Lahir dan (Tidak) Melahirkan Hamba
Selain keluarga maramba Mama Margaretha, di Sumba juga dikenal dua perempuan hamba yang bertekad memutus rantai perbudakan di Sumba.
Sebut saja Kudu (33), salah satu perempuan hamba, yang sejak lahir namanya langsung dipakai sebagai ngara hunga dari putri bangsawan tempat ibunya bekerja.
Rambu Debi, bukan nama sebenarnya, adalah putri bangsawan yang usianya terpaut tiga tahun lebih tua dari Kudu. Rambu Debi mendapat panggilan Rambu nai Kudu.
Kudu diizinkan bersekolah. Sehingga setiap kali Kudu menemani Rambu Debi ke sekolah, ia juga akan ikut belajar. Di sekolah, semua orang tahu ia hamba Debi. Ketika Rambu Debi menamatkan SD, ia meneruskan pendidikannya di luar kota. Sementara, Kudu tetap tinggal bersama orangtua Rambu Debi dan berhenti sekolah.
“Kami anak-anak njurak. Kami tidak tahu siapa bapa kami. Mama tidak cerita,” kata Kudu, menuturkan bahwa sebelum mamanya menikah dengan suaminya yang sekarang, mereka telah lahir. Anak njurak berarti anak di luar nikah atau anak hasil selingkuh.
Saat berusia 17 tahun, Rambu Debi menikah dengan laki-laki bangsawan dari sebuah kecamatan yang berjarak hampir 100 kilometer dari rumahnya. Sesuai tradisi keluarga bangsawan, Rambu Debi membawa Kudu dan beberapa hamba lainnya yang mendampinginya di rumah suami.
Kudu sebagai ngara hunga dari Rambu Debi selalu berada dekatnya. Layaknya asisten pribadi, Kudu mengetahui semua urusan tugas dan pekerjaan Rambu Debi, selain memang ia yang akan menyelesaikan tugas-tugas itu.
Maka, bila Kudu tidak di rumah, akan ada beberapa hal urusan rumah tangga yang terbengkalai. Karena Kudu lebih tahu di mana letak pisau, sendok, serbet, barang-barang rumah tangga lainnya, berapa jumlahnya, sedang dipinjam siapa.
Relasi mereka berdua sangat dekat. Kudu adalah simbol identitas kebangsawanan Rambu Debi sekaligus kaki dan tangannya. Kudu mengaku ia menyayangi Rambu Debi dan tidak ingin berpisah. Ada ikatan batin antar keduanya.
Kudu memiliki dua anak, tanpa suami. Ia mengatakan bahwa ayah dari anaknya adalah laki-laki di sekitar kampungnya. Namun, mereka tidak menikah.
“Karena saya sudah dibelis dan tidak bisa dua kali belis,” ujarnya.
Belis yang dimaksud Kudu mirip dengan mahar, namun, bagi kastanya, mahar itu mengikat dengan tuannya. Dalam tata perkawinan kaum maramba, saat perempuan bangsawan dibelis, maka itu sudah termasuk belis untuk hambanya.
Biasanya jumlah belis cukup besar, bisa berupa ternak, untuk perempuan bangsawan yang membawa hamba ke rumah suami.
Dalam sistem perbudakan tradisional di Sumba, Kudu hanya bisa menikah dengan laki-laki hamba dari suami Rambu Debi atau dari klan yang sama dengan suami Rambu Debi.
Bila dari klan lain, maka laki-laki tersebut harus ‘kawin masuk’. Kawin masuk di sini bermakna laki-laki yang menjadi suami Kudu, harus tinggal di rumah Rambu Debi dan suaminya atau masuk ke klan mereka. Tentu saja, juga sebagai hamba.
Di kalangan perempuan hamba, memiliki anak tanpa suami adalah hal yang lumrah dan tidak dipertanyakan oleh tuannya. Malah sangat diharapkan sebagai pelanjut trah perbudakan dan penegas identitas para bangsawan. Ada bangsawan yang menganjurkan perempuan hamba untuk memiliki banyak anak, terserah sperma siapa yang akan membuahi.
