Luwu Utara adalah kabupaten di Sulawesi Selatan yang berbatasan langsung dengan Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah. Di kabupaten ini terdapat dua kecamatan yang lokasinya tepat berada di tengah-tengah Pulau Sulawesi sehingga dijuluki sebagai jantung Sulawesi. Seko dan Rampi adalah dua kecamatan tersebut. Berada di tengah-tengah Pulau Sulawesi membuat dua kecamatan ini sangat sulit untuk diakses terlebih melalui jalur darat. Lebatnya hutan Sulawesi, terjalnya pegunungan yang berhias tebing dan jurang, jalanan yang berlumpur adalah beberapa tantangan yang harus di taklukkan.
Kecamatan Rampi berbatasan dengan Sulawesi Tengah di sebelah Utara, Kecamatan Masamba di sebelah selatan, Kecamatan Seko di sebelah Barat, dan Mangkutana-Luwu Timur di sebelah Timur. Terdapat enam desa dalam wilayah Kecamatan Rampi, yaitu Desa Onondowa sebagai Ibu Kota Kecamatan, Desa Sulaku, Desa Leboni, Desa Tedeboe, Desa Dodolo dan Desa Rampi. Selain jalur darat, untuk menuju ke kecamatan ini juga bisa melalui jalur udara. Penerbangan dari Bandara Andi Jemma Masamba ke Rampi dibuka dari hari Senin hingga Sabtu dengan waktu terbang sekitar 15 menit.
Membelah Hutan Menuju Leboni
Beberapa tukang nampak sigap menyusun barang muatan sesuai pesanan orang-orang di Rampi. Semen 2 sak yang sudah dibungkus karung tersusun rapi di bagian depan motor. Jerigen 35 liter berisi bensin diletakkan di bagian belakang. Di atas jerigen tersebut masih ada kotak kardus yang telah dibungkus rapi dan di atas kardus masih disisipkan lagi jerigen berisi bensin atau pertalite 5 liter sebagai bahan bakar cadangan dan botol berisi oli bekas untuk melumasi rantai motor dalam perjalanan nantinya.
Bagian luar dari batok motor juga tak luput dari gantungan berbagai barang yang menempel dengan rapi. Semua barang diikat dengan tali yang terbuat dari karet ban dalam. Orang-orang di sana biasa menyebut nya “gata”. Kelengkapan onderdil sepeda motor dan kemampuan memperbaiki kendaraan adalah keterampilan yang wajib dimiliki tukang ojek di kecamatan ini. Jenis kendaraan motor yang digunakan bukan motor trail yang khusus dirancang menghadapi medan ekstrim, melainkan motor-motor 4 yang sudah jarang terlihat di kota besar.
Rombongan kami berjumlah 8 motor dan berangkat melewati hutan dan sungai. Suara motor menggema memecah kesunyian hutan. Setelah 2 jam perjalanan, kami tiba di Desa Pincara Dusun Salulebba. Dusun terakhir sebelum memasuki hutan belantara dan tantangan yang sesungguhnya. Lebatnya hutan di jantung Sulawesi menyambut kedatangan kami. Pohon-pohon besar berdiri menjulang ke langit, tanaman merambat menutupi setiap pohon membuatnya saling menyatu. Kondisi ini menyulitkan cahaya menembus ke dalam, tak heran jika batang-batang pohon besar ini berbalut lumut yang tebal.
Tanah yang dilalui didominasi pasir dan batuan gunung. Bila hujan turun, tanah yang dilalui akan berubah menjadi lumpur sedalam lutut orang dewasa. Tidak jarang kami harus meniti tanjakan dengan tikungan yang menyerupai huruf S. Di setiap tikungan kami harus ekstra hati-hati karena lengah sedikit saja risikonya adalah jatuh ke jurang yang dalam. Dibutuhkan 7 jam perjalanan untuk sampai di base camp kedua. Kami harus bermalam di hutan untuk menghimpun kembali tenaga sebelum melanjutkan perjalanan esok hari.
Keesokan harinya, kami melanjutkan perjalanan setelah mengisi perut dengan makanan seadanya. Medan yang ditempuh hari ini tiga kali lebih sulit dari yang kemarin. Jika kemarin jalan yang dilalui masih agak lebar kali ini benar-benar jalan setapak yang lebarnya kurang dari 1 meter. Di satu sisi ada rumput, batang pohon dan akar kayu dan di sisi lain ada jurang dengan dasar yang samar-samar terlihat.
