“Kalau tidak ada adat ini, torang (kita, red) ini macam binatang yang berkeliaran di jalan,”
Kutipan di atas adalah perkataan Nabiyah, seorang tokoh adat perempuan Suku Lauje. Dia bermukim di Dusun Bambanipa, Desa Palasa Tengah, Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Sehari-harinya Nabiyah menjadi petani kebun yang hidup tenang bersama Abija (63), anak perempuan semata wayangnya.Namun, kehadirannya menjadi penting ketika Suku Lauje di Kecamatan Palasa melakukan upacara adat atau segala urusan adat. Nabiyah menjelma menjadi salah satu tokoh kunci.
Seperti yang terlihat dalam prosesi adat Masoro yang dilaksanakan pada Kamis, 21 Desember 2023. Salah satu upacara tahunan berskala besar dan penting bagi masyarakat Suku Lauje. Masoro adalah sebuah prosesi sakral sebagai bentuk penghormatan bagi leluhur dan suka cita bagi masyarakat petani terhadap panen yang melimpah. Prosesinya termasuk panjang dan lama. Dimulai dengan meletakan salasa pada tiga titik mata air di pegunungan Palasa dan berakhir dengan melarung perahu di pantai Palasa.
Kala itu Masoro dipusatkan di Desa Ogoansam. Di tempat ini masyarakat Suku Lauje akan berjalan ke tepi pantai Desa Palasa Tangki untuk melarung. Jarak keduanya adalah 2,5 kilometer. Mayoritas penduduk bersuku Lauje menyandarkan hidup dari penghasilan bertani. Selain menanam cengkeh sebagai komoditas utamanya, sebagian penduduk menanam jagung dan cabai rawit.
Penduduk percaya, cara ampuh mengalahkan hidup yang melarat adalah menggelar upacara adat Masoro. Dengan upacara itu, rezeki bakal mengalir dari Yang Maha Kuasa dan jauh dari bala bencana. Dalam bahasa Lauje, Masoro berarti berhenti atau menghentikan. Dengan begitu, dimaknai menghentikan kemelaratan, penyakit, hingga bencana.
Nabiyah memimpin prosesi pelarungan di pesisir pantai Desa Palasa Tangki.(Foto: Mughni Mayah/Tutura.Id)
Perantara Sang Yelelumut
Upacara adat Masoro tak akan sah tanpa kehadiran seseorang sinsioan. Sebuah istilah yang digunakan untuk orang yang dipercayakan mengatur adat Masoro. Dia sepenuhnya menjalankan prosesi adat dan sebagai pelaku spiritual.
Nah, peran kunci ini dipegang oleh Nabiyah. Ia boleh dibilang sejajar olongian yang berperan sebagai pemimpin suku Lauje yang dijabat oleh lelaki bernama Djasman. Perbedaannya, Nabiyah memiliki peran layaknya penasihat spiritual.
Nabiyah dipercayai sebagai orang pilihan leluhur untuk menyampaikan petuah atau pesan kepada olongian, juga kepada para pemangku adat lainnya. Pesan leluhur ini kerap disampaikan dalam upacara Masoro melalui tubuh Nabiyah selaku sinsioan. Ini bisa dilihat dalam seluruh rangkaian prosesi. Misalnya, saat sebelum melarung. Nabiyah dan pemangku adat lainnya akan menyiapkan ritual untuk memohon izin pada To nu ogo alias penjaga air.
Di bawah pohon mangrove besar yang tumbuh di tepi pantai Desa Palasa Tangki itu ritual dimulai. Mulutnya tak berhenti komat-kamit. Ia kembali mengunyah sirih dalam bungkusan dari daun pisang kecil yang dibawanya.
Seseorang menggantungkan dua salasa', wadah makanan terbuat dari anyaman daun silar, di pohon mangrove. Salasa' akan diisi sajian makanan dari hasil bertani masyarakat. Jogugu atau orang kepercayaan olongian akan meletakkan sajian segepok makanan yang diikuti bacaan gane-gane atau mantra berisi doa ke dalam salasa'.
Sementara Nabiyah akan memantau jogugu dan setiap orang yang akan meletakkan sajian dengan urutan yang benar. Memastikan bahwa letaknya sudah sesuai aturan adat. Konon jika terdapat kesalahan, kemungkinan ritual ini dianggap tidak menghormati pencipta alam semesta.
Sebelum proses pelarungan, prosesi adat Masoro sudah melewati proses panjang. Proses terdahulunya adalah meletakkan salasa' pada tiga titik mata air di pegunungan Palasa. Bila diperhatikan prosesi adat Masoro memiliki perlengkapan adat yang masing-masing memiliki arti. Yang paling terlihat adalah keberadaan perlengkapan adat yang masing-masing terdapat dua buah.
Masyarakat Lauje disebutnya keturunan dari Saemandulung dan Yelelumut. Keduanya melahirkan tujuh orang anak dan menyebar sampai ke daerah Sojol. Saemandulung dikisahkan berasal dari batang pohon pinang. Ia lalu bertemu Yelelumut yang sedang duduk santai di atas batu berlumut. Dari pertemuan inilah kedua insan mulai jatuh cinta dan menikah. Masyarakat suku Lauje sangat menghormati kedua leluhur mereka itu yang terlihat dari dua buah perlengkapan adat.
