Konsep Berbasis Data: Kualitas Riset Nasional dan Inovasi Ilmuwan
Penulis : Samuella Christy
  • Ilustrasi dari Canva
    Ilustrasi dari Canva

Pandemi COVID-19 menghasilkan banyak permasalahan di berbagai sektor. Pendekatan lintas disiplin ilmu, riset, dan penelitian di bidang sosial-humaniora menjadi penting diintegrasikan dalam berbagai kebijakan. Kolaborasi riset dalam perumusan kebijakan berbasis ilmu pengetahuan sangat penting untuk dilakukan. Hal ini terkait dengan kerangka logis yang diperlukan saat merumuskan kebijakan untuk mengatasi sebuah permasalahan.

Banyak orang sepakat bahwa untuk bisa mendapatkan temuan-temuan yang berguna bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, posisi riset dalam pengambilan kebijakan tidak bisa dikurang-kurangi. Sebuah situasi ideal yang sering didengung-dengungkan ialah kebijakan berbasis data (data-driven policy making). Konsep yang populer beberapa waktu belakangan berbarengan dengan mulai naiknya data sebagai minyak baru (the new oil) dalam ekonomi. Masyarakat dan pemerintah yang terlalu menyukai jargon akan bergairah dengan konsep-konsep mutakhir itu. Namun implementasinya ialah drama lain.

Kondisinya saat ini Indonesia jauh tertinggal terkait riset. Dalam skor Global Innovation Index 2019, Indonesia jauh tertinggal dari negara-negara tetangga. Indonesia berada di posisi 85 dunia. Sementara posisi Singapura (8), Malaysia (35), Vietnam (42), Thailand (43), Filipina (54) dan Brunei (71) jauh melampaui peringkat Indonesia. Dari perbandingan GERD (Gross Domestic Expenditure on R&D) di tahun 2017, Indonesia yang berada di 0,23 persen dari GDP, tertinggal dibandingkan Thailand dengan 1 persen dan Vietnam yang mencapai 0,5 persen (CSIS_Commentaries, 10/4/2020).

Beberapa hari lalu, saya membaca beberapa ungkapan kekecewaan dari kalangan akademisi maupun peneliti terkait keputusan pemerintah melebur Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) ke dalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada bulan April kemarin sehingga menjadi Kemendikbud-Ristek (sebuah akronim yang panjang memang). Tak sedikit kritikus yang melihat bahwa peleburan dua kementerian di atas sebagai akibat dari keinginan presiden untuk membentuk Kementerian Investasi.

Peleburan ini dilakukan berdasarkan keputusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengirimkan surat terkait penggabungan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Pada surat Surat Presiden (Surpres) Nomor R-14/Pres/03/2021 yang dikirim 30 Maret 2021 itu, Presiden juga menyebut pembentukan Kementerian Investasi. Pembentukan Kementerian Investasi disebutkan untuk meningkatkan investasi dan penciptaan lapangan kerja (cnnindonesia.com, 12/4/2021).

Padahal, secara elaboratif, meleburkan Kemenristek menjadi satu dengan Kemendikbud akan berdampak pada terlalu gemuknya tugas Kementerian tersebut sehingga dipastikan geraknya akan lambat. Tata kelola pendidikan dasar, pendidikan tinggi, dan dunia riset perlu dipisahkan karena masing-masing memiliki prioritas dan cara kerja yang jauh berbeda. Untuk itulah, di berbagai negara, tugas tersebut dipisahkan dalam beberapa kementerian berbeda sehingga hulu sampai dengan hilir dunia akademik bisa bergerak secara paralel.

Selain itu, perbedaan besar substansi urusan pendidikan dengan riset. Fungsi ristek yang melekat di Kemendikbud membuatnya harus menangani kebijakan riset, ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi. Padahal, sebelumnya Kemendikbud sudah menangani pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, menengah, vokasi, pendidikan tinggi, hingga budaya dan pembentukan karakter. Dengan kata lain, Kemendikbud-Ristek kini menangani semuanya. Akibatnya, ada potensi besar kementerian baru ini akan tidak efektif karena mengelola terlalu banyak urusan kebijakan.

BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) yang menjadi amanat dari UU No.11 Tahun 2019 Tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek) sekarang menjadi badan otonom. BRIN normalnya akan berlaku sebagai pelaksana kegiatan litbangjirab (penelitian, pengembangan, dan pengkajian penerapan). Mengubah atau menambahkan peran BRIN dengan melekatkan peran kebijakan akan berdampak pada prinsip tata kelola karena dapat menimbulkan potensi tumpang-tindih peran maupun penyelewengan kekuasaan (abuse of power) yang semakin menjadi.

