Selama pandemi COVID-19, anak diharuskan belajar dari rumah dengan menggunakan perangkat elektronik yang terhubung dengan internet. Hal ini merupakan kemudahan yang secara global dilaksanakan termasuk di Indonesia agar pendidikan anak tetap berjalan dengan baik. Internet sangat berperan penting dalam mendukung pendidikan anak, memberi mereka informasi tentang cara tetap aman, dan memastikan mereka tetap menjalin relasi sosial. Dengan internet dapat pula menjadi alat ampuh bagi anak untuk terhubung, bereksplorasi, belajar, dan terlibat dalam langkah-langkah kreatif dan positif.
Di sisi lain, dengan intensitas anak dalam penggunaan teknologi dan internet sejak pandemi hingga saat ini semakin membuat mereka rentan menjadi korban kejahatan di Internet dan target predator seksual. Survei yang dilakukan ECPAT Indonesia pada tahun 2020 terhadap 1203 responden anak usia 6 hingga 17 tahun menemukan bahwa terdapat 287 bentuk pengalaman buruk saat berinternet di masa pandemi, salah satunya menerima gambar/video yang menampilkan pornografi. Selain itu ada juga potensi bahaya yang harus diwaspadai saat anak-anak daring. Salah satu risiko tersebut adalah eksploitasi dan pelecehan seksual anak secara daring (OCSEA/ Online Child Sexual Exploitation And Abuse).
Indonesia termasuk dalam 10 negara teratas dengan kasus kekerasan seksual anak online tertinggi (sejak 2005). Hal ini didukung oleh survei bahwa 3 dari 10 anak mengalami eksploitasi dan kekerasan seksual online (ECPAT, DtZ 2020). Padahal Hak anak untuk dilindungi dari eksploitasi dan penganiayaan seksual, termasuk prostitusi dan keterlibatan dalam pornografi sudah tertuang ke dalam Pasal 34 KHA dan juga hak anak untuk dilindungi dari eksploitasi dalam bentuk apapun yang merugikannya terdapat di Pasal 36 KHA sebagai bentuk perlindungan anak di ranah daring.
Apa itu Eksploitasi dan Pelecehan Seksual Anak di Ranah Daring?
Eksploitasi dan pelecehan seksual anak daring (Online Child Sexual, Exploitation and Abuse atau OCSEA) mengacu pada situasi yang melibatkan teknologi digital, internet dan komunikasi di beberapa titik selama kontinum pelecehan atau eksploitasi. OCSEA dapat terjadi sepenuhnya melalui daring atau melalui campuran interaksi daring dan tatap muka antara pelaku dan anak-anak. Dari hasil penelitian ECPAT, INTERPOL dan UNICEF, menemukan anak-anak di Indonesia menjadi sasaran eksploitasi dan kekerasan seksual di ranah daring, tetapi tidak melaporkannya. Memilih tidak memberi tahu siapapun tentang apa yang terjadi pada mereka menghubungkannya dengan kekhawatiran tidak dianggap serius, ketakutan tidak ada yang akan percaya atau memahami situasi mereka atau tidak menganggap kejadian itu cukup serius untuk dilaporkan. Misalnya, seorang anak yang ditawari uang atau hadiah untuk gambar seksual dan dua anak yang gambar seksualnya dibagikan tanpa izin tidak melapor karena takut tidak ada yang mengerti situasinya.
Kenali Bentuk-bentuk OCSEA
Bentuk-bentuk inilah merupakan penyalahgunaan internet dan teknologi digital untuk tujuan eksploitasi dan pelecehan seksual terhadap anak. Mulai dari berbagi materi yang menampilkan kekerasan/eksploitasi anak, grooming online, sexting, pemerasan seksual/sextorting, streaming langsung, dan cyber-bullying merupakan kejahatan terhadap anak yang membutuhkan respons global mendesak, multi sektoral, dan menyeluruh. Bentuk kejahatan ini biasanya tersimpan dalam arsip permanen dalam bentuk gambar atau video digital, dan terus disebarluaskan secara daring, sehingga mengorbankan anak berulang kali. Karena risiko bahaya yang terus berkembang dan bertambah secara eksponensial, upaya pencegahan dan perlindungan menjadi lebih sulit buat pemerintah, penyedia layanan perlindungan anak, orangtua/pengasuh dan anak itu sendiri ketika tidak terjalin sinergi antara satu sama lain.
Bagaimana mencegah OCSEA?