Setelah 3 jam perjalanan tibalah kami di 'terowongan'. Ini bukan terowongan yang sebenarnya melainkan parit dengan kedalaman 8 hingga 10 meter. Jalur ini hanya bisa dilalui oleh satu motor saja. Parit yang sempit ini juga memiliki turunan dan tanjakan yang curam. Tidak jarang lutut dan betis kami berbenturan dengan batu dan akar kayu. Tak ada waktu untuk meringis kesakitan, sebab jika lengah sedikit saja, batu-batu yang lain masih mengantri untuk mencium betis anda.
Leboni, Desa di Jantung Sulawesi
Keindahan alam yang nampak dari ketinggian menyambut kami begitu memasuki Desa Leboni. Desa yang di kepalai oleh Ibu Jumiati Parman ini terdiri dari 2 dusun yaitu Dusun Beloi dan Dusun Welande. Masyarakat di sini kebanyakan bersuku Pamona. Sungai dengan air yang jernih berpadu dengan irama gemercik air dari sela-sela bebatuan yang menonjol sungguh menggoda hati untuk berendam dan merilekskan otot-otot tubuh yang lelah selama perjalanan. Padang ilalang yang menguning terbelah oleh jalan setapak nampak seperti di negeri sebuah dongeng. Nampak pula hamparan sawah di punggung bukit dan beberapa kerbau yang gemuk.
Kondisi Leboni tidak jauh berbeda dengan desa-desa lain di Kecamatan Rampi. Infrastruktur masih menjadi kendala utama selain harga barang yang melambung tinggi. Di desa ini sudah ada gedung sekolah dasar, Puskesmas Pembantu, Kantor Desa, lapangan serbaguna dan rumah ibadah. Desa ini sudah memiliki pembangkit listrik sendiri yang bertenaga air dan digunakan pada malam hari saja. Iuran listrik untuk satu rumah per bulan berkisar 15 ribu hingga 30 ribu rupiah. Mesin ini sudah berkali-kali rusak saat ini tidak lagi bekerja optimal sebab beberapa suku cadang yang rusak belum diganti.
Masyarakat Desa Leboni mayoritas adalah petani dengan kopi dan kakao sebagai hasil kebun utama. Hasilnya dijual ke Kota Masamba. Leboni salah satu penghasil beras terbaik di Kecamatan Rampi. Beras di sini rasanya enak karena para petaninya sama sekali tidak menggunakan pupuk dan pestisida kimiawi. Minimnya infrastruktur adalah alasan utama Leboni dan desa-desa lain di kecamatan ini menjadi tertinggal. Benar ada pesawat kargo yang mengangkut barang-barang kebutuhan dasar namun barang-barang lainnya termasuk bahan bakar masih didistribusikan melalui jalur darat menggunakan ojek.
Para tukang ojek di Rampi mematok harga 7.500 rupiah per kilo untuk mengangkut semen, sedangkan untuk biaya angkut bahan bakar 5.000 rupiah. Biaya perjalanan dengan menumpang ojek dari Leboni ke ibukota kecamatan adalah 600 ribu per orang. Nilai ini masing terhitung kecil jika dibandingkan dengan risiko nyawa yang dipertaruhkan di sepanjang perjalanan. Tukang ojek di Leboni kebanyakan adalah remaja berusia 16-18 tahun. Umumnya mereka sekolah sambil bekerja. Tidak sedikit juga yang putus sekolah dengan alasan guru sekolah pun jarang datang ke sekolah.
Sejatinya pemuda-pemuda di kecamatan ini juga mendambakan pendidikan seperti halnya di kota karena mereka juga bercita-cita memiliki hidup yang lebih baik. Namun kenyataannya mereka mempertaruhkan nyawa menjadi supir ojek di usia belia demi membantu keluarga memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Desa Leboni tentu saja bukanlah satu-satunya daerah terpencil yang memerlukan perhatian khusus dari pemerintah. Akses jalan jelas menjadi kebutuhan utama untuk dapat menunjang pembangunan di sana. Mewujudkan sila ke 5 Pancasila adalah tanggung jawab kita bersama. Oleh sebab itu sudah sepatutnyalah semua elemen masyarakat dan pemerintah harus selalu bekerja sama saling bahu-membahu dalam menjalankan roda pembangunan.