Selanjutnya, UU Sisnas Iptek juga bisa menjadi kontra produktif bagi inovasi. Pertama adalah pada soal perizinan riset. UU tersebut mengatur soal penelitian yang dianggap berisiko tinggi dan berbahaya. Dalam pembahasan sebelum disahkan, kalangan periset sosial banyak mempersoalkan pasal tersebut. Definisi dari berisiko tinggi bisa menjadi halangan bagi penelitian-penelitian yang sensitif secara politik. Mereka yang melakukan penelitian yang dianggap berbahaya tanpa mendapatkan izin terancam hukuman satu tahun penjara (peraturan.bpk.go.id).

Catatan kedua ialah terkait sanksi pidana bagi peneliti asing yang tak mendapatkan izin. Sanksi pidana tentu menjadi disinsentif bagi kolaborasi penelitian dengan komunitas internasional. Sudah menjadi hal lumrah dalam dunia akademik bahwa pertukaran ide dan gagasan antara peneliti dari berbagai mancanegara ialah hal positif yang patut didorong. Persoalan kepentingan nasional, dengan demikian, perlu untuk dilihat secara proporsional agar tidak justru menghambat perkembangan ilmu pengetahuan dengan menutup diri.

Kedua, poin bermasalah ini punya dampak besar pada inovasi dan kualitas riset nasional. Semangat kolaborasi yang dibutuhkan untuk menciptakan inovasi justru bisa padam sebelum menyala dengan adanya sanksi-sanksi pidana. Apabila tidak diatur secara proporsional, perizinan yang terlalu mencampuri konteks substansi dan etika justru bisa mencederai kebebasan berpikir dan kualitas inovasi.

Sementara itu, dalam tujuan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional, ekosistem riset yang akan coba dibangun tampaknya perlu memberi perhatian lebih pada prinsip keterbukaan dan kolaborasi dengan pihak swasta. Perlu menjadi catatan bahwa peningkatan kuantitas riset atau pun publikasi ilmiah tidak melulu bisa menunjang pertumbuhan ekonomi. Perkembangan teknologi dan inovasi yang berkaitan dengan pertumbuhan selalu berhubungan dengan apakah penemuan tersebut dapat mentransformasi maupun meningkatkan kualitas aktivitas ekonomi. Upaya tersebut sayangnya juga bukan hanya soal teknokratis, melainkan juga politik.

Ekosistem riset yang baik jauh dari cukup untuk menunjang pertumbuhan ekonomi apabila tidak dibarengi dengan mindset yang terbuka dengan perubahan dan kekuatan negara untuk menjaga persaingan usaha yang sehat. Seperti yang juga sudah diidentifikasi dalam EPI, ekonomi Indonesia saat ini membutuhkan transformasi dari yang bentuknya ekstraktif menuju teknologi tinggi (Akhmad Jayadi & Rafli Zulfikar, 2017).

Sudah menjadi problem lama bahwa Indonesia mengidap apa yang disebut para ekonom sebagai the dutch disease, di mana booming di sebuah sektor sumber daya alam menjadi disinsentif untuk perkembangan industri lain seperti manufaktur misalnya. Tidak jarang juga kita mendengar narasi “negara kaya dengan sumber daya alam melimpah” menjadi slogan dan jargon politik paling populer bagi para elit politik yang populis. Orientasi pada penguasaan sumber daya alam juga dekat dengan praktek ekonomi rente yang seringkali dilindungi secara politik dan menjadi masalah dalam menciptakan iklim usaha yang kompetitif

Kunci membangun ekonomi berbasis ilmu pengetahuan yang bukan hanya ekonomi berbasis jual-beli komoditas dimulai dari memberi ruang bagi ilmuwan untuk berkarya, berpartisipasi, dan berinteraksi seluas mungkin. Beri mereka ruang untuk mendorong pengembangan dan komersialisasi hasil riset mereka, beri mereka jaminan untuk memastikan kebajikan yang berbasis data dan bukti, hingga dapat membangun kapasitas negara.

Pandemi COVID-19 memang telah banyak mendisrupsi ekonomi dan politik banyak negara. Beberapa negara lebih memilih untuk berubah menjadi lebih inward-looking karena mengutamakan kepentingan nasional. Ini tentu jadi tantangan bagi negara Indonesia yang masih butuh untuk meraih banyak potensi pertumbuhan ekonomi untuk para pencari kerja yang berlimpah. Pasalnya inovasi tidak datang hanya dengan penemuan, melainkan juga pada peniruan. Replikasi maupun penyempurnaan inovasi bisa terjadi ketika ada semangat keterbukaan dan kolaborasi yang kuat di berbagai level. Tak bisa tidak, dunia riset kita harus terus dijaga dalam semangat ini.

Artikel juga dimuat di https://suarakebebasan.id/konsep-berbasis-data-kualitas-riset-nasional-dan-inovasi-ilmuwan/

 

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.