Kemajuan menuju konektivitas internet secara luas di seluruh dunia, semakin mendesak untuk menginvestasikan keselamatan dan perlindungan anak secara daring. Sejumlah pemerintah di seluruh dunia semakin mengakui kehadiran ancaman eksploitasi dan pelecehan seksual anak secara daring, dan beberapa di antaranya telah mengambil langkah-langkah memperkenalkan peraturan perundang-undangan yang diperlukan dan menempatkan sejumlah tindak pencegahan. Akan tetapi menurut KEMENKO PMK (republika.co.id), setidaknya ada 4 langkah utama yang dapat dilakukan orang tua atau pengasuh sebagai lingkungan terdekat anak untuk melindungi dari eksploitasi dan kekerasan seksual di ranah daring, yaitu orangtua perlu melibatkan diri dan dekat dengan aktivitas daring sang anak, termasuk dalam memahami game online atau hal apa saja yang ia lakukan. Kedua, orang tua perlu mengedukasi diri dan anak mereka terhadap pencegahan dari eksploitasi dan kekerasan seksual yang dapat terjadi melalui game online. Ketiga, pastikan seluruh perangkat gawai dan komputer saling terhubung dan terlindungi agar dapat memantau aktivitas anak dari berbagai bentuk kejahatan seksual sebagai tindakan pencegahan. Terakhir, laporkan segala bentuk tindakan kekerasan dan eksploitasi seksual jika orang tua/pengasuh mengetahui kejadian kejahatan seksual anak sebagai tindakan lebih lanjut, dapat menghubungi PATBM/Shelter Warga yang ada di tingkat desa/kelurahan, DP3A/UPT PPA kab/kota, unit teknis terkait, melalui SAPA 129; TePSA 1500771, Komnas Perempuan: pengaduan@komnasperempuan.go.id, dan KPAI.
Implementasi Program OCSEA sebagai bentuk Pencegahan dari Unicef melalui Yayasan BaKTI
Membangun ruang yang aman dan ramah anak di era digital seperti sekarang ini tidak hanya menjadi tugas para orang tua/pengasuh, akan tetapi menjadi tugas bersama yang harus saling bergandeng tangan untuk melakukan perlindungan anak di ranah daring. Untuk itu UNICEF melalui Yayasan BaKTI bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan akan mengimplementasikan program OCSEA untuk tahun 2023 – 2024 di 20 desa yang ada di 4 Kabupaten/ Kota (Makassar, Maros, Bone dan Wajo) sebagai wujud dalam mencegah dan sekaligus merespon ketika terjadi kasus kejahatan seksual eksploitasi dan kekerasan seksual di ranah daring.
Program ini diawali dengan koordinasi serta sosialisasi mengenai Pentingnya Perlindungan Anak di Ranah Daring ke 20 desa/kelurahan yang merupakan wilayah intervensi OCSEA berdasarkan rekomendasi dari DP3A Provinsi dan kabupaten/kota. Wilayah-wilayah tersebut diantaranya: Makassar 6 kelurahan: Manggala (Kec. Manggala), Tamamaung (Kec. Panakukang), Pattingalloang (Kec. Ujung Tanah), Batua (Kec. Manggala), Maccini Sombala (Kec.Tamalate), dan Bangkala (Kec. Manggala). Maros 4 Desa: Bontomarannu (Kec. Lau), Pajukukang (Kec. Bontoa), Je’netaesa (Kec.Simbang), dan Temmapaduae (Kec. Marusu). Bone 6 Desa: Mallari (Kec.Awangpone), Cumpiga (Kec. Awangpone), Ajjalireng (Kec . Tellu Siattingnge), Welado (Kec. Ajangale), Malimongeng (Kec. Salomekko), dan Abbumpungeng (Kec. Cina). Wajo 4 Desa: Tempe (Kec.Tempe), Limporilau (Kec.Belawa), Mattirowalie (Kec.Maniangpajo), dan Lompoloang (Kec.Pitumpanua)
Melalui program pencegahan OCSEA di desa/kelurahan diharapkan memperkuat kapasitas dan pemahaman anak sebagai kelompok sasaran, teman sebaya sebagai pelopor dan pelapor, orang tua/pengasuh dan masyarakat yang tergabung di sebuah komunitas/organisasi, pemberi layanan perlindungan anak di tingkat desa/kelurahan (PATBM/PUSKESOS/Shelter Warga) sebagai pihak yang akan melakukan pencegahan dan respon, serta pemerintah desa/kelurahan sebagai leading utama yang paling dekat dengan masyarakat. Dengan intervensi yang dilakukan, penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dilakukan dengan cakap dan dapat memberikan perlindungan bagi anak dari segala bentuk kejahatan seksual di ranah daring.