIMAB juga membuat pestisida dengan memanfaatkan rempah-rempah seperti bawang putih dan jahe. Kedua tanaman ini mereka campur dengan dedaunan beraroma menyengat dan terasa pahit. Kombinasi aroma dan rasa ini dipercaya membuat hama enggan menyerang tanaman.
Rahmi bilang, penggunaan bahan-bahan alami itu berkontribusi menjaga keseimbangan ekosistem, kondisi yang disebutnya banyak mengalami gangguan. Karena penggunaan pestisida kimia, tidak hanya membasmi hewan penyerang tanaman juga predator alaminya. Padahal, pertumbuhan predator alami dinilai tidak lebih cepat dari perkembangbiakan hewan yang dikategorikan sebagai hama. “Tanpa ada musuh alami, kita menciptakan kelompok hama yang benar-benar mengganggu,” katanya. Meski tidak seratus persen menghilangkan hama, penggunaan bahan-bahan alami itu disebut efektif menjaga produktivitas tanaman.
Awaluddin Rusdi, petani asal Polewali Mandar menceritakan, ketika hama wereng menghabisi tanaman petani lain, sebagian besar tanah dan tanaman masih terbilang sehat. Kondisi itu, katanya, buah dari terjaganya ekosistem pertanian, daya tahan tanaman yang makin kuat, serta predator alami. Dia mengatakan, tetap ada sebagian kecil tanaman yang rusak akibat wereng, namun dianggap sebagai ‘jatah’ bagi makhluk lain untuk memanfaatkan sumber kehidupan.
“Karena salah satu prinsip pertanian alami itu berbagi dengan makhluk lain. Tidak bisa kita tanam, lalu 100 persen kita ambil. Istilah petani itu, kalau mereka ambil bagian mereka ya sesuai porsinya.” Bagi dia, cara petani alami memperlakukan hama merupakan bentuk kesadaran bahwa manusia hanyalah salah satu pelaku dalam ekosistem pertanian. Dalam semesta pertanian, terdapat berbagai makhluk hidup yang turut berperan menjaga kesehatan tanah dan tanaman.
Kehadiran mereka, pada dasarnya, disebut memudahkan kerja-kerja petani hingga intensitas ke sawah semakin berkurang. Hubungan itu, ujar Awaluddin, telah dikaburkan pertanian konvensional dengan menjadikan manusia sebagai pelaku tunggal. “Dampaknya, petani harus urus tanaman, hama, penyakit dan lain-lain. Repotnya kembali ke manusia dan harus kerjakan sendiri,” kata lelaki yang sejak 2015 menerapkan pertanian alami ini.
Pendidikan Pertanian Alami Dasar dihadiri 33 petani dari berbagai daerah yang telah mempraktikkan pertanian alami. Foto: Themmy Doaly/Mongabay Indonesia
Orang mau beli mahal
Pertanian alami merupakan istilah yang diperkenalkan Cho Han Kyu, peneliti dan praktisi pertanian asal Korea Selatan. Metode ini berupaya memaksimalkan potensi bawaan dari suatu bentuk kehidupan dan harmoninya, dengan tidak memaksa tanaman untuk menghasilkan lebih dari kemampuannya.
Menurut Cho, metode pertanian alami harus ditempuh dengan sumber daya tersedia di alam tanpa bergantung pada barang-barang di pasar. Dengan cara itu, dia percaya, petani akan menjadi tuan dari lahan-lahan pertaniannya, serta dapat mempertahankan kehidupan dan kesehatannya.
Wardiono, petani alami dari Klaten membuktikan gagasan ini. Penerapan metode pertanian selaras alam ini memberinya pendapatan ekonomi dua kali lebih banyak dari petani konvensional. Padahal, sejak 2009 dia nyaris tidak pernah memberi pupuk maupun pestisida untuk padinya.
Di pasaran, beras yang dijualnya bisa mencapai harga 20 ribu rupiah per kilogram. Beras hasil pertanian konvensional berkisar 11 ribu rupiah per kilogram. “Sejatinya, perbedaan pertanian alami dengan pertanian konvensional adalah proses. Orang mau beli dengan harga lebih mahal, karena penilaian kesehatan,” katanya.
Wardiono menilai, keuntungan ekonomi hasil pertanian alami itu juga merupakan upaya membalik model pertanian konvensional. Sebab, selama ini kebutuhan pertanian dikendalikan industri dengan harga mahal. Di sisi lain, hasil panen petani dipatok dengan harga murah.
Sementara, melalui pertanian alami, petani dapat memanfaatkan bahan-bahan yang disediakan alam secara cuma-cuma. Karena faktor kesehatan, hasil pertanian alami laku dengan harga lebih tinggi dibanding hasil pertanian konvensional.
Tomat hasil tanam organik. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia
Penguatan Petani Pendidik
Sejak 2005, Yayasan Bina Desa telah mempromosikan ide pertanian alami, baik di tingkat nasional, regional maupun komunitas. Pertemuan di Bogor menjadi ajang mempertajam pengetahuan petani pendidik dari berbagai daerah.
