Beberapa waktu lalu publik dihebohkan dengan penangkapan Nurdin Abdullah. Penangkapan Gubernur Selatan ini menyita perhatian masyarakat luas, mengingat Nurdin Abdullah selama ini dikenal sebagai kepala daerah yang cukup bersih dan berprestasi. Selama dua periode menjadi bupati, misalnya, dia mampu membawa Bantaeng menjadi kabupaten yang maju di Sulawesi Selatan. Bahkan, Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin ini ini pernah dinobatkan sebagai tokoh anti korupsi.
Penangkapan Nurdin Abdullah menambah daftar kepala daerah yang tersandung kasus korupsi. Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), sebanyak 294 kepala daerah tersandung kasus tindak pidana korupsi. 11 kasus di antaranya, terkait dengan kepentingan pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Alasan lain yang membuat masyarakat kaget dengan kasus Nurdin Abdullah karena dia merupakan kaum intelektual atau akademisi. Tentu tak ada undang-undang yang melarang kaum intelektual terjun ke dunia politik. Sebab, kehadiran kaum intelektual di panggung politik diharapkan mampu memperjuangkan nilai-nilai keadilan dan mampu berdiri di atas kepentingan diri sendiri dan partainya.
Menurut Amien Rais (2008), salah satu ciri yang sama di antara para intelektual adalah mereka mampu keluar dari kungkungan masyarakat, memiliki pandangan kemanusiaan universal, tidak segan-segan membedah kebusukan kekuasaan politik dan ekonomi mereka sendiri. Mungkin dapat dikatakan bahwa kaum intelektual ini mewarisi tradisi kenabian.
Namun, fakta justru berkata lain. Tidak sedikit kaum intelektual yang menggadaikan integritasnya untuk kepentingan sesaat. Bukannya mengabdi pada kepentingan rakyat, mereka malah menjadi diktator dan bencana bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Mungkin persoalan ini yang dikhawatirkan oleh Edward Said bahwa kekuasaan selalu membius kaum intelektual. Seorang intelektual harus selalu menjaga jarak agar tidak jatuh terperangkap dalam kekuasaan.
Tentu saja kita boleh tak bersepakat dengan pendapat Edward Said, karena tidak semua kaum intelektual yang masuk ke dunia politik menjadi koruptor semua. Masih banyak kita saksikan intelektual-politisi yang berpandangan luas dan benar-benar mengabdi pada keadilan.
Butuh Keteladanan
‘Mati satu tumbuh seribu’. Mungkin peri bahasa ini sangat cocok untuk menggambarkan persoalan korupsi di negeri ini yang sudah menjalar dari pusat hingga daerah. Tak heran jika indeks persepsi korupsi Indonesia menurun dibandingkan tahun sebelumnya.
Hal ini terlihat dari skor indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia pada 2020 yang dikeluarkan Transparency International (TI). Indonesia hanya mengantongi 37 poin, lebih rendah tiga poin dari 2019. Dari 180 negara dunia dalam penilaian TI, IPK Indonesia bertengger di peringkat ke-102 pada 2020, selevel dengan Gambia yang punya skor sama.
Masyarakat sudah paham bahwa korupsi merupakan persoalan besar yang harus diperangi bersama. Menjamurnya korupsi itu pertanda kemunduran demokrasi dan dapat menghambat pembangunan dalam jangka panjang. Integritas yang seharusnya dijunjung tinggi malah digadaikan demi memperkaya diri sendiri.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), integritas didefinisikan sebagai mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan, kejujuran.
Dalam konteks politik, moralitas pemimpin memiliki kedudukan yang sangat penting karena hal ini menjadi parameter untuk menilai apakah ia pantas atau tidak memimpin republik ini. Dengan moralitas yang dimilikinya seorang pemimpin akan mampu bertindak dan membuat kebijakan yang memihak pada kepentingan rakyat, bukan kepentingan pribadi ataupun partainya.
Saat ini kita mulai kehilangan keteladanan. Pemimpin yang semestinya menjadi contoh terbaik bagi rakyatnya justru berperilaku korup. Krisis moral dan keteladanan telah menggerogoti kinerja pemimpin yang lambat laun akan mengurangi kepercayaan masyarakat, khususnya generasi muda. Mungkin ini yang disebut banyak kalangan bahwa sebagian pemimpin kita sedang dilanda ‘miskin integritas’.
Lantas, siapa yang menjadi korban dari perilaku pejabat yang korup? Tentu korbannya adalah negara dan rakyat. Karenanya, mari kita jadikan persoalan ini sebagai pembelajaran berharga agar kasus-kasus serupa tak terulang lagi. Masyarakat harus lebih selektif dalam memilih pemimpin. Pilihlah pemimpin yang benar-benar berintegritas dan berkomitmen memperjuangkan kepentingan rakyat. Upaya ini adalah salah satu ikhtiar menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang maju dan beradab.