Nabiyah (paling kanan) berdiri sejajar dengan dengan Kepala Adat Suku Lauje bersama pemangku adat lainnya pada arak-arakan menuju prosesi larungan di Upacara Adat Masoro. (Foto: Mughni Mayah/Tutura.Id)
Penegak hukum adat
Menjelang bagian akhir upacara adat Masoro, kami berkesempatan berbincang dengan Nabiyah. Dia banyak bercerita tentang adat dan bagaimana konsistensi masyarakat adat suku Lauje menjaga warisan leluhur, alam dan budaya. Termasuk cerita dirinya yang terpilih sebagai salah satu pemangku adat Lauje.
Nabiyah mengaku lupa berapa tepatnya usianya. Merujuk Kartu Tanda Penduduk miliknya, tertulis 1 Januari 1944. Tetapi dia masih ingat betul momentum saat dirinya “terpilih” sebagai perantara Yelelumut saat usia belia. Masih terang dalam ingatannya kala itu upacara adat Masoro begitu memancing antusias warga tak terkecuali dirinya.
Nabiyah masih ingat tabuhan suara gimba dan gendang yang diikuti atraksi tarian melingkari perahu. Dalam tahapan prosesi ini yang dipercayai jiwa manusia dapat berinteraksi dengan mahluk halus seperti Yelelumut, leluhur suku Lauje.
Nabiyah kemudian mengikuti tarian itu dengan sendirinya, seolah makhluk halus turut mengundangnya merasakan keberadaannya. Sejak saat itu, makhluk itu selalu mengikutinya bahkan ketika prosesi telah selesai. Lantaran kerap mengikutinya, Nabiyah mencoba berkomunikasi dan meminta sebuah perjanjian.
“Saya mau terima kamu (makhluk gaib), asal untuk hal yang baik untuk orang. Supaya tidak jadi bahan cerita buruk untuk orang,” ungkap Nabiyah kepada kami.
Dari momen itulah Nabiyah akhirnya menjadi tabib kepercayaan masyarakat. Ia kerap mengobati orang-orang sakit karena kerasukan makhluk gaib. Di saat bersamaan dengan itu, melaluinya pula pesan dari leluhur untuk upacara adat harus tetap dilakukan. Mulai dari tata cara upacara adat, pengaturan peralatan ritual Nabiyah menjadi orang yang ditugaskan.
Menurut Djasman selaku kepala suku, untuk menjadi mediator seperti Nabiyah bukanlah sembarang orang.
“Akan kentara dari perilaku yang tenang. Hanya orang terpilih dengan niat untuk kebaikan saja yang bisa,” jelas Djasman.
Abija, anak perempuanya, yang disiapkan menjadi penerus Nabiyah pun melakukan hal serupa. Meskipun ia belum seperti ibunya, Abija tak menolak melakukan adat Masoro jika mendapat undangan.
Ia bercerita sewaktu masih belia, belum berstatus menikah, dirinya pernah meninggalkan Desa Palasa pergi ke Kota Palu. Di sanalah Abija diikuti makhluk halus dan melakukan kesepakatan serupa yang dilakukan oleh Nabiyah.
Dengan catatan hanya dilakukan untuk mengobati orang sakit dan kepentingan adat Masoro. Abija akan menolak jika dilakukan untuk hal-hal buruk. Menurutnya tugas menjadi mediator terpilih seperti ibunya adalah tugas seumur hidup yang harus terus dilakukan. Orang terpilih itu tak bisa lepas dari tugas adat ke mana saja ia pergi.
Di kebun palawija miliknya, Nabiyah sering menghabiskan waktu di pondok bersama anak perempuan yang akan menjadi penerusnya, Abijah (paling kanan).(Foto: Mughni Mayah/Tutura.Id)
Selain menjadi tabib, Nabiyah juga memiliki tanggung jawab sebagai penegak hukum adat. Di usia senjanya, Nabiyah masih terlihat lincah. Dia pun masih aktif merawat kebun palawijanya. Rumahnya tidak tidak jauh dari pesisir pantai. Hanya sekitar 300 meter.
Meski usianya menginjak 80 tahun, tak menghalangi kesehariannya sebagai petani. Ia tak kalah bugar merawat tanaman-tanamannya. Tak berbeda lincah saat melakukan tarian adat Masoro. “Tanaman apa pun kalau ada adat pelarungan, tidak boleh ditebang walaupun kebun punya sendiri,” sahut Nabiyah.
Masyarakat adat suku Lauje memiliki beberapa aturan adat yang masih dipatuhi sebagian warga. Misalnya dalam upacara adat Masoro, dilarang menebang pohon apapun selama proses pelarungan perahu berlangsung. Pun memasuki hutan sembarangan tanpa izin penjaga. Jika melanggar akan dikenai denda.
Nabiyah sebagai pemangku adat sangat patuh dalam aturan ini. Ia pernah bercerita keponakannya sendiri pernah dengan tidak sengaja menebang pohon. Maka Nabiyah membawanya kepada tetua adat untuk diberi sanksi. Dua buah piring dan beberapa uang tunai adalah denda yang harus dibayar.
Menurut Nabiyah denda paling berat dalam aturan adat Lauje adalah ketika seseorang bertamu. Orang yang sedang bertamu tidak boleh langsung masuk ke dalam rumah tanpa izin pemilik rumah, lalu menengok kamar walaupun sekadar tirai gordennya.
Ini dianggap sangat mengganggu privasi dan tidak menghormati pemilik rumah. Sanksi yang harus dibayarkan berupa setengah lusin piring, uang logam, dan beberapa gram emas. “Kalau tidak ada adat ini, torang (kita, red) ini macam binatang yang berkeliaran di jalan ini,” tutup Nabiyah.