“Umbu bilang, satu orang hamba harus punya tujuh orang anak. Saya tidak mau lagi punya anak, biar Umbu dan Rambu suruh. Cukup sudah,” kata Kudu.
Sempat merasakan sekolah membuat Kudu bertekad menyekolahkan kedua anaknya. Ia meyakini sekolah adalah cara untuk membantu anaknya keluar dari lingkaran setan yang mengikat dirinya. Minimal, anak-anaknya bisa memiliki modal untuk mencari pekerjaan yang lebih layak.
Keputusan ini cukup berisiko karena Kudu menolak patuh pada tuannya. “Sekarang saya ikut KB (Keluarga Berencana). Saya minta tolong ibu bidan untuk pasang KB. Saya kasih tahu ibu bidan supaya tidak beri tahu Umbu dan Rambu. Ini jadi rahasia,” sebut Kudu.
Membangun Keluarga, Membangun Harapan
Saat berumur 18 tahun, Konga, bukan nama sebenarnya, harus ikut dengan Rambu Yuli yang menikah dengan pemuda bangsawan di desa tetangga.
Rambu Yuli kala itu berubah menjadi Rambu nai Konga. Konga menjadi hamba karena ibunya dibelis oleh kakek Rambu Yuli.
Berbeda dengan Kudu yang tidak memiliki kesempatan untuk menikah, Konga bisa menikahi pria yang dicintainya – juga dari golongan hamba – dua tahun setelah pindah ke rumah suami Rambu Yuli.
Setelah menikah, sang suami harus tinggal bersama tuan Konga. Senasib dengan Kudu, mereka juga didesak tuannya untuk memiliki banyak keturunan.
“Saya punya enam anak. Waktu melahirkan anak bungsu di Waingapu, pakai operasi karena posisi anak melintang. Saya langsung balik rahim memang, itu operasi steril. Baru bos perempuan marah,” kata Konga, yang menuturkan kisahnya dalam Bahasa Kambera.
Perempuan yang kini berusia 45 tahun itu juga menyekolahkan keenam anaknya, meski sembunyi-sembunyi. Jenjang pendidikannya beragam, ada yang lulus SD, SMP dan SMA. Baginya, sekolah akan membuat anak-anaknya pintar dan bisa pergi dari rumah tuannya. Terbukti ketika salah satu anaknya pergi keluar Sumba untuk bekerja.
Rambu Yuli memiliki temperamen yang kasar, menurut Konga. Ia kerap memaki Konga bahkan memukulinya. Begitu juga perlakuan Rambu Yuli pada anak-anak Konga. Rambu Yuli menginginkan anak-anak Konga menjadi ngara hunga anak-anaknya. Tapi Konga tidak setuju. Ia mendorong anak-anaknya keluar dari Sumba dan pergi merantau tanpa sepengetahuan Rambu Yuli dan suaminya.
Beberapa tahun lalu, Konga bertengkar hebat dengan Rambu Yuli karena suaminya diusir dari rumah. Ia melawan saat Rambu Yuli hendak melemparkan barang ke arahnya. Ia berbalik menangkap tangan Rambu Yuli dan membentaknya.
“Saya dan suami sudah bertahan-tahun kerja untuk dia, timba air, cuci, masak, bikin pagar, kerja kebun, semua pekerjaan kami yang kerja,” kata Konga, seraya menambahkan ia juga kerap membelikan majikannya beras menggunakan uang dari program bantuan pemerintah seperti PKH atau BLT.
“Dia tau perintah saja.”
Keinginan dan amarahnya pada Rambu Yuli untuk sesaat harus ditahan. Ia dan suami tengah menyusun rencana matang untuk bisa hidup mandiri tanpa tuannya. Suami Konga memiliki sebidang tanah. Saat ini mereka sedang mengumpulkan bahan untuk membangun rumah.