Maritsa Zuchrufa, bidang pendidikan dan pengorganisasian YayAsan Bina Desa mengatakan, kegiatan itu dihadiri petani dari Sumatera, Sulawesi dan Jawa. Para peserta yang sudah menerapkan pertanian alami ini, dibekali sejumlah pengetahuan agar mereka dapat memperluas jejaring pertanian alami di masing-masing daerah. “Kalau tidak begitu, mentah di awal. Ketika mereka gagal, kembali lagi ke pertanian konvensional. Kalau kesadaran sudah ditata, ketika gagal mereka akan coba lagi,” ujar Maritsa.
Petani, adalah peneliti di lingkungannya. Mereka harus mengenali keadaan tanah dan tanaman, sesuai kondisi di masing-masing daerah. Juga, memperlakukan lingkungan sebagaimana manusia ingin diperlakukan. Selain itu, katanya, para petani juga diingatkan pentingnya membangun nilai-nilai gotong royong dalam mengelola lahan pertanian. Dia percaya, cara ini merupakan solusi mempermudah berbagai kerumitan yang dihadapi petani.
“Biasanya teman-teman (petani) membuat pupuk itu bersama-sama, hasilnya dibagi. Karena, butuhnya cuma sedikit, ketika bikin bareng-bareng itu tidak akan terasa,” katanya. Ajang tukar pengetahuan antara petani juga untuk memutakhirkan modul pertanian alami, yang akan jadi referensi para petani alami di Indonesia. Pemutakhiran itu seturut kondisi dan temuan di masing-masing daerah.
Dia berharap, pendidikan pertanian alami dapat memperkuat kemandirian petani. Sekaligus, memformulasikan metode belajar, pengamatan dan praktik yang sesuai dengan kondisi di berbagai daerah. “Harapannya, mereka yang ikut pendidikan pertanian alami, paling tidak bisa jadi fasilitator di komunitasnya masing-masing.”
Penuturan Maritsa tampak relevan dengan situasi yang dihadapi Rohman, pengajar dan salah satu pendiri Lembaga Pendidikan Islam Ibnul Fallaah. Lembaga pendidikan formal yang didirikan aktivis gerakan tani pada 2008 ini, terletak di Desa Bangsal, Kabupaten Ogan Kemering Ilir.
“Tujuan awalnya, agar anak petani tamatan sekolah dasar di Desa Bangsal dapat mengakses pendidikan ke jenjang berikutnya,” katanya. Ibnul Fallaah dipilih sebagai nama Pondok Pesantren. Rohman bilang, dalam terjemahan Bahasa Indonesia, padanan kata itu berarti anak petani.
Sejak tahun ajaran 2016/2017, pertanian alami jadi salah satu pelajaran dalam kelas pilihan bernama Green Islamic School (GIS). Melalui mata pelajaran itu, santri dan santriwati berkesempatan memperoleh teori dan praktik pertanian alami. “Kami juga memberi pemahaman secara ideologi, kenapa pertanian alami lebih baik dari pertanian konvensional, serta kaitannya dengan alam,” katanya.
Dalam praktiknya, santri dan santriwati diajak menanam sayur-mayur pada lahan percontohan milik pesantren. Siswa-siswi di sana juga diajarkan cara menyediakan benih, pupuk dan pestisida dari bahan-bahan yang tersedia di alam, termasuk cara memperlakukan tanah dan tanaman.
Riset dan Advokasi
Selain memperkuat edukasi, Yayasan Bina Desa tengah mengembangkan riset dan advokasi tentang pertanian alami. Lodji Nurhadi, Kepala bidang Advokasi Yayasan Bina Desa mengatakan, sedang mendorong platform advokasi di tingkat kabupaten. Langkah itu dilakukan dengan identifikasi dan pemetaan isu pertanian oleh jejaring organisasi di sembilan kabupaten. Beberapa persoalan yang ditemukan adalah kerusakan ekosistem pertanian, kerusakan lingkungan dan krisis iklim.
Saat bersamaan, juga dikembangkan riset terkait dampak perubahan iklim terhadap petani. Hasil riset ini, kata Nurhadi, akan melengkapi temuan-temuan tadi. “Tentu temuan dan rekomendasinya akan beragam, tapi semangatnya berujung pada pertanian alami.” Bagi dia, upaya-upaya itu menjadi cara untuk menjawab ancaman krisis pangan di masa depan. Nurhadi mendasari keyakinannya pada temuan bahwa 80 persen suplai pangan dunia didapatkan dari petani kecil.
Nurhadi berharap, temuan dalam kertas kebijakan dan riset yang sedang disusun dapat mendorong terbentuknya infrastruktur kebijakan di tingkat nasional, memperkuat pertanian alami dan memajukan kemandirian pangan nasional. Tidak kalah penting, memastikan keberlanjutan generasi petani. “Bagaimana kita punya pangan berkelanjutan, kalau kita tidak melestarikan pertanian?” kata Nurhadi.
Selain edukasi, Yayasan Bina Desa tengah mengembangkan riset dan advokasi tentang pertanian alami. Foto: Themmy Doaly/Mongabay Indonesia
Sumber: Mongabay.co.id
https://www.mongabay.co.id/2024/06/24/mandiri-pangan-selaras-alam-dengan-pertanian-alami/