“Sudah ada kayu dan batu, tinggal menabung untuk beli seng dan semen,” kata Konga.
Kesadaran Individu Menjadi Kolektif
Perjuangan Mama Margaretha (dan keluarga), Kudu, dan Konga dalam memutus lingkaran setan perbudakan di Sumba mendapat dukungan dari tokoh Gereja Kristen (GKS), institusi gereja terbesar di Pulau Sumba.
Pendeta Marlin Lomi, Ketua Umum Sinode GKS, mengakui upaya memutus lingkaran ini sulit dilakukan oleh Gereja. Apalagi, masih banyak jemaat yang juga memiliki hamba.
Gereja juga sulit mengungkap dan menyelesaikan pengaduan dugaan kekerasan fisik maupun seksual yang dialami hamba karena memerlukan bukti. Sementara, tidak ada hamba yang mau bersaksi karena kepatuhan dan ketakutannya pada maramba-nya.
Semisalnya kejadian maramba yang diduga menghamili hambanya.
“Waktu menikah, istrinya bawa hamba. Nah, ini hamba tiba-tiba memiliki anak terus-menerus, ternyata dia (suami maramba) yang menghamili. Kami, Gereja melihat ini tidak benar, apalagi face anak ini mirip sekali dengan maramba (laki-laki),” kata Pendeta Marlin.
Namun demikian, perempuan maramba tidak mempersoalkan hal ini. Mereka menganggap situasi ini menguntungkan karena secara tidak langsung mendapatkan keturunan hamba yang bisa mereka pekerjakan.
“Kami langsung kasih Siasat,” kata Pendeta Marlin. Dalam GKS, siasat berarti sanksi. Adapun sanksi gereja biasanya berupa disiplin berupa larangan mengikuti perjamuan Kudus.
Pater Robert Ramone, Direktur Lembaga Studi dan Pelestarian Budaya Sumba menyampaikan bahwa praktik perbudakan pada dasarnya terjadi di seluruh Pulau Sumba. Hanya saja, saat ini lebih banyak terjadi di Sumba bagian timur.
“Saya buat refleksi seperti ini, mengapa perkembangan kemajuan di daerah yang menganut budak belian di Sumba, coba lihat di Sumba bagian utara, Mamboro sampai di Sumba Timur, berbeda dengan daerah lain?” kata Pater.
Menurutnya, perbudakan ini menghambat kemajuan penghormatan atas hak asasi manusia (HAM) yang telah menjadi norma bersama.
Pater Robert yang juga seorang Pastor dalam Gereja Katolik di Sumba, menyampaikan bahwa dalam ajaran Gereja Katolik dunia menentang perbudakan, karena bertolak pada kebebasan manusia. Oleh karenanya, ia mengaku masalah ini juga menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Gereja Katolik.
Di sisi lain, Pater Robert melihat bahwa ada juga maramba yang menunjukkan perubahan yang sangat maju.
“Contohnya Mama Margaretha, ini luar biasa, satu tipe manusia yang out of the box, langka, dia memberi kebebasan melalui pendidikan pada yang lain,” kata Pater.
Ia mendorong strategi ini ditiru oleh lebih banyak orang, dari berbagai kasta. Sehingga, kesadaran yang semula hanya muncul pada individu menjadi kesadaran bersama.
“Saya yakin para maramba juga mau berubah. Karena kalau bertahan, maka akan tergilas dengan begitu banyak kemajuan yang bergerak cepat,” kata Pater menuntaskan.
Informasi lebih lanjut
Tulisan ini merupakan bagian dari serial #MasyarakatAdat.
Martha Hebi adalah penulis dan peneliti dari Sumba, Nusa Tenggara Timur
Artikel ini bersumber dari: https://projectmultatuli.org/ketika-perempuan-dari-kasta-bangsawan-dan-hamba-di-sumba-bersiasat-memutus-rantai-perbudakan/